Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Daftar Raja-Raja Pajajaran, Dari Berdiri Hingga Runtuh

Selama berdiri dari tahun 1482 hingga tahun 1579 Pajajaran diprintah oleh enam orang Raja. Berikut ini adalah daftar Raja-Raja Pajajaran yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran. 

Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi)

Sri Baduga Maharaja dikenal juga dengan sebutan Prabu Siliwangi adalah Raja Pajajaran pertama, gelar lengkapnya Prabu Dewantaprana Sri Baduga Maharaja, sementara nama aslinya adalah Jaya Dewata, merupakan putra dari Prabu Dewa Niskala, Sri Baduga Maharaja  lahir pada tahun 1401 M di Kawali Galuh (Ciamis). Raja Pajajaran pertama ini memerintah pada tahun 1482 M hingga 1521 M.

Menurut beberapa naskah kuno dan Prasasti Batutulis, Sri Baduga dinobatkan menjadi raja sebanyak dua kali.

Pertama, ketika Sri Baduga mendapat mandat untuk memegang kerajaan Galuh di Kawali, Ciamis dari sang ayah Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kencana dari permaisuri Mayangsari Putri Prabu Bunisora dengan gelar Dewataprana.

Kedua, Sri Baduga Maharaja menerima mandat Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertuanya bernama Prabu Suksuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kencana dari Permaisuri Ratna Sarkati Putri Resi Susuk Lampung.

Gelar Siliwangi

Berkenaan dengan gelar Siliwangi yang menjadi nama lain dari Sri Baduga dipercayai berasal dari dua kata, yaitu kata  “Silih” dan “Wewangi”, silih artinya pengganti dan wewangi artinya wangi atau harum, sehingga nama Prabu Siliwangi bisa dimaknai dengan “pengganti Prabu Wangi”. Penyebutan nama Prabu Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah ini ditulis pada tahun 1518 M.

Selain itu, berdasarkan bukti-bukti kesejarah yang telah banyak dipelajari para sejarawan dinyatakan bahwa Sri Baduga Maharaja dianggap bukan satu-satunya Raja unda yang bergelar Prabu Siliwangi, setidak-tidaknya terdapat dua orang raja yang bergelar demikian, yaitu Sri Baduga Maharaja dan kakeknya Niskala Wastu Kancana.

Masyarakat sunda menyebut Prabu Siliwangi sebab pada waktu itu menyebut raja sesuai nama aslinya adalah tidak sopan, raja dianggap agung dan suci, sehingga rakyat segan menyebut namanya, dari itulah rakyat lebih suka menyebut dengan nama Prabu Siliwangi.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dinyatakan dalam Naskah Wangsakerta, menurut naskah ini tidak ada satu pun raja Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi. Nama tersebut hanyalah julukan bagi raja Sunda yang menggantikan Prabu Wangi yang gugur di Perang Bubat.

Menurut Carita Parahiyangan, Prabu Wangi sendiri memiliki nama asli Prabu Linggabhuwana atau Prabu Maharaja. Nama Prabu Siliwangi muncul atas inisiatif rakyat Sunda sebagai bentuk terima kasih sebesar-besarnya atas jasa saat memimpin kerajaan di daerah Sunda. Pasalnya ia telah berjuang mempertahankan martabat orang Sunda saat Majapahit di bawah patih Gajah Mada melakukan siasat menjajah Sunda.

Jika mengacu pada sumber Naskah Wangsakerta, berarti raja terbesar sejarah Kerajaan Sunda adalah Niskala Wastu Kancana bergelar sebagai Prabu Siliwangi I dan diakhiri oleh Suryakancana bergelar sebagai Prabu Siliwangi VIII. Tetapi tidak mudah mengubah persepsi tersebut, karena sejauh ini masyarakat Sunda meyakini bahwa Prabu Siliwangi adalah gelar yang diberikan kepada Sri Baduga Maharaja saja.

Hal yang menguatkan persepsi masyarakat Sunda selama ini tentang gelar Prabu Siliwangi ditujukan kepada Sri Baduga Maharaja adalah ia memiliki kekuasaa yang sama besarnya dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya).

Masa Muda Sri Baduga Maharaja

Masa muda Sri Baduga Maharaja/Jaya Dewata dikenal sebagai pribadi yang suka mengembara, dikenal juga sebagai sosok pemberani. Kegemarannya menjelajahi hutan sembari berburu binatang. Dalam hal ini, ia terkenal memiliki ketangkasan jika dibandingkan teman yang lainnya. Kegemaran Sri Baduga masa muda tersebut bertahan hingga dewasa.

Prabu Jayadewata menikah dengan Nyi Ambetikasih putri pamannya sendiri yang bernama Ki Gedeng Sindangkasih putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Surantaka yang pada waktu itu pemerintahannya berpusat di Desa Kedaton (sekarang terletak di Kecamatan Kapetakan, Cirebon, Jawa Barat). Kerajaan Surantaka pada masanya terkenal menjadi pengendali saham di Pelabuhan Muarajati Cirebon yang berbatasan langsung dengan Kerajaan Singapura (Mertasinga-Cirebon).

Saat Ki Gedeng Sindangkasih wafat, Prabu Jayadewata akhirnya ditunjuk sebagai pengganti untuk melanjutkan memimpin kerajaan. Pengangkatan Prabu Jayadewata berdasarkan pada sosok kebesaran mendiang buyutnya bernama Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di Bubat dan mendapat gelar Prabu Wangi.
Sri Baduga Maharaja Raja Pajajaran Pertama
Pada masa mudanya, Sri Baduga juga dikisahkan pernah menyamar menjadi Keukeubingan Rajasunu, ia adalah satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Raja Kerajaan Japura yang bernama bernama Prabu Amuk Murugul putra Prabu Susuktunggal ketika sayambara memperebutkan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa (Ki Gedeng Jumajan Jati), penguasa Kerajaan Singapura.

