Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kerajaan Melayu Purba, Letak Ibu Kota, Keruntuhan Serta Sumber Sejarahnya

Melayu menurut naskah Salatusaltin pada awalnya merupakan nama sebuah sungai di Jambi. Namanya sungai Melayu. Penduduk setempat yang mendiami sungai tersebut kemudian berkembang dan membangun sebuah peradaban. Puncaknya mereka kemudian berhasil mendirikan sebuah Kerajaan yang kemudian diberi nama Kerajaan Melayu. Sementara orang dari Kerajaan ini kemudian dinamakan orang Melayu. 

Kerajaan Melayu diperkirakan berpusat di Jambi, yaitu di tepi kanan atau kiri Sungai Melayu yang kni dikenal dengan sungai Batanghari. Dugaan tersebut dikarenakan pada Sungai Batanghari ditemukan beberapa peninggalan purba berupa candi, arca, dan peninggalan lainnya.

Selain kabar dari dalam Negeri yang diperoleh dari penemuan peninggalan kerajaan melayu. Kabar mengenai Kerajaan ini datang dari seorang musafir Cina yang bernama I-Tsing, ia mengunjgi Sumatra pada 671-695 M, dalam kunjunganya itu iamencatat dalam bukunya, bahwa pada abad ke 7 Masehi secara politik Kerajaan Melayu telah dimasukkan ke dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.Ini berarti pada masa itu Kerajaan Melayu adalah salah satu kerajaan yang menjadi taklukan Kerajaan Sriwijaya.
Candi Gumpung Jambi. Peninggalan Kerajaan Melayu

Letak Kerajaan Malayu

Terdapat perbedaan pendapat mengenai letak Ibukota dari Kerajaan Melayu dalam pandangan sejarawan. Masing-masing memiliki argumenya sendiri-sendiri. Berikut ini adalah pandangan para ahli mengenai lokasi Kerajaan Melayu:

Menurut Rouffaer ibu kota Kerajaan Malayu terletak di Kota Jambi tidak jauh dari pelabuhan Malayu, adapun menurut Moens, pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi, akan tetapi istana kerajaanya terletak di Palembang. Sedangkan menurut George Coedes lebih yakin bahwa Kerajaan Melayu itu beribukota di daerah jambi karena ia berpendapat palembang adalah ibu kota Kerajaan Sriwijaya, bukan ibu kota Kerajaan Malayu.

Menurut Slamet Mulyana Istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sansekerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak sependapat  apabila istana Malayu dikatakan terletak di pinggiran atau pesisir Kota Jambi, sebab katanya Jambi itu merupakan dataran rendah. Meskipun demikian menurutnya memang pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi.

Asumisi Slamet Mulyana itu didasarkan pada Prasasti Tanyore yang didalamnya menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit. Slamet Muljana berpendapat bahwa istana Malayu terletak di Minanga Tamwaman sebuah nama yang tertulis dalam prasasti Kedukan Bukit. Menurutnya, Minanga Tamwan adalah nama kuno dari Muara Tebo (Sekarang Kabupaten Tebo di Provinsi Jambi).

Keruntuhan Kerajaan Melayu

Dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 tertlis perjalanan Dapunta Hyang membawa 20.000 orang prajurit meninggalkan Minanga Tamwan dengan perasaan suka cita penuh kemenangan. Yamin berpendapat bahwa prasasti ini merupakan piagam proklamasi berdirinya Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta Hyang.

Pendapat Yamin ini belakangan bertentangan dengan catatan I Tsing yang menyatakan bahwa pada tahun 671 Kerajaan Sriwijaya sudah ada. Dikisahkan, bahwa I Tsing mendapat bantuan dari raja Shih-li-fo-shih sehingga dapat memasuki pelabuhan Malayu dalam perjalanan menuju India.

Selanjutnya Slamet Mulyana yang telah mengidentifikasi Minanga Tamwan sebagai ibu kota Kerajaan Malayu berpendapat bahwa, prasasti Kedukan Bukit merupakan piagam penaklukan Malayu oleh Sriwijaya. Naskah prasasti tersebut menunjukkan bahwa dengan kekuatan 20.000 prajurit, Dapunta Hyang berhasil menguasai Minanga Tamwan, dan meninggalkan kota itu dalam suka cita.

Jadi menurutnya, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 683. Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671, Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Sriwijaya.

Kerajaan Malayu dengan pelabuhan Melayunya merupakan penguasa lalu lintas selat malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga Tamwan yang sebagai Ibukota Kerajaan Melayu itu, maka dengan sendirinya pelabuhan Malayu pun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 683, Kerajaan Sriwijaya tumbuh menjadi penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka menggantikan peran dan kejayaan Kerajaan Malayu.

Sumber Sejarah Kerajaan Melayu

Sumber sejarah dari Kerajaan Melayu yang untuk sementara ini dianggap valid adalah sumber dari kronik Cina, dalam buku yang berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.

Selain itu masih menurut Kronik Cina yang lain dikatakan bahwa Pendeta I Tsing dalam perjalanannya pada tahun 671 sampai 685 menuju India juga sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih berupa negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah menjadi jajahan Shih-li-fo-shih (Ejaan orang Cina untuk menyebut Sriwijaya).

Menurut catatan I Tsing, penduduk dan Negara-negara di Pulau Sumatra pada umumnya menganut agama Buda aliran Hinayana, kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu.