Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Masuk Islamnya Pucuk Umun Raja Talaga

Dalam sistem pemerintahan kerajaan Sunda istilah Pucuk Umun ini digunakan untuk menamai penguasa atau raja daerah di wilayah kerajaan Sunda, Pucuk Umun sendiri secara bahasa bermaksud puncak pimpinan (Raja). 

Pada abad ke 15, di Talaga (Kini Masuk Pada Wilayah Kab Majalengka), telah berdiri sebuah kerajaan kecil bawahan Pajajaran bernama Talaga. Waktu itu kerajaan ini dipimpin oleh Kakak beradik yaitu Pucuk Umun dan Dewi Mandapa. 

Setelah penaklukan Rajagaluh dan beberapa kerajaan Kecil bawahan Pajajaran di wilayah barat Pajajaran oleh Cirebon banyak kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran yang umumnya masih kerabat kerajaan ini sebagiannya memilih berontak ketimbang berada dibawah pemerintahan Cirebon salah satu yang berontak itu adalah Kerajaan Talaga. Kala itu Talaga merupakan benteng terakhir Pajajaran diwilayah Paling barat kekuasaannya. 

Kontak fisik pertama antara Cirebon dan Talaga dimulai dari gesekan-gesekan pertentangan dan kebencian, Talaga benci terhadap Cirebon karena dianggap membangkang terhadap Pajajaran, sementara Cirebon merasa emosi ketika dikabarkan orang-orang Talaga menggangu para pendakwah-pendakwah Islam Cirebon diwilayah Talaga. 

Gesekan-gesekan kecil ini kemudian menjadi penyebab meletusnya perang Talaga vs Cirebon, demikianlah menurut cerita turun temurun yang biasa di Ceritakan dalam pertunjukan Sandiwara di Wilayah Cirebon.

Perang pertama antara Talaga dan Cirebon diceritakan meletus diperbatasan akibat keslahpahaman, yang menjadi pimpinan perang kerajaan Talaga adalah anak dari Pucukumun yaitu Arya Salingsingan. 

Peperangan ini kemudian dimenangkan Cirebon, dan setelah itu Arya Salingsingan mengakui kekuasaan Cirebon dan kemudian masuk Islam. Arya Salingsingan ini kelak menjadi Patih di Kerajaan Cirebon, bahkan turut andil dalam Perang Mataram Vs Cirebon. Silahkan baca mengenai kiprah Arya Salingsingan dalam artikel yang berjudul Perang Mataram Vs Cirebon (Sebab-Musabab Jalannya Peperangan).

Setelah peperangan pertama meletus, kemudian pasukan Cirebon terus merangsek masuk ke pusat pemerintahan Talaga, dalam keadaan ini kemudian Pucuk Umun beserta adiknya Dewi Mandapa mempersiapkan untuk melarikan diri. 

Tapi sayang, hanya Dewi mandapa yang lolos dalam pelarian itu, sementara Pucukumun dikabarkan terjatuh dalam pelarian dan karena kakinya terkilir maka beliau akhirnya tidak dapat melanjutkan pelariannya.

Sementara di lain pihak, Pasukan Cirebon sudah memasuki Istana, tentara pengawal keraton semuanya sudah menyerahkan diri mengingat sebeulmnya Rajanya telah melarikan diri, begitupun dengan Patih Kerajaan Telaga,  beliau bernama Patih Montas. 

Yang memasuki Istana dan menemui Patih Montas adalah Sunan Gunung Jati dan Arya Lumajang (nama lain Cakrabuana), beliau berdua kemudian menyuruh Patih Montas untuk dipertemukan dengan Pucuk umun, namun demikian Patih Montas menjawab dengan jujur bahwa Rajanya melarikan diri.

Akan tetapi setelah tentara Cirebon melakukan pemeriksaan  rupanya sang Raja ditemukan tidak jauh dari Istana, dalam keadaan terkilir. Dibawahlah sang Raja itu dan kemudian dihadapkan kepada Sunan Gunung Jati dan Cakrabwana, setelah ketiganya bertemua, kemudian Pucuk Umun diberikan wejangan dan pengertian oleh Sunan Gunung Jati dan Cakrabuana.
Setelah pembicaraan 6 mata itu, Pucukumun kemudian bersedia mengakui Cirebon sebagai atasan, dan bersedia masuk Islam secara sukarela, setelah peristiwa ini, kemudian urusan pemerintahan di Talaga masih dipercayakan kepada Pucukumun. Akan tetapi Talaga kini telah menjadi kerajaan Islam di Bawah kekuasaan Cirebon. Begitulah kisah mengenai masuk Islamnya Pucuk Umun Raja Talaga yang paling ternama.

Kisah masuk Islamnya Pucuk Umun ini, terdapat dalam naskah Mertasinga Pupuh XVII.10- XVII.24, akan tetapi dengan redaksi yang berbeda, meskipun secara global kandungannya sama sebagaimana yang telah penulis tuliskan di atas.

Meskipun Pucuk Umun dan anaknya Arya Sangling atau Arya Salingsingan mengakui Cirebon dan bersedia masuk Agama Islam, akan tetapi tidak demikian dengan Dewi Mandapa, beliau tetap teguh pendiriannya menentang Cirebon. 

Dewi Mandapa sekuat tenaga dan bahkan berjanji jika kelak nantinya anak keturunannya dapat membalaskan dendamnya, yaitu dapat menjajah kembali kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh keturuananya Sunan Gunung Jati (Maksudnya Cirebon-Banten). Kisah pelarian dan niat pembalasan Dewi Mandapa kepada Cirebon-Banten ini dapat anda baca dalam artikel yang berjudul Dewi Mandapa Nenek Moyang Belanda Pulau Jawa.