Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kiprah Kiyai Abbas Dalam Pertempuran 10 November Surabaya

10 November Tahun 1945 adalah hari pertempuran besar yang pernah terjadi di Kota Surabaya Jawa Timur, pertempuran tersebut merupakan pertempuran besar antara tentara sekutu yang dipimpin Inggris dengan Pemerintah Indonesia yang dubantu milisi-milisi perjuagan dari berbagai daerah yang sengaja datang untuk menyerahkan nyawa ke Surabaya. Karena begitu dahsyatnya perang ini sampai-sampai Pemerintah Indonesia dikemudian hari menetapkan 10 November 1945 sebagai hari pahlawan Nasional. Sebab pada hari inilah pahlawan-pahlawan yang datang berjuang ke Surabaya baik yang gugur maupun yang hidup tak mampu dihitung bilangannya.

Diantara milisi-milisi pejuang yang turut membantu pemerintah dalam melawan Sekutu pada 10 November 1945 adalah milisi Sabilillah, milisi ini merupakan milisi yang didirikan oleh para Ulama.

Adapun dalam perang 10 November, berdasrkan musyawarah yang diadakan di Rembang yaitu di Kediaman Kiyai Bisri, diputuskan bahwa yang menjadi panglima perang milisi Sabillah dalam rangka menghadapi sekutu di Surabaya adalah Kiyai Abbas Bin Abdul Djamil beliau merupakan Kiyai kharismatik yang berasal dari Pesantren Buntet  Cirebon. 

Kiyai  Abbas merupakan anak Kiyai Abdul Djamil, cucu dari Kiyai Muta’ad adapun buyut beliau adalah Kiyai Muqqoyim atau orang Buntet biasa menyebut beliau Mbah Muqoyyim, buyut beliau merupakan Pendiri Pesantren Buntet. Kiyai Abbas lahir pada hari Jumat tanggal 24 Dzulhujjah tahun 1300 H (1879 M) di Kelurahan Pekalangan, Kota Cirebon, Jawa Barat (Rizki Tadarus, 2016:VII).

Baca Juga:
Adapun sisililah Kiyai Abbas dimulai dari buyutnya Kiyai Muqoyyim adalah sebagi berikut:
Selain berperan dalam perang kemerdekaan di Surabaya beliau juga Kiyai yang telah membuat semacam sturuktur atau metodologi pengajaran di Pondok Buntet Pesantren Cirebon yang sebelumnya belum diatur dengan baik. Kiyai Abbas juga berperan terhadap berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, beliau juga pernah menjabat sebagai ketua bagian hukum atau Syuriah di Organisasi Sarekat Islam, dan selain itu beliau juga merupakan seorang Mursyid tarekat Syattariyah dan tarekat Tijaniyah di Cirebon (Rizki Tadarus, 2016:VII).

Adapun dalam kitannya dengan peristiwa perang serta kiprah Kiyai Abbas selaku Panglima milisi Sbalilillah dalam perang 10 November di Surabaya adalah sebagai berikut:

Dari Cirebon berama santri-santrinya beliau naik kereta api menuju Rembang. Pada waktu itu, Kiyai Abbas tampak mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat serta bersorban, dan beralas kakikan Bakiak. 

Setibanya di Stasiun Rembang Jawa Tengah, ternyata sudah banyak orang yang menunggu-nunggu kedatangan beliau. Rombongan Kiyai Abbas lalu diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri, di Rembang. Malam harinya, dilakukan musyawarah untuk menentukan teknik peperangan yang digunakan serta menentukan siapa yang menjadi Panglima Sabilillah dalam rangka menghadapi Sekutu.

Hasil musyawarah itu kemudian memutuskan bahwa yang menjadi, komando atau Panglima pertempuran dipercayakan kepada Kiyai Abbas. 

Usai Shalat Shubuh, Pondok Pesantren Rembang sudah ramai oleh para santri yang siap mati berjuang melawan penjajah. Rombongan lalu berangkat ke Surabaya.

Sebelum berangkat ke Surabaya, Kiyai Abbas sempat memanggil santrinya Abdul Wachid dan meminta sandal bakiak yang dititipkan telah kepadanya saat di Cirebon. Kiyai Abbas lalu berangkat dengan menumpang mobil sedan kuno.

Saat pertempuran di Surabaya, Kiyai Abbas dan kiyai lainnya berada di tempat yang agak tinggi, sehingga bisa dengan jelas mengamati jalannya perang. Dan dari tempat itulah misilisi Sabilillah yang dipimpin beliau melancarkan serangan-serangannya.

Dari ketinggian ini pulalah Pasukan Sabilillah yang di komandoi Kiyai Abbas diceritakan banyak membunuh tentara sekutu, bahkan beberapa pesawat tempur milik sekutu berhasil dijatuhkan melalui perjuangan beliau dan milisi Sabilillah.

Demikianlah sekelumit mengenai perjuangan Kiyai Abbas dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah di Proklamirkan 4 bulan sebelumnya (17 Aguatus 1945)