Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Imam Malik, Mulanya Bocah Nakal yang Dipesantrenkan

Imam Malik mempunyai nama Asli Malik bin Anas bin Malik Abi Amir, beliau lahir di kota Madinah pada tahun 93 H atau 715 Masehi, ayahnya bernama Anas seorang saudagar atau pedagang Sutra, beliau meninggal karena sakit pada tahun  179 H atau 795 M pada usia 85 tahun. Melihat dari tahun kehidupannya maka Imam Malik hidup pada masa dua pemerintahan yaitu, pemerintahan dinasti Muawiyah (berakhir pada 750 M) dan Abasiyah (dimulai pada 750M), atau bertepatan dengan zaman Tarumanegara di Jawa dan Sriwijaya di Sumatra.
Imam Malik adalah 1 dari 5 Imam Madhab Fiqih  dalam Islam, beliau juga dijuluki sebagai Imam Agung Madhab Suni. Sebelum menjadi seorang Imam Madhab Fiqih yang ternama rupanya Imam Malik kecil ini adalah seorang bocah yang nakal, beliau susah diurus, sering bolos sekolah, hari-harinya dihabiskan dengan bermain-main burung merpati dan permainan lainnya.

Meskipun demikian, orang tua Imam Malik yang kala itu sebagai saudagar kain sutra belum paham betul jika Imam Malik kecil sering tidak masuk sekolah, sampai pada suatu ketika  ayah Imam Malik mengecek kemampuan anaknya dalam menyerap pelajaran, dan benar saja ketika dicek kemampuannya, Imam Malik hanya membisu, ia tidak sanggup menjawab segala pertanyaan ayahnya, sang ayah kemudian dikisahkan murka, apalagi sebelumnya telah diberitahu bahwa anaknya memang susah diurus. Sang ayah kemudian mencampakan seluruh mainan anaknya, Imam Malik kecil dimarahi habis-habisan, hingga ia berlari ketakutan menyelamatkan diri kepada Ibundanya.

Betapapun bendelnya sang anak, tetap saja Ibundanya melindunginya dengan kasih sayang, pada saat-saat seperti inilah, Ibundanya menasehati Imam Malik kecil bahwa permainan dan bermain-main dengan berlebihan itu akan dapat melalaikan belajar. Setelah peristiwa itu, maka berdiskusilah kedua orang tua Imam Malik, keduanya sepakat bahwa Imam Malik harus dipesantrenkan.

Imam Malik di pesantrenkan di pesantren milik ulama rasionalis fiqih bernama Robi’ah Ar-ro’yi, dan kepada beliaulah Imam Malik untuk pertama kalinya menimba ilmu dengan serius. Di pesantern ini Imam Malik dikisahkan sebagai murid yang paling kecil, umurnya kira-kira antara 10-14 tahun.
Dalam pesantren itu, Imam Malik pada mulanya dianggap anak bawang, sebab teman belajarnya pada umumnya sudah remaja bahkan banyak juga yang sudah dewasa, akan tetapi dengan berjalannya waktu, Imam Malik kecil itu rupanya menunjukan kecerdasannya.

Kemampuannya perlahan-lahan dapat menyamai teman-teman yang lebih tua darinya bahkan menggungulinya.  Metode belajarnya pun unik, setiap hari dikisahkan Imam Malik membawa dan menggendong-gendong papan yang lebar, ia pergunakan papan itu untuk mencatat hal-hal penting yang diucapkan gurunya, kemudian ia resapi dan pahami catatan-catan itu, bilamana sudah paham Imam Malik kemudian mencatatanya dalam sebuah kertas untuk disimpannya. Dan apabila ada catatan-catan yang belum ia pahami, Imam Malik tanpa canggung dan malu kemudian menanyakan kepada gurunya secara langsung.
Setelah beberapa waktu belajar di pesantrennya Robi’ah Ar-ro’yi, Imam Malik kemudian menjelma menjadi seorang pemuda yang kecanduan ilmu, dengan sendirinya ia meminta kepada Ibu dan Bapaknya yang memang kala itu sebagai orang yang mampu secara finansial untuk membiyayai pendidikannya, karena ia ingin berguru kepada ulama-ulama di sekitaran Madinah.

Imam Malik dikisahkan sebagai pelajar yang tangguh, bahkan dikisahkan setiap hari ia menghadang gurunya ditengah jalan, apabila gurunya belum datang, ia dengan rela berpanas-panasan menunggu sang guru bahkan salama berjam-jam. Manakala gurunya datang, ia tidak langsung mengikutinya, ia biarkan gurunya masuk kerumahnya dahulu, sambil menunggu beberapa jam lagi. Setelah dianggap sudah pantas barulah Imam Malik mengetuk pintu sang guru untuk mengaji, uniknya dalam tiap kali belajar Imam Malik dikisahkan selalu membawa kurma untuk dihadiahkan kepada gurunya.

Berathun-tahun Imam Malik belajar dari guru satu ke guru lain, dari pesantren satu ke pesantren lainnya, bahkan hingga beliau menikah, beliau dikisahkan tetap konsisten dalam belajar. Tidak ada kisah sedih atau apapun yang berhubungan dengan keuangan dalam menuntut ilmu, sebab memang kedua orang tuanya menjaminnya. Kisah kesulitan keuangan pada diri Imam Malik baru dimulai ketika Ayahanya wafat meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Setelah ayahnya wafat, Imam Malik mendapatkan warisan sebanyak 400 Dinar, uang ini pada mulanya digunakan beliau untuk modal usaha dan bisnis, akan tetapai karena kecintaannya terhadap belajar dan menuntut ilmu, lama kelamaan bisnisnya menjadi bangkrut, dan beberapa tahun kemudian Imam Malik yang semula sebagai seorang yang berada menjadi seorang yang miskin. Bersama istri dan anaknya Imam Malik dikisahkan hidup kekurangan. Hingga kegiatan belajarnya sejenak terhenti karena ketiadaan biyaya. Meskipun demikian pada waktu itu Imam Malik di Madinah sudah dianggap sebagai seorang ulama yang diperhitungkan ke ilmuannya.

Kemiskianan dan kekurangan yang menerjang keluarga Imam Malik pada kemudiannya memaksanya menjadi ulama yang tidak produktif, sebab ia semacam kebingungan, disatu sisi ia mencintai ilmu dan mengajar yang kala itu penghasilannya tidak seberapa besar disatu sisi ia berkewajiban menafkahi keluarganya.
Atas pertimbangan problem hidupnya itu, Imam Malik kemuidan mengeluarkan fatwa yang terbilang kotrofersial dizaman itu, Imam Malik mengeluarkan fatwa tentang ulama, dimana dalam fatwanya beliau menyerukan pemerintah agar “Membiyayai kehidupan ulama dan keluarganya agar ulama atau para Ilmuan yang ada di Madinah lebih focus dalam mengurusi agama dan Ilmu”. Fatwa ini kemudian beliau kirimkan kepada Khalifah.

Pada mulanya fatwa yang dikeluarkan Imam Malik ini mendapatkan pertentangan dari sekelompok ulama lain, bahkan ada juga yang beranggapan bahwa Imam Malik sudah tidak ikhlas dalam menghidup-hidupi agama, tap semua kecurigaan itu rupanya ditanggapi tenang oleh Imam Malik.

Dengan berjalannya waktu, Fatwa dan usulan Imam Malik kepada Khalifah itu rupanya ditanggapi dengan baik oleh Khalifah, pemerintah kemudian memutuskan untuk menyutujui usulan Imam Malik. Barulah setelah itu kehidupan ekonomi Imam Malik berangsur-angsur pulih kembali, dan setelah itu Imam Malik terus melejit keilmuannya hingga kemudian berhasil menjadi Imam Madhab Fiqih yang keilmuannya disegani di dunia Islam, dan kelak salah satu muridnya yaitu Imam Syafii akan menjadi penerusnya dalam bidang keilmuan sebab beliau juga nantinya dikenal sebagai Imam Agung Suni selanjutnya.
Baca Juga : Biografi dan Riwayat Hidup Imam Syafii
Begitulah kisah ringkas mengenai Imam Malik, seorang Imam Madhab dalam Fiqih yang pada mulanya sebagai bocah nakal yang dipesantrenkan oleh kedua orang tuanya, sebab keuda orang tuanya menginginkan agar buah hatinya berguna bagi agama, nusa dan bangsanya.

Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon

Daftar Pustaka
Asrifin Nahrowi, 2005. Lima Imam Agung. Surabaya: Jawara

Posting Komentar untuk "Imam Malik, Mulanya Bocah Nakal yang Dipesantrenkan"