Pernikahannya dengan Subang Larang melahirkan Raden Walangsungsang atau Cakrabuwana, Nyimas Rara Santang dan Raden Kian Santang. Kemudian Nyimas Pakungwati putri Pangeran Walangsungsang menikah dengan Sunan Gunung Jati putra Nyimas Rara Santang. Pangeran Walangsungsang sebagai Sultan Cirebon 1 dan Sunan Gunung Jati sebagai Sultan di Kesultanan Cirebon sejak tahun 1430 M.

Kemudian Prabu Jayadewata di jodohkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuktunggal, yang kemudian melahirkan Sanghyang Surawisesa dan kelak dinobatkan menjadi pengganti Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran

Gaya Kepemimpinan Prabu Siliwangi

Saat Prabu Siliwangi memerintah di Kerajaan Pajajaran, ia dikenal sebagai pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan Egalitarianisme. yakni paham yang memegang teguh asas kesetaraan dalam kehidupan sosial, agama, budaya, ekonomi dan politik.

Hal tersebut sering digambarkan sebagai bentuk ciri khas yang diterapkan oleh Prabu Siliwangi. Menurut Carita Parahiyangan pemerintahan Sri Baduga memiliki gaya tersendiri, diantaranya yaitu:

"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa."

Terjamah: (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).

Ungkapan naskah tersebut setidaknya dapat diketahui bahwa pada waktu itu masyarakat Pajajaran sedikit demi sedikit beralih agama yang awalnya Hindu Buddha ke Islam. yakni menganut agama baru dan meninggalkan agama yang sudah lama.

Naskah ini juga menceritakan bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat atau yang terkenal bernama Sunan Gunung Jati telah menghentikan pengiriman pajak yang seharusnya setiap tahun dikirimkan ke Pakuan Pajajaran.

Diusut dari susunan silsilah, Syarif Hidayat merupakan cucu Sri Baduga dari Lara Santang. la dijadikan raja oleh uanya bernama Pangeran Cakrabuwana dan menjadi raja yang memutuskan berdikari terlepas dari Kerajaan Pajajaran."

Pada waktu itu, Sri Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima. Istana ini sebelumnya diberi nama Surawisesa, kemudian diberitakan bahwa pasukan angkatan Laut Demak yang kuat berada di pelabuhan Cirebon guna menjaga kemungkinan datangnya serangan yang digelontorkan oleh Pajajaran." Sedangkan Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukan yang diutus oleh Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui bahwa pasukan Demak sudah bersiaga di sana.

Jagabaya akhirnya tidak berdaya menghadapi pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang berskala besar. Akhirnya, pertempuran tidak terjadi dikarenakan ada perundingan Cirebon-Demak dengan Pajajaran. Jagabaya pun memutuskan menyerahkan diri dan memeluk agama Islam. Kejadian ini tentu mendatangkan murka bagi Sri Baguda. Tanpa berpikir panjang, pasukan besar di Kerajaan Pajajaran dipersiapkan guna menyerang Cirebon. Tetapi pengiriman pasukan ini mampu dicegah oleh Purohita seorang pendeta tertinggi di Keraton Ki Purea Galih.

Cirebon merupakan warisan Cakrabuwana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya telah diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa, ayah Subanglarang santri Syekh Quro.

Cakrabuwana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga yang pada waktu itu belum menjadi Susuhunan sebagai penguasa Cirebon dengan menyandang gelar Sri Mangana. Sebab Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuwana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan dari Pajajaran ke Cirebon tersebut mampu diterima oleh penguasa Pakuan. Hal ini merupakan situasi yang dihadapi Sri Baduga saat menjabat di awal pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa sang raja mencurahkan perhatinya lebih kepada pembuatan parit pertahanan, pembinaan agamawan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan yang mudah diakses.

Kekuatan Kerajaan Pajajaran di Bawah Pemerintahan Sri Baduga Maharaja

Menurut sumber Portugis, dari seluruh kerajaan yang ada di Nusantara, Pajajaran memiliki jumlah prajurit yang kira-kira mencapai 100.000 pasukan. Raja sendiri memiliki transportasi gajah sebanyak 40 ekor.

Di wilayah maritim, Pajajaran memiliki beberapa kapal Jung yang fungsinya sebagai alat transportasi via laut sekaligus menciptakan perdagangan antar pulau. Selain kapas, baju, dan lainnya, tercatat terdana perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4.000 ekor setiap tahunnya. Perselisihan dengan Cirebon semakin memanas diakibatkan terjadinya perkawinan putra-putri dari Demak dan Cirebon.

Ada empat pasangan yang dijodohkan, di antaranya yaitu: Pangeran Hasanuddin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi), Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor,  Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun,  Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)

Disisi lain, Sri Baduga sangat mencemaskan persekutuan antara Cirebon dan Demak. Pada tahun 1512 M, Sri Baduga mengutus putra mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Imperium Portugis bernama Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudra Pasai. Sebaliknya, penjajahan ini termasuk meresahkan pihak Demak juga.

Atas kejadian ini, Pangeran Cakrabuwana dan Susuhunan Jati, tidak ingin menciptakan masalah semakin rumit. Mereka tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh sebab itu walaupun sempat memanas, tetapi permusuhan Pajajaran dengan Cirebon tidak sampai ke arah peperangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga sebenarnya mempermasalahkan kedekatan Cirebon dengan Demak yang terlalu akrab, ia tidak menyukai hal tersebut.

Sedangkan terhadap Islam, Sri Baduga tidak ada rasa benci dan ingin menghilangkan agama tersebut, sebab ia salah seorang yang memiliki permaisuri Subanglarang memeluk agama Islam. Kemudian anaknya bernama Walangsungsang alias Cakrabuwana, Lara Santang, dan Raja Sangara sejak  kecil telah diizinkan orang tuanya untuk mengikus agama yang dianut ibunya. Sebab permasalahan hanya bersifat statis dan tidak mengarah ke pertumpahan darah, maka kedua kerajaan yakni Cirebon dan Demak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikian pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai era kesejahteraan yang tertulis banyak di Carita Parahiyangan.

Prabu Surawisesa

Surawisesa adalah Raja Pajajaran kedua, ia menggantikan keududukan ayahnya Sri Baduga Maharaja karena anak tertua atau putra mahkota Raden Walangsungsang memilih keluar dari istana bersama adiknya untuk memperdalam agama Islam.

Surawisesa adalah putra Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal. Menurut Naskah Carita Parahiyangan, ia menadapat pujian sebagai sosok yang memiliki gelar perwira, perkasa dan tidak pernah takut. Selama 14 tahun menyandang seorang raja, tercatat bahwa ia melakukan pertempuran sebanyak 15 kali.

Menurut Nagara Kretabhumi dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Raja Surawisesa pernah mendapat mandat dari ayahnya untuk menghubungi Alfonso d'Albuquerque seorang Laksamana Bunker di Malaka. ia sebisa mungkin menjalankan amanah tersebut, dan tercatat sebanyak dua kali ia pergi ke Malaka, yakni tahun 1512 M dan 1521 M.

Hasil kunjungan pertama di tahun 1512 M merupakan bentuk penjajakan pihak Portugis yang diikuti oleh Time Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin Hendrik de Leme (merupakan ipar dari Alfonso d'Albuquerque) ke ibu kota Pakuan Pajajaran. Dalam kunjungan ini telah disepakati kedua belah pihak antara Portugis dan Kerajaan Pajajaran mengenai perdagangan dan keamanan. Dari perjanjian ini dibuat tulisan yang berangkap dua, satu untuk Pajajaran dan satunya lagi untuk pihak Portugis. Menurut Soekanto (1956) perjanjian ini secara sah ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M.
Surawisesa Raja Pajajaran Kedua
Sumber Portugis mengungkapkan "Van deze overeenkomst werdeen geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partijeen behield". Perjanjian ini telah disepakati bersama dan pihak Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Oleh sebab itu, setiap kapal yang dikemudikan Portugis mendarat di Malaka akan diberi muatan lada yang kemudian ditukar dengan barang-barang keperluan yang dibutuhkan pihak Sunda.

Saat benteng sudah mulai dibangun, dengan suka rela pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada setiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" yang ukurannya kurang lebih mencapai 351 kuintal.

Perjanjian yang dilakukan Pajajaran di bawah kekuasaan Surawisesa dengan Portugis ini mendatangkan kecemasan dari pihak Demak yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggana. Kecemasan ini mengacu pada Selat Malaka sebagai pintu masuknya perairan Nusantara sebelah utara. Sudah semestinya setiap pedagang seluruh Nusantara bahkan mancanegara datang untuk berdagang.

Ketika Sunda dan Malaka sudah dikuasai Portugis, secara otomatis akan melumpuhkan sektor maritim kerajaan di Nusantara. Terlebih Selat Malaka sebagai urat nadi kehidupan ekonomi Kerajaan Demak akan terputus. Maka dari itu, langkah yang diambil Sultan Trenggana adalah dengan mengirimkan armada di bawah pimpinan Fadillah Khan saat itu menjabat sebagai Senopati Kesultanan Demak. 

Fadillah Khan menikah dengan Ratu Pembayun, seorang janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia menikah kembali dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan begitu, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu dari Susuhunan Jati atau Syarif Hidayatullah.

Fadillah terkenal dengan nama Falatehan. Namun orang Portugis yang tidak bisa menyebut nama Fadillah Khan dengan baik menjadi Falatehan. Sedangkan Tome Pires menyebutkan Tagaril menjadi Ki Fadil. Sebutan ini adalah nama julukan yang ditujukan kepada Fadillah Khan dalam kehidupan sehari-hari.

Pintu masuk utama Selat Sunda. Sebelum pasukan ini datang, di Banten telah terjadi huru-hara yang dilakukan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Oleh sebab itu, kedatangan pasukan Fadillah ke Banten menjadikan masyarakat ketakutan.

Mereka berhamburan berlari mengamankan diri. Seperti Bupatí Banten beserta keluarga besarnya memutuskan untuk mengungsi ke ibu kota Pakuan Pajajaran.

Di tahun 1527 M, Fadillah beserta pasukan perang mampu merebut Pelabuhan Kelapa dari tangan Pajajaran. Penaklukkan ini tidak lain karena pasukan Fadillah menggunakan meriam yang tidak dimiliki oleh pasukan Pajajaran. Sehingga pasukan dari Pakuan berhasil dipukul mundur oleh Fadillah.

Pada waktu itu Portugis sebenarnya ingin membantu Pajajaran, tapi sudah terlambat. Hal ini dikarenakan Francisco de Sa yang mendapat tugas dari atasannya untuk membangun proyek benteng diangkat menjadi Gubernur di India. Padahal keberangkatan ke Sunda sudah dipersiapkan dengan 6 kapal dari Goa, tetapi sesampai tengah perjalanan armada ini diterpa badai di Teluk Benggala, tujuan utama mereka yakni ke Banten, tapi setelah mengetahui Banten sudah dikuasai oleh Hasanudin, akhirnya Francisco de Sa memutuskan untuk ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, Francisco de Sa memancangkan padrao tepat pada tanggal 30 Juni 1527 M, sekaligus memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge".

Selanjutnya galiun Francisco de Sa memisahkan diri dan hanya kapal Brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho yang langsung menuju ke Pelabuhan Kalapa. 

Sebenarnya pada waktu itu, Tanah Sunda yang strategis sudah dikuasai oleh Cirebon-Demak, tetapi Coelho terlambat mengetahui situasi, sehingga ia memutuskan untuk menepi dekat pantai. Hal tersebut menjadikan pasukan Fadillah semakin garang. 

Coelho dan beberapa prajurit mendapat serangan dadakan dari pasukan Fadillah yang mengakibatkan kerusakan berat dan banyak korban. Walaupun begitu, kapal Portugis di bawah pimpinan Coelho berhasil meloloskan diri dan menuju ke Pasai.

Pada tahun 1529 M, Portugis kembali mempersiapkan 8 buah kapal untuk melakukan balas dendam kepada pasukan Fadillah. Peristiwa 1527 M, yang menimpa pasukan Coelho merupakan tragedi yang menyakitkan bagi Portugis.

Opsi yang dilakukan Portugis yakni tidak menuju ke Malaka ataupun Kalapa, tapi semua armada diarahkan menuju Pedu. Di bawah kepemimpinan Surawisesa, kekuatan Pajajaran semakin menurun jika dibandingkan saat Sri Baduga masih hidup. Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. 

Walaupun yang berkuasa di Cirebon adalah Syarif Hidayatullah, tetapi di belakangnya berdiri orang-orang besar seperti Cakrabuana atau yang memiliki nama asli Haji Abdullah Iman. Cakrabuana merupakan kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan begitu, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain yang masih kekuasaan Pajajaran semakin hilang. Dalam hal kekuatan, Cirebon sendiri tergolong kerajaan yang lemah. la tidak memiliki pasukan dan benteng strategi yang kuat.

Tetapi setelah mendapat sokongan Demak, Cirebon lambat laut mulai tumbuh dan memiliki jati diri kuat di daerah Jawa Barat. Cirebon dan Demak berhasil menguasai kota-kota yang dekat dengan pelabuhan. Di sebelah timur, pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan.

Pada tahun 1528 M, Cirebon mengalami pertempuran dengan Galuh. Pertempuran ini juga memperlihatkan peran Demak yang cukup signifikan. Demak mengirim meriam beserta pasukan perang pada saat Cirebon terdesak mundur. Sehingga, pasukan Galuh tidak berdaya menghadapi panah besi yang besar dan menyemburkan kukur ireng dengan suara seperti Guntur kemudian memuntahkan logam panas. 

Alat perang seperti tombak, anak panah, pedang, dan lain sebagainya lumpuh seketika karena meriam. Pada akhirnya jatuhlah Galuh dan dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.

Pada tahun 1530 M, Sumedang mulai masuk ke dalam lingkaran penganuh Cirebon. Pengaruh ini ditandal dengan adanya penobatan Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tahun 21 Oktober 1530. Secara garis keturunan, Pangeran Santri merupakan cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayatullah. 

Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Tanah Cirebon. Ia menjadi Bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum Sumedang, sehingga secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah kekuasaan Cirebon. Dengan menguasai wilayah Citarum, Cirebon semakin mendapatkan kedudukan mapan. 

Selain itu, karena gerakan penggempuran ke Pakuan selalu mendapat perlawanan dari pasukan Surawisesa, akhirnya kedua belah pihak mengambil jalan terbaik dengan menggelar perdamaian dengan mengakui keberadaan daerah masing-masing.

Pada tahun 1531 M, tercipta perdamaian yang dikomandoi Syarif Hidayatullah mewakili Cirebon dan Prabu Surawisesa mewakili Pajajaran. Perjanjian ini menyepakati bahwa masing-masing kerajaan berdiri sebagai negara yang merdeka. Tidak ada penyerangan apapun yang dilakukan kedua belah pihak. Cirebon mengakui keberadaan Pajajaran dan sebaliknya Pajajaran mengakui keberadaan Cirebon.

Dari pihak Cirebon yang ikut menandatangani naskah perjanjian ini adalah Pangeran Pasarean merupakan Putra Mahkota Cirebon, Fadillah Khan dan Hasanudin. Perjanjian ini memberikan kesempatan kepada Surawisesa untuk mengurus kembali Kerajaan Pajajaran yang sempat kocar-kacir karena kerusuhan yang terus terjadi. la mendapat kesempatan membenahi seluruh struktur kerajaan.

Warisan dari sang ayah yang hanya tersisa setengah, mulai ia pulihkan kembali. Walaupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran di bidang maritim, Surawisesa tetap bersyukur karena Pajajaran tidak runtuh di tangannya. Surawisesa tercatat masih memiliki 1000 pasukan perang belamati yang setia kepadanya. Dalam suasana inilah ia mengenang kebesaran ayahnya, bahwa Kerajaan Pajajaran pernah berdiri tegak dan mampu menjadi tombak sejarah di Jawa bagian barat.

