Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Imam Ghazali, Sang Hujjatul Islam

Imam Ghazali adalah salah satu ulama atau Imam dalam bidang Tasawuf, tepatnya tasawuf ahlaqi, tasawuf jenis ini adalah tasawuf yang condong pada pengajaran nilai-nilai moralitas dan ahlak, dimana dalam paham tasawuf ini mengasampingkan masalah-masalah rasionalitas.

Bukti bahwa Imam Ghazali masuk kedalam jenis ulama tasawuf ahlaqi dapat dilihat dalam karya monumentalnya Ihya Al-Ulumuddin. Imam Ghazali adalah ulama yang dijuluki sebagai Hujjatul Islam, karena pada waktu itu argument-argumennya (hujjah) bersumbangsih besar pada kemajuan Islam.

Masa Kanak-Kanak Imam Gazali

Nama lengkap Imam Ghazali adalah Abu Hamid Al-Gjazali, ia dilahirkan di kota Tus Persia (Wilayah Iran Sekarang), ia dilahirkan pada 450 H atau 1085 M. Ayahnya berprofesi sebagai seorang pemintal benang wol, sekaligus mendirikan perusahaan pemintalan wol dan juga menjualnya.

Ketika Imam Ghazali masih kecil, beliau ditinggal wafat oleh ayahnya, Imam Gazali setelah itu dititipkan kepada teman ayahnya untuk di asuh. Sebelum meninggal rupanya Ayah Imam Ghazali telah berwasiat kepada temannya, apabila kelak ia meninggal sebelum anaknya dewasa ia memohon kepada teman baiknya agar sudi menampung Ghazali kecil serta memberikannya pendidikan yang layak. Pada waktu itu Imam Ghazali mempunyai adik yang juga sama dititipkan kepada teman bapaknya.

Masa kanak-kanak Imam Ghazali terbilang merana karena ia telah ditinggal wafat ayahnya dan ikut pada ayah angkatnya, meskipun demikian pada masa kanak-kanaknya beliau dikisahkan menjadi seorang anak yang penurut.  Selain itu sudah dari kecil ia semacam sudah mempunyai kecenderungan untuk meneliti tentang hakekat sesuatu.

Selama masa kecilnya, ia tercatat pernah belajar kepada Ahmad bin Muhamad Al-Razkiyany di Tus, kemudian menjadi murid dari Abu Nashr Al-Ismaily di Jarjan, lalu kembali lagi ke kota Tus. Pada saat kembali ke kota Tus, Imam Ghazali dihadang oleh segerombolan perampok yang menyita seluruh barang-barangnya.

Diantara barang-barang yang menurutnya paling berharga adalah kitab-kitab yang ia peroleh dari pembelajarannya di Jurjan, ia dikisahkan memohon dan merayu agar kitabnya jangan dibawa serta, ia beranggapan tak mengapa hartanya dibawa tapi jangan kitabnya. Karena kasihan para perampok itu kemudian mengembalikan kitab-kitab miliknya.

Setelah peristiwa itu, Ghazali dikisahkan trauma, ia takut kehilangan kitabnya, untuk itu mulai saat itu ia bertekad menghafalkan seluruh kitab-kitab yang ia punyai agar suatu ketika apabila kehilangan dapat menuliskannya kembali.

Masa Remaja dan Dewasa Imam Gazali

Beberapa tahun setelah peristiwa kepulanganya dari Jurjan, Ghazali kini menginjak usia remaja, ia sudah menjelma menjadi remaja yang mencintai ilmu, iapun kemudian meminta Ijin kepada ayah angkatnya untuk melakukan pengembaraan mencari ilmu ke luar kota.

Ghazali kali ini pergi menuju kota Nizabur, disana ia berguru kepada ulama bersar disana yang bernama A-Juwaini Imam Al-Haramain. Beliau merupakan sorang ulama berhaluan Asy’ari, dari beliaulah kemudian Imam Ghazali dikenalkan pemahamaan keagamaan Asy’ariyah.

Pada saat menjadi murid A-Juwaini  Ghazali menjelma menjadi santri yang pandai, ia dikisahkan menjadi seorang santri yang ahli debat, ilmunya lebih luas dari murid-murid lainnya. Sehingga pada waktu itu gurunya menjulukinya dengan julukan “Samudra yang menengelamkan” suatu julukan yang pas buat seorang ahli debat yang luas pemahamannya pada ilmu.

Setelah Al-Juwaini wafat, Imam Ghazali meninggalkan Nisabur, ia pergi ke daerah kekuasaan Nidzam Al-Mulk, yang pada saat itu menjabat sebagai mentri Kerajaan Saljuk, di tempat ini kemampuan debatnya tersalurkan. 

Imam Ghazali ditempat barunya itu menemukan titik kesuksesan yang besar. Ia larut dalam acara-acara pedebatan dikalangan ulama dan para cendikiawan yang biasa digelar.

Dalam perdebatan-perdebatan yang ia ikuti, rupanya Imam Gazali selalu memenagkan debat, ia kemudian menjelma sebagi seorang bintang dikalangan ulama, cendikiwan dan para penyimak perdebatan di tempat baru itu.

Imam Ghazali diangkat Menjadi Guru Besar

Kepopuleran Imam Ghazali dalam bidang debat itu kemudian mengantarkanya pada kesuksesan, sebab  Nidzam Al-Mulk rupanya mengangumi kehebatan Ghazali, sang penguasa kemudian menganugerahinya kepercayaan yang besar, Ghazali diangkat sebagai guru besar (Profesor) di perguruan tinggi Nidzamiyah yang terletak di Bagdad pada tahun 484 H.

Setelah Ghazali diangkat menjadi dosen sekaligus guru besar di perguruan tinggi bergengsi di Ibu Kota Kekhalifahan Abasyiah Bagdad, maka secara oromatis membawanya pada kesuksesan. 

Secara finansial, ia mapan begitupn dengan penghormatan, ia tidak kurang dihormati, sebab setelah ia menjadi Guru Besar ia sangat dihormati oleh para ulama maupun pelajar di Bagdad, singkatnya ia dijadikan rujukan oleh kaum intelek pada waktu itu.

Tapi meskipun  ia kini menjadi seorang yang bergelimangan harta dan penghormatan, rupanya ia tidak mengurangi dahaga keilmuannya, ia tetap haus akan ilmu. Bahkan watak dan tabiat aslinya semenjak kecil  yang selalu ingin mengetahui hakikat tentang sesuatu justru kian menggangu pemikirannya.

Imam Ghazali memutuskan menjadi seorang Sufi

Dalam kesuksesannya sebagai seorang guru besar yang bergelimangan harta dan pujian, Imam Ghazali justru berfikir, Apa hakikat dari kesuksesanya ?, apa sesungguhnya hakikat hidup yang selama ini ia jalani?, apa hakikat dari kedudukan dan keharuman nama ? begitulah pemikiran-pemikiran yang terus menghantui otaknya.

Meskipun pandangan orang lain menggagp Ghzali hidup bahagia, rupanya tidak demikian baginya, sebab keudukan dan hartanya rupanya tak mampu menjawab segala pertanyaa-pertanyaannya. Ia kemudian semacam dijangkiti penyakit aneh. Ia tidak mau makan, dan minum, iapun hilang kemauannya untuk bicara. Pada saat inilah Ghazali dianggap gila dan menghadapi penyakit mental, begitulah yang dikatakan dokter pada masa itu. Ghazali tidak bisa diobati kecuali dengan cara mental pula, yaitu dengan cara ketenangan pikiran.

Anjuran dokter sebenarnya dipahami oleh Ghazali, hingga kemudian setelah peristiwa itu, ia memutuskan untuk mencampakan harta dan keududkannya di Bagdad, ia pergi meninggalkan Bagdad untuk berkelana mencari ketenangan pikiran.

Imam Ghazali menuju Mekah, pada saat itu para Ilmuan di Bagdad tidak sedikit yang merasa heran dengan Ghazali, karena mengangapnya aneh, sesuatu hal yang sudah diraihnya tiba-tiba dicampakannya begitu saja, dan malah memilih menjadi seorang pengelana.

Dalam masa kegilaannya itu, sebenarnya Imam Ghazali berusahan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya yang menghantui fikirnya, dalam disiplin ilmu kalam ia tidak menemukannya, dalam ilmu filsafat tidak pula menemukannya, dan rupanya ketika ia membuka ilmu tasawuf kecerahan akan jawaban pertanyaan-pertanyaanya mulai terbuka.

Atas tuntunan disiplin ilmu inilah kemudian ia membuang segala harta dan kedudukannya di Bagdad kemudian menjadi seorang sufi, pada mulanya ia pergi ke Syiria dan untuk kemudian menuju ke Mekah ia juga berkelana di Palestina setelah itu ia berkeliling-keliling dari kota demi kota yang ia kehendaki. Pada saat menjadi pengelana itu ia menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang menghantui akal dan fikirnya.


Kembalinya Imam Ghazali dari Pengembaraan dan Kewafatanya

Selepas 10 tahun menjadi seorang Sufi, Ghozali kemudian kembali menemui keluarganya, kini ia menjadi seorang Sufi yang keilmuannya diatas rata-rata, sebab jarang sekali seorang Sufi pada waktu itu secara bersamaan menguasai bidang ilmu-ilmu lain semisal, hadist, quran, aqidah, kalam filsafat dan lain sebagainya.

Kepulanggnya Imam Ghazali rupanya terdengar oleh penguasa pada saat itu, Ghzali pun kemudian diminta untuk kembali menjadi dosen di Nizapur, Sulit menolak penguasa baginya, maka beliaupun menerima ajakan itu, beliau kemudian bersama keluarganya pindah ke Nizabur, perpindahan itu terjadi pada tahun 499 H. Akan tetapi beberapa tahun menjelang kewafatanya rupanya Imam Ghazali kemudian pensiun, ia meninggalkan Nizapur dan pulang ke tanah asalnya Tus untuk Uzlah, disana ia membangun pondokan khusus, ia diikuti oleh murid-muridanya. Di Kota Tus pengembaraan intelektual Imam Ghazali berakhir, sebab di kota kelahirannya ia wafat, beliau wafat pada hari senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. 

Posting Komentar untuk "Imam Ghazali, Sang Hujjatul Islam"