Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Meriam Ki Amuk

Meriam Ki Amuk adalah salah satu senjata andalan yang pada abad ke 16 digunakan oleh Kesultanan Demak untuk mempertahankan dan memperluas wilayahnya. Meriam Ki Amuk Juga digunakan Demak untuk melawan Portugis dan sekutunya di Nusantara. 

Meriam Ki Amuk mulanya diciptakan oleh Demak untuk melawan Portugis yang hendak membangun Benteng di Sunda Kelapa, selain itu, Demak juga sebelumnya telah memproduksi banyak Meriam, dan bahkan memproduksi beberapa meriam besar, dan salah satu meriam besar itu adalah meriam Ki Amuk. 

Meriam-meriam yang digunakan oleh Demak pada akhirnya sanggup memuluskan usaha Demak dalam menguasai Cimanuk (Indramayu), Sunda Kalapa (Jakarta) dan Banten sebelum kedatangan Portugis ke wilayah Pajajaran. 

Selepas mandat kekuasaan atas Banten dan Jayakarta diserahkan pada Maulana Hasanuddin (P. Sebakingkin), dan guna mengantisipasi kemungkinan serangan Balasan dari Portugis dan Pajajaran. Sultan Trenggono menghadiahkan banyak meriam pada Banten sebagai senjata untuk menangkis kemungkinan serangan balasan, diantara meriam yang dihadiahkan Demak pada Banten yang hingga kini masih tersisa adalah "Meriam Ki Amuk". 

Meriam Ki Amuk

Meriam Ki Amuk terbuat dari Perunggu dengan berat 7 ton, panjang 3 meter diameter luar terbesar 0,70 m, diameter dalam mulut 0,34 m. Ia menembakkan peluru meriam seberat 180 pon (81,6 kg).

Selain itu, sebagai bukti bahwa meriam ini buatan Demak adalah adanya Lambang Surya Demak (Surya Majapahit yang Dimodifikasi) di mulut meriam. Perlu dipahami bahwa selepas wafatnya Brawijaya V karena kudeta oleh Ranawijaya Giriwardhana, Raden Fatah mengklaim sebagai pelanjut Majapahit, oleh karena itu lambang yang digunakan Demak sama halnya seperti Majapahit, yaitu lambang "Surya".

Selain lambang Demak, dalam meriam Ki Amuk juga Ada dua prasasti berhuruf Arab yang terpatri di meriam ini. Yang pertama berbunyi "Aqibah al-Khairi Salamah al-Imani" yang berarti "Buah dari segala kebaikan adalah kesempurnaan iman". 

Prasasti kedua berbunyi "La fata illa Ali la saifa illa Zu al-faqar, isbir ala ahwaliha la mauta" yang berarti "Tiada pemuda kecuali Ali, tiada pedang selain Zulfiqar, hendaklah engkau bertakwa sepanjang masa kecuali mati".

Dizamanya (1527), Meriam Ki Amuk tergolong meriam besar, meriam ini dibuat sebagai tandingan (Pasangan) dari Meriam milik Portugis yang ada di Malaka (Meriam Si Jagur). 

Mengenai Meriam Si Jagur yang ada di Malaka itu, dikemudian hari dipindahkan oleh Belanda ke Batavia (Jakarta), selepas Belanda merebut Malaka dari tangan Portugis.

Posting Komentar untuk "Meriam Ki Amuk"