Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perang Mataram Vs Cirebon

Mungkin sekalian pembaca sudah tidak asing ketika mendengar kisah peperangan antara Mataram dengan Surabaya, Mataram dengan Balambangan, Mataram dengan Banten, Mataram dengan Madura ataupun perang Mataram melawan VOC Belanda di Batavia, karena memang kisah-kisah tersebut banyak bermunculan di buku-buku sejarah.

Benar dan memang demikian adanya, yang asing itu, informasi mengenai perang  Mataram Vs Cirebon. Mengapa dikatakan asing? Jawabnya karena pada umumnya Mataram dan Cirebon ini dikisahkan dalam buku-buku sejarah sebagai sekutu dekat.

Mungkin pembaca akan tambah kaget lagi atau bahkan terpingkal-pingkal jika mengetahui ternyata sebab musabab perang tersebut dikabatkan Patih Arya Salingsingan selaku Patih Kesultanan Cirebon dengan lancangnya membabad (Mencukur) habis sebagain kumis Sultan Mataram.

Perhatikan cuplikan kisah sebagaimana gambar-gambar dibawah ini;
Tarjamah Naskah Mertasinga
Cuplikan kisah tersebut di atas, sebagaimana pembaca melihatnya dapat  ditemui dalam Naskah Mertasinga pada Pupuh LXXI-LXXV.  Nah untuk lebih jelasanya demikian ringkasan ceritanya:

Dikisahkkan pada masa Cirebon diperintah oleh Panembahan Ratu Cirebon menjadi bawahan Mataram. Dalam tiap tahunnya Cirebon seba (Menghadap) ke Mataram sebagai bentuk pengakuan atas kekuasan Mataram di Pulau Jawa.

Sultan Cirebon dalam sebanya ke Mataram suatu waktu membawa serta para Patihnya, yakni Patih Arya Salingsingan, Arya Tandhumuni, Ki Jagasatru, Ki Arya Kanduruan dan Arya Wanahaji.

Pada bulan seba itu, kerajaan-kerajaan yang menjadi bawahan Mataram semuanya berkumpul, dalam perkumpulan itu tiap-tiap kerajaan memamerkan kecakapan dan kepandaiannya masing-masing di depan Sultan Mataram, ada yang memamerkan keahlian memainkan pedang, memanah, berkuda dan bahkan ada yang mempertunjukan kesaktian kebal senjata.

Cirebon dalam kesempatan tersebut malah justru tidak menampilkan keahlian apa-apa. Atas peristiwa tersebut, Cirebon diolok-olok oleh orang Mataram katanyaOrang Cirebon Tidak Bisa Apa-Apa Dan Tidak Punya Kepandaian Apa-Apa, Mereka Amat Miskin Dan Hanya Pandai Mengemis Saja.

Marah dengan olok-olokan tersebut, Ki Jagasatru maju serta berkata “Izinkan Meriam yang besar itu, yang bernama meriam Si Satomi untuk dibawa kemari akan ku panggul dan akan ku ledakan sekalian” mendengar itu orang mataram justru malah mengolok dan berkata “Hai Orang Cirebon Sombong sekali Kalian.!”.

Sultan Mataram kemudian menetujui permintaan Ki Jagasatru untuk mengambil Meriam itu. Arya Salingsingan lalu mengambil Mesiu kemudian mengisikanya pada Meriam, sementara dengan cepat Ki Jagasatru memanggul meriam tersebut, adapun Ki Tandumuni kemudian meloncat di atas meriam untuk kemudian menyalakanya, Dooooor bunyi ledakan meriampun menggelegar dengan nyaringnya.

Anehnya Ki Jagastru yang tampil memanggul meriam itu masih tetap berdiri kokoh, tak goyah barang sedikitpun. Melihat kejadian tersebut orang-orang Mataram yang sebelumnya menghina Carbon terperangah keheranan, dan mulai kagum.

Setelah peristiwa tersebut, Sultan Mataram merasa khawatir pada kedudukanya, takut Cirebon memberontak, dan mampu mengalahkan Mataram, mengingat kemampuan orang Cirebon dalam kecakapan memainkan senjata diluar kemampun pada umumnya.

Mulai setelah itu, tamu dari Cirebon dijaga ketat di Mataram, bahkan tas, dan perbekalan Panembahan Ratu selama berkunjung di Matarampun diperiksa dengan semena-mena seperti tidak menghargai Sultan Cirebon.

Atas perlakuan buruk tersebut, Arya Salingsingan, Arya Tandhumuni, Ki Jagasatru, Ki Arya Kanduruan dan Arya Wanahaji menyimpan dendam dan marah besar. Maka ketika masa seba telah habis, rombongan Sultan Cirebon kemudian memohon diri untuk pamit pulang ke Cirebon. Namun, para Patih Cirebon itu justru tidak ikut serta pulang beserta rombongan, melainkan membuat kekacauan di dalam Istana Mataram.

Arya Salingsingan mengeluarkan aji limunan sehinga wujudnya tak tampak mata, dengan ajian itu, ia memasuki Istana, sementara itu di dalam istana, Sultan Mataram sedang duduk akan bersantap dengan dilayani pelayannya, melihat hal tersebut dengan tanpa diketahui Sultan Mataram, Arya Salingsingan kemudian memegang dahi Sultan Mataram dan mencukur separuh kumis Sultan Mataram.

Para pelayan Sultan merasa terkejut melihat kumis Rajanya terpotong separuh dengan sendirinya, tanpa sadar para pelayan tersebut kemudian tertawa terbahak-bahak.

Melihat hal tersebut Sultan Mataram kemudian murka, dan mempertanyakan sebab-sebab para pelayannya terbahak-bahak tanpa adab didepan Rajanya.

Dengan ketakutan para pelayan tersebut kemudian memberitahukan mengenai hilangnya separuh kumis sang Raja

Sultan Mataram segera mengambil cermin, dan kemudian berteriak sambil berkata “Perbuatan Siapa ini…?” Arya Salingsingan kemudian menjawab dengan tanpa rupa “Aing Nu Nyukur Heunteu Sieun, Ku Tangkurak Sia..!! (Aku yang mencukur, Aku tak yakut padamu…!!)”

Mendengar jawaban tanpa rupa itu, Sultan Mataram kemudian menanyakan pada patihnya, “Hai Patih apa maksudnya itu, aku tak mengerti bahasa “Aing Nu Nyukur” sambil menyembah patih itu kemudian menjawab “Ampun Gusti, bahasa yang memakai kata “Aing” itu ialah bahasanya orang Cirebon yaitu bahasa Sunda”. Dengan marah besar sultan Mataram kemudian memerintahkan agar orang Cirebon dihadapkan, namun demikian ternyata rombongan Cirebon waktu itu sudah pulang.

Setelah peristiwa tersebut, Mataram kemudian melakukan penyerangan terhadap Cirebon, serangan pertama dipimpin oleh Pangeran Purbaya dengan 1000 prajurit, medan tempurnya berada di Kali Kasuneyan desa Progol, dalam serangan tersebut Pangeran Purbaya terbunuh oleh Arya Tandumuni.

Gagal pada serangan pertama, selanjutnya Sultan Mataram mengirimkan lagi tentaranya untuk menyerbu Cirebon, serbuan dipimpin oleh Pangeran Salatiga dengan puluhan ribu pasukan, adapunn yang menjadi medan tempur atau tempat berlangsungnya peperangan yaitu di Tugu Manggang, dalam serangan kedua ini pasukan Mataram juga berhasil dikalahkan akan tetapi Pangeran Salatiga tidak terbunuh.

Belum puas akan kegagalan serangan yang kedua kalinya, Sultan Mataram dalam lain kesempatan mengutus puluhan ribu pasukan Mataram kembali menyerang Cirebon, adapun yang menjadi panglima Mataram waktu itu adalah Nata Suwangga dan penyerbuan yang ketiga inipun dapat ditumpas Cirebon. Adapun yang menjadi lokasi medan peperangan dalam serangan ketiga ini adalah di Losari.

Setelah kegagalan penaklukan Cirebon yang ketiga kalinya itu, Mataram menyerah dan tidak lagi menggangu orang Cirebon.

Selanjutnya setelah peristiwa ketangguhan orang Cirebon dalam menghadapi Mataram itu tersiar luas, banyak tokoh-tokoh Mataram yang dianggap memberontak pada Raja Mataram kemudian meminta Suaka kepada Cirebon. 

Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah, Arya Angkasa Manca yang kemudian diberi Suaka dan ditempatkan di Kanggraksan, Arya Dirja diberi tempat di Klayan, Arya Jagabayan diberi tempat di Jagabayan, Gedeng Kiring diberi tempat di Pakiringan, Gedeng Pengampon diberi tempat di desa Pengampon.

Demikianlah kisah peperangan Mataram Vs Cirebon yang dikabarkan dalam Naskah Mertasinga, namun perlu dipahami dan dicatat bahwa, didalam sejarah dinyatakan bahwa Panembahan Ratu memerintah Cirebon dari tahun 1568 M sampai dengan 1649 M.

Pada masa Panembahan Ratu memerintah, Mataram ternyata tiga kali melakukan pergantian Raja,  yaitu sejak Kiyai Ageng Pamanahan menjadi Adipati Kota Gede yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sutawijaya atau Senapati (1575 M-1601M), dan kemudian Mas Djolang (1601 M-1613 M).

Pada tahun 1613-1646 anak Mas Djolang, Sultan Agung memerintah di Mataram. Saat itu Mataram dalam puncak keemasannya. Hampir seluruh pulau Jawa dikuasainya. Kecuali pulau Jawa bagian barat yaitu Banten dan Cirebon.

Dengan demikian maka peristiwa serangan Mataram ke Cirebon yang terekam dam Naskah Mertasinga pada Pupuh LXXI-LXXV dipastikan terjadai pada masa Raja-raja Mataram yang telah disebutkan di atas.