Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mbah Muqoyyim Buntet Jadi Buronan Belanda

Mbah Muqoyyim merupakan pejuang agama yang tak mau menjual aqidahnya demi pangkat dan kedudukan, beliau tercatat lebih memilih melepaskan jabatannya sebagai Mufti Besar Kesultanan Kanoman Cirebon ketimbang harus menjadi seorang Mufti yang suatu waktu fatwa-fatwanya disesuaikakn dengan keuntungan dan pesanan Belanda. Disisi lain, pengunduran diri Mbah Muqoyyim dianggap oleh Belanda sebagai pembangkangan, Mbah Muqoyim kemudian menjadi buronan Blanda.

Selama menjadi Buronan Belanda, Mbah Muqoyyim tercatat selalu berpindah-pindah tempat, manakala tempat yang beliau tinggali diketahui Belanda, maka pada waktu itu juga Belanda membumi hanguskannya sehingga mau tidak mau Mbah Muqoyyim harus hidup dalam pelarian. Dalam rangka menjaga hamba yang menghidup-hidupi agama-Nya, Allah rupanya punya rencana lain, Allah melembutkan hati para Penjajah sehingga tidak bisa berkutik, mau tidak mau mereka harus menghapuskan status buronan yang disandang Mbah Muqoyim, penghapusan status Buronan itu didahului oleh peristiwa yang menggemparkan Cirebon,  kala itu Cirebon dihantam wabah penyakit mematikan.

Menurut  Zaini Hasan, sebagaimana yang dikemukakan dalam bukunya “Perlawanan dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara” disebutkan bahwa mulanya selepas meninggalkan Jabatan sebagai Mufti Besar Kesultanan, Mbah Muqoyim hijrah ke suatu wilayah terpencil yang kini dikenal dengan nama Dusun Bulak letaknya kurang lebih 1-2 Kilo Meter dari Pesantren Buntet Sekarang, disitulah Mbah Muqoyyim membentuk perkampungan dan mengajarkan agama bagi para pengikutnya. (Hlm 30)

Keberadaan Mbah Muqoyyim di tempat barunya, rupanya diendus Belanda, Penjajah Belandapun kemudian menyerbu dan membumi hanguskannya, akan tetapi dalam peristiwa pembumi hangusan itu Mbah Muqoyyi berhasil menyelamatkan diri. Lagi-lagi selepas pristiwa itu Mbah Muqoyyim untuk beberapa waktu tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Beliau hidup nomenden.

Setelah waktu dirasa cukup kondusif, Mbah Muqoyyim kemudian lagi-lagi membangun Perkampungan untuk tempat tinggal barunya sekaligus sebagai tempat untuk mensyiarkan agama, kali ini tempatnya di suatu wilayah terpencil yang kini dikenal dengan Blok Manis, Depok, Desa Mertapada Kulon. ( Zaini Hasan, hlm 30)

Di tempat tinggal ke duanya, Mbah Muqoyyim ternyata berhasil membuat tempat pendidikan agama yang diminati rakyat, maka selepas peristiwa itu tempat pendidikan agama tersebut kemudian diubah fungsinya menjadi Pesantren. Nama yang dipilih adalah “Buntet” atau Buntet Pesantren.

Baru saja sukses membagun masyarakat untuk mencintai ajaran agamanya, Belanda lagi-lagi mengendus keberadaan Mbah Muqoyyim, sehingga dengan cepat Belanda menyerbu pesantren, tapi berkat pertolongan Allah, Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri. Pesantren Buntet yang dengan usah payah didirikaknpun akhirnya dibumi hanguskan oleh Belanda.

Menurut  Amsal Hadi dalam bukunya “Kisah-kisah dari Buntet Pesantren” disebutkan bahwa setelah pesantren Buntet di bumi hanguskan oleh Belanda, Mbah Muqoyyim dan keluarga beserta para santri yang selamat hijrah ke kampung  Pesawahan Sindanglaut, yaitu di rumah Kiai Ismail Sembirit (hlm 16)

Di Kampung Pesawahan Mbah Muqoyyim hidup dalam penyamaran, meski begitu beliau tetap mengajarkan ilmu-ilmunya kepada keluarga dan santri-santri yang menyertainya.

Asnal Hadi mengungkapkan, bahwa terbongkarnya penyamaran Mbah Muqoyyim di Pesawahan bersamaan dengan resepsi pernikahan putra-putri Mbah Muqoyyim dan Kiai Ismail Sembirit, Belanda dengan tiba-tiba melakukan penggrebegan didahului dengan meletupkan senjata api, akan tetapi dalam penggrebegan ini Mbah Muqoyyim berhasil meloloskan diri, hanya saja ada beberapa pengikut Mbah Muqoyyim yang tertangkap salah satunya Pangeran Santri (Hlm.. 17)

Dari Pesawahan Mbah Muqoyim lagi-lagi menjadi pelarian, beliau bersama pengikutnya akhirnya hijrah ke Pemalang Jawa Tengah. Di tempat barunya keberadaan Mbah Muqoyyim untuk beberapa waktu tidak terlacak oleh Belanda.

Setelah Cirebon ditinggal pergi Mbah Muqoyyim, rupanya pada suatu waktu Cirebon digegerkan dengan mewabahnya penyakit mematikan, kala itu orang Cirebon menyebutnya wabah to`un. Banyak sekali masyarakat yang menjadi korban, baik dari masyarakat ekonomi atas, menengah dan masyarakat jelata. Bahkan orang Belandapun banyak yang terjangkit wabah to`un. (Asnal Hadi, hlm ..24)

Keadaan seperti itu jelas membuat seluruh lapisan masyarakat berfikir dan bekerja keras untuk menemukan bagaimana cara untuk menghentikan wabah to`un. Akhirnya muncul gagasan dari kalangan pemerintah Cirebon untuk meminta bantuan kepada Mbah Muqoyyim. Pendapat ini langsung mendapat persetujuan dari kalangan kesultanan dan tokoh-tokoh Islam Cirebon. Merekapun menyebarkan utusan untuk mencari Keberadaan Mbah Muqoyyim.

Mbah Muqoyyim menyanggupi permintaan Kesultanan untuk membantu masyarakat Cirebon dalam mengatasi wabah to`un, tetapi dengan beberapa syarat. Pertama, pihak Belanda harus membebaskan Pangeran Santri dan mengembalikannya dari Ambon ke Cirebon. Kedua, di setiap desa di Cirebon harus didirikan masjid. (Asnal Hadi, hlm ..25)

Setelah pihak Belanda menyetujui persyaratan tersebut, Mbah Muqoyyim melalukan berbagai usaha untuk menghilangkan wabah to`un tersebut. Akhirnya  dengan izin Allah SWT, wabah to`un dapat diatasi.

Melihat keberhasilan Mbah Muqoyyim dalam memberantas wabah To’un maka Belanda memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Mbah Muqoyyim sekaligus menghapus statusnya sebagai buronan Belanda.

Mulai selepas itu, Mbah Muqoyyim kembali ke Pesantren Buntet yang dahulu pernah di bakar Belanda. Pesantren di atata dan dibangun ulang hingga kembali ramai oleh para penuntut ilmu agama. Kini Buntet Pesantren yang mulanya didirikan oleh Mbah Muqoyyim dengan sederhana itu menjadi  salah satu perkampungan pesantren terbesar  di Indonesia, lebih dari 10.000 santri yang menuntut ilmu di sana serta lebih dari 50 pesantren yang telah berdiri.

Baca Juga: Sejarah Buntet Pesantren Astanajapura Cirebon

Posting Komentar untuk "Mbah Muqoyyim Buntet Jadi Buronan Belanda"