Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Asal-Usul Ditemukanya Terasi Serta Pengaruhnya Terhadap Kehancuran Kerajaan Sunda

Terasi, dipercayai berasal dari kata asih yang diberi imbuhan ter, kata asih sendiri dalam bahasa Sunda bermaksud cinta, suka, dengan demikian maka jika kata asih diberi imbuhan ter (terasih) maka mempunyai makna yang sangat disukai.

Terasih pada awalnya merupakan bumbu masakan (Penyedap Rasa) yang diciptakan oleh Pangeran Walangsungsang, beliau merupakan salah satu Pendiri Cirebon. Dinamakan Terasih, karena pada waktu itu Raja Kerajaan Galuh (Kerajaan Sunda Timur) sangat menyukai sekali penyedap masakan ini, bahkan sang Raja Paham betul masakan yang telah dibumbui trasi atau tidak, maka tidak mengherankan jika dalam legenda masyhur Cirebon disebutkan bahwa pelayan Raja terkena imbas kemarahan sang Raja hanya gara-gara masakan yang diperuntukan kepada Raja tidak dibumbui terasi.

Stok Terasih dalam Istana Kerajaan Galuh ini diambil dari upeti Cirebon yang waktu itu merupakan Negeri bawahan Kerajaan Sunda Galuh.

Sebagaimana lazimnya kosakata bahasa maka pada umumnya sifatnya kadang berkurang dan bertambah seiring berlalunya zaman. Begitipun kata"Terasih", kata tersebut ternyata mengalami pengurangan kata, sehingga kemudian berubah menjadi "Terasi". 

Terasi yang kita kenal sekarang ini adalah suatu karya cipta yang terbuat dari campuran garam, nasi dan udang rebon yang ditumbuk, setelah ditumbuk terasi kemudian dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan hingga berbentuk bulat-bulat atau kotak untuk kemudian dikeringkan. Setelah kering barulah terasi dapat disandingkan untuk dipergunakan sebagai penyedap makanan, dicampurkan sebagai bumbu olahan daging-dagingan, ikan, sayur-mayur atau bahkan disertakan sebagai penyedap rasa dalam sambal.
Gumplan Trasi
Dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari diceritakan bahwa sebab-musabab marahnya Kerjaan Sunda Galuh terhadap Cirebon adalah penghentian pengiriman upeti dari Cirebon (Garam dan Trasi).

Naskah tersebut juga diperkuat oleh Naskah Mertasinga  yang menyatakan bahwa kemarahan Baginda Raja Galuh terhadap Cirebon memuncak setelah Cirebon secara sengaja menghentikan pengiriman upeti garam dan terasi, dijelaskan pula didalamnya bahwa tidak lama setelah peristiwa penghentian pengiriman upeti itu kemudian Galuh menyerang Cirebon secara besar-besaran.

Hal tersebut adalah wajar, mengingat penghentian upeti yang dibayarkan oleh Cirebon bermaksud pembangkangan Cirebon terhadap pusat. Selain juga tentunya faktor kesukaan / keasihan sang Raja terhadap terasi.

Perlu dipahami bahwa dalam kultur budaya Sunda waktu itu perdagangan kuliner dipecaya merupakan penyumbang terbesar devisa negara, sehingga dengan diembargonya garam dan terasi oleh Cirebon menyebabkan kehancuran bisinis kuliner di Kerajaan Sunda. 

Pada waktu itu Garam dan Terasi merupakan kunci dari kesedapan sebuah olahan makanan terutamanya makanan pokok (Nasi dan lauk Pauknya). hal tersebut dapat dipahami karena waktu itu tidak ada penyedap rasa seperti  micin (Vetsin) apalagi Masako, Ajinomoto atau penyedap rasa sejenisnya. Jadi pada waktu itu garam dan trasi merupakan penyedap rasa andalan dijamanya. Tidak ada terasi maka sudah dapat dibayangkan bagaimana rasa masakan yang dihasilkan.

Dengan demikian maka dapatlah dipahami bahwa terasi rupanya berpengaruh terhadap kehancuran kerajaan Sunda, bermula dari matinya kegiatan ekonomi, khusunya bisnis kuliner, karena para penggemar maskan tidak lagi menaruh respon positif terhadap penjual-penjual makanan yang sudah tidak sedap lagi  dan pada nantinya lesunya ekonomi kerajaan Sunda karena matinya bisnis andalan rakyatnya ini kemudian menghacurkan pendapatan pajak kerajaan.

Maka kegiatan embargo terasi yang diterapkan Cirebon terhadap Galuh ini pada nyatanya merupakan pembunuhan perlahan-lahan. Karena jika dimaknai secara jujur Terasi zaman itu kedudukannya sama percis dengan minyak bumi dalam zaman ini. Tidak ada minyak bumi tentunya dapat menyebabkan lumpuhnya ekonomi suatu negara.