Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kondisi Cirebon Sebelum Era Islam

Perkembangan Cirebon sebenarnya melalui tahap demi tahap ksejarahan yang panjang sebeum akhirnya  memasuki era Islam. Sejak awal masehi, mulai berkembang perdagangan internasional. Perdagangan internasional yang terjadi diberbagai belahan dunia berdampak pula bagi daratan Nusantara.

Pengaruh Hindu-Budha lebih dahulu masuk dan memengaruhi masyarakat Nusantara.
Termasuk di Cirebon, di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh pengaruh Hindu sangat melekat pada kehidupan masyarakatnya. Pada tahun 1475-1482 M, kedudukan wilayah Cirebon berada di bawah kekuasaan Prabu Anggalarang (Tohaan) di Galuh.
Prabu Anggalarang adalah ayah dari Prabu Siliwangi yang kemudian menjadi Raja Pajajaran. Ketika Prabu Siliwangi berkuasa, daerah Cirebon mulai ramai didatangi para pedagang dari luar Nusantara. Sekitar abad ke XV M, Pelabuhan Cirebon sudah banyak didatangi pedagang muslim. Seperti yang dikatakan Tome Pires bahwa Kerajaan Sunda Pajajaran melarang pedagang muslim terlalu banyak masuk.

Pembatasan terhadap masuknya pedagang muslim ke Cirebon tidak terlalu berjalan lancar, karena pada tahun 1531 sudah banyak orang-orang muslim yang bertempat tinggal di Cirebon.

Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, wilayah Cirebon dapat dikelompokkan atas dua daerah yaitu daerah pesisir disebut dengan nama Cirebon Larang dan daerah pedalaman yang disebut Cirebon Girang.

Cirebon Larang adalah sebuah daerah bernama Dukuh Pesambangan dan Cirebon Girang adalah Lemah Wungkuk. Dari Cirebon Larang/Dukuh Pesambangan inilah perdagangan melalui jalur laut berlangsung dan menjadi jalur masuknya Islam di Cirebon.

Cirebon Larang mempunyai pelabuhan yang sudah ramai dan mempunyai mercusuar untuk memberi petunjuk tanda berlabuh kepada perahu-perahu layar yang singgah dipelabuhan yang disebut Muara Jati (sekarang disebut Alas Konda).

Pada tahun 1302 AJ (Anno Jawa)/1389 M, dipantai Pulau Jawa yang sekarang disebut Cirebon, ada tiga daerah otonom bawahan kerajaan Pajajaran yang diketuai oleh Mangkubumi yaitu Singapura, Pesambangan, dan Japura.

Setiap daerah memiliki pemimpin sendiri, Singapura/Mertasinga dikepalai oleh Mangkubumi Singapura, Pesambangan dikepalai Ki Ageng Jumajan Jati, dan Japura dikepalai Ki Ageng Japura. Dari ketiga daerah otonom ini, salah satunya adalah Dukuh Pesambangan yang dalam perkembangannya berubah menjadi Cirebon.

Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal AlangAlang yang kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Pangeran Walangsungsang diubah namanya menjadi Caruban.

Nama Caruban sendiri terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni oleh beragam masyarakat. Sebutan lain Cirebon adalah Caruban Larang. Pada perkembangannya Caruban berubah menjadi Cirebon karena kebiasaan masyarakatnya sebagai nelayan yang membuat terasi udang dan petis, masakan berbahan dasar air rebusan udang (cairebon).

Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari, Cirebon dulunya bernama Dukuh Caruban. Dukuh Caruban adalah dukuh yang dibangun oleh putra mahkota Pajajaran, Pangeran Cakrabuana/Raden Walangsungsang yang dibantu oleh adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Indang Geulis. Pangeran Cakrabuana membuka pedukuhan atas perintah gurunya, Syekh Nurul Jati/Syekh Datuk Kahfi.

Setelah padukuhan tersebut dipimpin oleh Raden Walangsungsang yang memeluk Islam barulah kemudian Cirebon berangsur-angsur menjadi Islam, bahkan dengan kesungguhanya Raden Walangsungsang kemudian mendirikan kesultanan Cirebon bersama keponakannya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dari Kesultanan Cirebon kemudian dijaman setelahnya Islamisasi gencar dijalankan di Cirebon, bahkan menembus seluruh daerah pedalaman di Jawa barat dan Banten. 

Posting Komentar untuk "Kondisi Cirebon Sebelum Era Islam"