Perjanjian damai yang dilakukan dengan Cirebon telah memberi kesempatan Prabu Surawisesa untuk menunjukkan rasa hormat terhadap ayahnya sekaligus menunjukkan penyesalan mendalam karena belum mampu menjaga amanah yang ayahnya berikan yakni mempertahankan Pakuan Pajajaran tetap utuh.

Tahun 1533 M, tepat 12 tahun setelah wafatnya Raja Sri Baduga, ia membuat sasakala (tanda peringatan) yang ditujukan kepada ayahnya. Tanda peringatan ini kelak dikenal dengan nama Prasasti Batutulis yang mulanya diletakkan di Kabuyutan, tempat tenda kebesaran Sri Baduga yang berupa lingga. 

Batu ditancapkan di dasar tanah. Penempatan ini supaya kedudukan anak dengan ayah tetap mudah terlihat. Seorang anak yang ingin mengenang kebesaran sang ayah, Sri Baduga dengan peninggalan-peninggalan Surawisesa ciptakan. Surawisesa sendiri tidak berani berdiri dengan bersandingan dengan sang ayah. Demikian Prasasti Batutulis diletakkan agak menjorok ke belakang di samping kiri Lingga Batu.

Tanda peringatan di Prasasti Batutulis itu berisi sebagai berikut:

"Semoga selamat. Inilah tanda peringatan untuk Prabu Ratu Almarhum, dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja, raja penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata Dialah yang membuat tanda peringatan gunung-gunungan, meluaskan jalan dan mengeraskan dengan batu, membuat huyan Samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Maha Wijaya. Dialah yang membuat semua itu. ditulis dalam tahun saka lima-pandawa-pengasuh-bumi."

Bentuk penghormatan lain yang diciptakan Surawisesa adalah tidak menampilkan namanya di prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti tersebut. Satu berisi astakala ukiran jejak tangan, dan yang satunya berisi padatala ukuran jejak kaki Pemasangan Batutulis ini bertepatan dengan upacara srada yakni wujud "penyempurnaan sukma", yang diadakan setelah 12 tahun seorang raja wafat.

Surawisesa menjadi raja di Kerajaan Pajajaran selama 14 tahun dan ia meninggal di pusaran Padaren. Di antara beberapa raja Pajajaran, hanya ia dan ayahnya Sri Baduga yang termaktub kisah tradisional, baik babad, pantun, maupun Carita Parahiyangan.

Beberapa torehan yang dihasilkan oleh Prabu Surawisesa adalah membuat parit perlindungan Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan memanfaatkan benteng alam. Hal ini sangat membantu dalam menahan serangan lawan ke Pajajaran, hingga kerajaan ini runtuh karena serangan Kerajaan Banten pada tahun 1579 M.

Ratu Dewata

Selepa wafatnya Surawisesa, Pajajaran diperintah oleh Raja yang tidak cakap dalam politik, Raja Pengganti Surawisesa juga dikenal sebagai Raja yang lebih banyak mendalami ilmu agama ketimbang bertindak sebagai Raja. Pada Raja ini pula Pajajaran tercatat mengadakan Sunatan (Khitanan pra Islam) yang memang sudah menjadi adat kebiasaan orang Sunda sejak dulu. 

Ratu Dewata Raja Pajajaran Ketiga
Ratu Dewata adalah Raja ketiga Pajajaran menggantikan ayahnya Surawisesa. Ratu Dewata memerintah Pajajaran dari mulai Tahun 1535-1543 M. Dalam mempertahankan kerajaan, ia berbeda dengan ayahnya. Jika Surawisesa terkenal sebagai panglima perang yang perwira dan pemberani, Ratu Dewata terkenal alim dan taat kepada agama.

Ciri khas yang terkenal semasa ia menjabat adalah melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah susu, yakni sebuah tradisi tirakat yang diperbolehkan makan buah-buahan dan minum susu saja.

Di masa pemerintahan Ratu Dewata, perjanjian Pajajaran dan Cirebon yang ditetapkan era Surawisesa masih tetap berlaku. Tetapi ia tidak begitu memedulikan. Seharusnya sebagai tokoh nomor satu di Kerajaan Pajajaran, ia harus tetap siaga. Namun faktanya ia kurang mengenal seluk beluk politik pemerintahan.

Di zaman Ratu Dewata, perjanjian Pajajaran dan Cirebon mulai diungkit kembali. Hasanudin dari Banten yang pada waktu ikut menandatangani perjanjian perdamaian hanya patuh kepada siasat ayahnya Susuhunan Jati yang melihat kepentingan wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum, namun, secara personal Hasanudin kurang setuju atas terselenggaranya perjanjian tersebut, sebab wilayah Hasanudin berbatasan langsung dengan Pajajaran. Atas hal ini, secara diam-diam Hasanudin membentuk pasukan khusus yang tersembunyi dan memiliki fungsi bergerak cepat ketika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Kerajaan Pajajaran di bawah kepemimpinan Ratu Dewata masih diuntungkan dengan memiliki perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai perwira senior, ia memiliki berbagai pengalaman banyak saat menghadapi musuh. Selain itu, ketangguhan benteng Pakuan Pajajaran warisan dari Sri Baduga Maharaja menyebabkan serangan cepat dari Banten melalui Pelabuhan Kalapa tidak mampu menembus benteng pertahanan Pakuan. Tapi dua orang Senopati Pajajaran harus gugur akibat serangan itu, yakni Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet.

Sikap Ratu Dewata yang suka mengambil jalan hidup bertapa dan terlalu alim, menurut persepsi masyarakat Sunda pada zamannya tidak begitu tepat. Sebab ia berposisi sebagai raja yang harus memerintah dengan baik. 

Sikap tapa brata yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah lengser dari takhta dan menempuh kehidupan manurajusuniya atau mengambil jalan sunyi untuk mendekatkan kepada Sang Hyang Kuasa, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana.

Dalam Naskah Carita Parahiyangan, sosok Ratu Dewata dicela dengan berbagai sindiran karena dianggap munafik. Demikian petikannya:

 "Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik papuasaan" (Maka berhati-hatilah yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa)

Tirakat Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan yang ada. Berbeda dengan Surawisesa, walaupun ia tidak memiliki wibawa Sri Baduga Maharaja, tetapi ia mampu menjaga Kerajaan Pajajaran dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan membuat Prasasti Batutulis sebagai ekspresi hormat yang ditujukan kepada ayahanda Sri Baduga Maharaja. Selain itu, untuk mengambil jalan tengah agar Kerajaan Pajajaran tetap berdiri atas serangan Cirebon dan Demak, ia melakukan perjanjian agar tidak semakin menghancurkan Pajajaran.

Ratu Sakti

Ratu Sakti adalah Raja Kerajaan Pajajaran keempat menggantikan Ratu Dewata, Ratu Sakti berkuasa selama 8 tahun dari mulai tahun 1543 M hingga 1551 M. Kemudian ia dikudeta dari takhta dan digantikan oleh Nilakendra yang pada waktu itu berkuasa dari tahun 1551 M hingga 1567 M.

Menurut Carita Parahiyangan sosok Kaliyuga atau Ratu Sakti pada masa Nilakendara yang ditandai dengan adanya keadaan masyarakat yang semakin tidak terkendali. Banyak dari orang pedalaman yang jaraknya jauh dari Kerajaan Pajajaran melakukan kejahatan dan kemaksiatan. Namun jika diurut dari masalahnya, tentu kejadian ini muncul di waktu Ratu Sakti menjabat sebagai raja, sedangkan Nilakendra hanya berbentuk kondisi lanjutan yang mengarah pada zaman pralaya (jahiliah).

Carita Parahiyangan menuliskan, "Aja tinut de sang kawuri polah sang nata" (Janganlah ditiru kelakuan raja ini oleh mereka yang kemudian menggantikan).

Masa pemerintahan Ratu Sakti, kondisi kerajaan terbilang bobrok, karena meskipun jelas-jelas kerajaan dalam kondisi carut marut, Ratu Sakti justru tidak memperhatikan rakyat, ia gemar mabuk-mabukan dan berfoya-foya.

Sebetulnya pada masa Ratu Sakti, Pajajaran akan dapat mengembalikan wilayah-wilayah Sunda yang telah dikuasai Cirebon. Sebab, Banten dan Kalapa mengalami kekosongan pasukan. Pasukan Banten, Cirebon dan Demak telah disibukkan dalam misi penaklukan Pasuruan dan Panarukan. Serbuan pasukan gabungan tersebut menguras fokus Demak, Cirebon dan Banten di wilayah Pajajaran, terlebih Sultan Trenggono gugur dibunuh pelayannya sendiri yang baru berusia 10 tahun, putra Bupati Surabaya.

Baca Juga: Kematian Sultan Trenggono Dalam Catatan Portugis

Meninggalnya Sultan Trenggono menjadikan Demak semakin carut-marut. Ketidakstabilan pemerintahan Demak telah menambah korban lagi yakni Pangeran Pasarean, putra Mahkota Cirebon. Di tahun 1546 M, akhirnya secara resmi Kerajaan Demak dinyatakan runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Pajang, kemudian dilanjutkan oleh Mataram.

Kondisi ini seharusnya dimanfaatkan oleh Ratu Sakti untuk mengembalikan martabat Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, ia lebih memilih bersenang-senang menikmati kehidupan yang serba glamor.

Ratu Sakti perlu menstabilkan kembali kondisi negara, dan dapat dibenarkan jika ia mengambil langkah dengan adanya penghormatan aturan-aturan dan etika yang berlaku di kerajaan. Tapi langkah yang dilakukan Ratu Sakti justru sebaliknya.

Kesan yang ditangkap masyarakat Sunda terhadap raja yang satu ini adalah jauh dari kebijaksanaan. Ketika ada permasalahan, Ratu Sakti lebih memilih menyelesaikannya dengan cara yang represif. Tidak sedikit masyarakat yang dihukum mati hanya karena masalah sepele.

Harta benda rakyat disita pihak keraton, pengendalian pajak yang selalu tidak menguntungkan bagi rakyat kecil, ia dinilai menjadi raja yang tidak berbakti kepada orang tua, terlebih ia suka melakukan penghinaan terhadap pendeta.

Kondisi seperti itulah yang menjadikan rakyat semakin muak dengan Pajajaran dan lebih memilih dibawah naungan Banten dan Cirebon yang dikenal bijaksana, pada akhirnya mereka juga mengambil jalan perlawanan terhadap rajanya sendiri. Sifat yang dimiliki Ratu Sakti berbeda jauh dengan Ratu Dewata. Dalam Carita Parahiyangan, Ratu Dewata terkenal alim, rajin berpuasa dan sering bertapa sementara Ratu Sakti sebaliknya.

Wafatnya Ratu Sakti banyak yang menduga karena mengalami kekerasan, sebab jika dilihat dari kehidupan sehari-hari, mustahil jika ia melepaskan jabatan raja dengan mengundurkan diri begitu saja sebagaimana yang dilakukan Dewa Niskala (Kawali). Ratu Sakti dimakamkan tidak di Pakuan tapi di Pengpelangan.

Ratu Nilakendara

Ratu Nilakendra Raja Pajajaran Kelima
Ratu Nilakendra atau Tohaan Dimajaya merupakan raja kelima Kerajaan Pajajaran. Ratu Nilakendra memimpin Kerajaan Pajajaran selama 15 tahun, yakni dimulai wafatnya Ratu Sakti 1551 M hingga 1567 M.

Sedari pemerintahan Ratu Sakti, sebenarnya Kerajaan Pajajaran sudah ditimpa masalah kompleks, mulai masyarakat yang sudah tidak percaya lagi dengan pemerintahan seorang raja Ratu Sakti, kemaksiatan dan kejahatan semakin banyak, dan masyarakat mengalami kelaparan sebab Kerajaan Pajajaran tidak menyuplai kebutuhan pokok. 

Ciri khas sifar yang dimiliki Ratu Sakti adalah suka mabuk-mabukan jauh dari agama serta tidak memedulikan tatanan hokum negara, sehingga tidak sedikit rakyat yang membangkang, Ratu Sakti juga dikisahkan memiliki moral buruk.

Ia terkenal memberlakukan hukum semena-mena terhadap masyarakat kecil, yakni dengan menghukum mati penduduk, merampas harta masyarakat tanpa alasan yang pasti. Ratu Sakti juga dicap sebagai raja yang berani melanggar adat keraton sebab telah mengawini seorang putri larangan dari keluaran yang dilarang adat secara keras. Bahkan ulahnya yang paling parah adalah dengan memperistri ibu tirinya sendiri.

Meskipun Ratu Sakti ketika memerintah Kerajaan Pajajaran terkenal kejam dan tidak bermoral, tapi ia dianggap sebagai raja yang dikategorikan mampu memimpin kerajaan dengan benar. Sebab berbagai hal yang menyangkut kedaulatan Negara masih ia pertahankan selama masih menjabat sebagai raja.

 Berbeda dengan raja selanjutnya, Nilakendra tidak melanggar larangan adat apapun, tapi raja kelima Kerajaan Pajajaran terjerumus ke dalam aliran mistis keagamaan Tantra. Dari Carita Parahiyangan menjelaskan bahwa sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini menupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan yang melanda rakyat Sunda telah terjadi pada waktu itu.

Mereka melakukan cara apapun untuk menyambung hidup. Sedangkan uluran tangan dari pihak kerajaan tidak ada sama sekali. Hal lain yang membuat frustrasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi yakni ditandai dengan ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran Tantra merupakan aliran yang rutinitas melakukan meditasi dengan mengolaborasikan simbol Yoni dan Lingga. Artinya yakni meditasi dengan melakukan hubungan intim antara laki-laki dan perempuan.

Sekte seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Kerajaan Pajajaran saja, tapi dari Kerajaan Singasari juga pernah menganut ajaran ini. "Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar" (Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan nikmat yang layak dengan tingkat kekayaan).

Di saat rakyat kelaparan dan tidak ada uluran tangan kerajaan, justru Nilakendra memperindah keraton. Ia membangun taman dengan jalur-jalur yang terbuat dari batu untuk mengapit gerbang larangan, melengkapi pernak-pernik istana dengan jimat-jimat, dan membangun rumah keramat (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah lingkup kerajaan menggunakan lempengan emas.

Sedangkan untuk melawan musuh, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, Nilakendra membuat sebuah "bendera keramat" (Ngibuda Sanghyang Panji). Bendera inilah yang diandalkan Nilakendra untuk mengusirmusuh. Ia percaya siapa saja yang ingin menyerang Pajajaran, maka pasukan tersebut akan takut dengan sendirinya. Padahal menurut pasukan Banten sendiri, simbol bendera tersebut tidak memiliki arti apapun, dan pasukan Banten tidak pernah merasa takut melihat bendera itu.

 Hingga pada akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (Kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton). Kepemimpinan Nilakendra seperiode dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan jika menurut isi buku Sejarah Banten terjadinya serangan ke Pakuan ternyata melibatkan Hasanudin dengan putranya yang bernama Yusuf.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah putra mahkota, Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat pada tahun 1568 M dan Fadillah wafat 1570 M). 

Demikianlah, sejak saat itu ibu kota Pakuan Pajajaran telah ditinggal oleh raja dan nasib kerajaan diserahkan sepenuhnya kepada penduduk Pajajaran dan prajurit yang tinggal di keraton. Tapi seusai serangan dari Banten, Pakuan sanggup bertahan lagi selama 12 tahun.

Menurut Carita Parahiyangan, Ratu Nilakendra tercatat sebagai raja yang ngawur dalam memimpin Kerajaan Pajajaran. Di bawah pemerintahan Ratu Nilakendra inilah Kerajaan Pajajaran mampu ditaklukkan oleh pasukan Banten, sementara sang raja sendiri melarikan diri ke pedalaman Sunda.

Perang Banten Vs Pajajaran diakibtkan oleh perselisihan wilayah perbatasan dengan Banten sehingga mengakibatkan perang besar antar kedua kerajaan, perang berkecamuk dengan dahsyat namun pasukan Banten dapat merangsek menuju Ibu Kota Kerajaan dan menawannya.

Kekalahan Pajajaran oleh Banten dikarenakan Kerajaan Pajajaran hanya mengandalkan jimat-jimat yang dibuat rajanya, sedangkan teknik dan strategi peperangan tidak pernah diasah. Akhirnya Banten dapat merebut ibu kota dan Istana Pajajaran sementara "Ngibuda Sanghiyang Panji" yang dahulu selalu dibangga- banggakan dan dipercaya menjadi tolak-balak atas musuh temyata tidak memiliki berfungsi apapun. Maka mulai setelah itu, Kerajaan Pajajaran memasuki masa keruntuhan, meskipun demikian Nilakendra berhasil menyelamatkan diri dari kepungan pasukan Banten, ia kemudian menjadi raja pelarian tanpa istana. Nilakendra wafat dalam pelarian pada tahun 1567 M.

Raga MulyaRagamulya/Prabu Surya Kencana Raja Pajajaran Terakhir

Raga Mulya merupakan raja terakhir Kerajaan Pajajaran. Ia menjabat sebagai raja selama 12 tahun yaitu dari Tahun 1567 M hingga 1579 M. Dalam Naskah Wangsakerta sosok Raga Mulya disebut sebagai Prabu Suryakencana sedangkan dalam Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Nusya Mulya.

Raga Mulya menjadi Raja pelarian dengan berkedudukan di Suryakancana (Pandai Gelang), oleh karena itu ia juga dikenal sebagai Prabu Suryakencana atau Panembahan Pulasari.

Pulasari terletak di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari. Menurut Pusaka Nusantara III dan Krethabumi I disebutkan bahwa "Pajajaran sirna ing ekadasa suklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ilang Sakakala" (Pajajaran runtuh pada tanggal sebelas bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka).

Tanggal sebelas bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka bertepatan pada 8 Mei 1579 M. Dari Naskah Banten telah memberitakan secara jelas mengenai keberangkatan Pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan Pajajaran dalam puluh kinanti yang artinya, "Waktu keberangkatan itu terjadi pada bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".

Walaupun tahun Alif baru digunakan Sultan Agung Kerajaan Mataram pada tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun keruntuhan Pakuan 1579 M ini memang akan jatuh pada tahun Alif. Kekeliruan hanya hinungan hari, sebab dalam periode tersebut, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu. 

Hal terpenting dalam Naskah Banten adalah memberitakan bahwa benteng yang ada di Kerajaan Pajajaran mengelilingi ibu kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya pengkhianatan. Komandan yang selalu menjaga benteng di Pakuan merasa sakit hati karena telah diabaikan.

Selama ia menjabat tidak pernah mendapat gelar yang mendorong pangkatnya naik. Ia adalah saudara Ki Joglo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Di waktu tengah malam, Ki Joglo bersama beberapa pasukan mencoba menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu. Hal ini membuktikan betapa kokohnya benteng pertahanan Kerajaan Pajajaran yang dibuat era Siliwangi. 

Semasa meninggalnya Nilakendra, Kerajaan Pajajaran mengalami kekosongan kekuasaan, tetapi tetap saja musuh tidak mampu menembus benteng pertahanan tersebut. Untuk menembusnya, mereka harus menggunakan cara yang halus.

Masa berakhirnya Kerajaan Pajajaran (1482-1579), ditandai dengan diboyongnya Palangka Srimann Snwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. 

Batu yang berukuran 200x160x20 cm ini terpaksa diboyong ke Banten karena budaya politik pada waktu in mengharuskan melakukan cara demikian. Pertama, dengan dipindahnya Palangka tersebut, di Pakuan sudah tidak ada lagi penobatan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf melegitimasi dirinya menjadi seorang penerus kekuasaan Pajajaran yang sah. 

Karena buyut perempuannya adalah putri dari Sri Baduga Maharaja, sementara di sisi lain seluruh atribut dan perangkat kerajaan secara resmi telah diserahkan kepada Kerajaan Sumedang Larang melalui empat Kandaga Lante.

Dalam Carita Parahiyangan disebutkan: "Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwa Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri ratu Dewata" (Sang Susuktunggal ialah yang membuat takhta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata). 

Istilah "palangka" secara umum memiliki arti tempat duduk (dalam bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara kontekstual bagi Kerajaan Pajajaran adalah "takhta", Dalam hal ini, takhta tersebut melambangkan tempat duduk khusus yang diperkenankan pada upacara penobatan seorang raja. Di atas palangka itulah calon raja diberkati dengan berbagai prosesi upacara oleh pendeta tertinggi.

Tempat palangka berada di kabuyutan kerajaan, bukan di dalam istana. Sesuai dengan budaya Pajajaran, takhta tersebut dibuat dari batu dan diasah hingga halus mengkilap. Kemudian diberi bahan tertentu yang fungsinya menjadikan batu tersebut serasa memiliki kesakralan tersendiri. 

Dari penduduk asli Sunda, menyebut batu ini sebagai batu pangcalikan atau batu ranjang. Batu Pangcalikan sekarang bisa ditemukan di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sedangkan batu ranjang dengan kaki yang diukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang. Letaknya di kawasan petakan sawah yang terjepit pohon. 

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini berada di depan bekas keraton Surasowan di Banten. Karena wujudnya yang mengkilap dan berbeda dengan batu lainnya, banyak orang Banten menyebutnya watu gigilang. Istilah gigilang artinya berseri atau mengkilap, sama dengan arti kata sriman.

Posting Komentar untuk "Daftar Raja-Raja Pajajaran, Dari Berdiri Hingga Runtuh"