Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesultanan Palembang Darusalam 1659-1825

Kesultanan Palembang didirikan oleh Ario Kusumo pada tahun 1659 setelah memproklamirkan kemerdekaan dari Kesultanan Mataram yang berpusat di Jawa. Ario Kusumo sendiri dikisahkan sebagai keturunan dari Kiyai Geding Suro, seorang Demak yang hijrah ke Palembang setelah Demak Runtuh. Ketika menjadi Sultan Palembang pertama Ario Kusumo bergelar Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayyidul Imam.

Dalam buku Sejarah Palembang Karya R.H.M Akib, disebutkan bahwa:
"Setelah Pajang Menyerang Demak, maka telah berpindah beberapa anak raja-raja dari tanah Jawa ke Negeri Palembang, Para bangswan Demak yang hijrah ke demak itu sebanyak 24 orang yang dipimpin oleh Kiyai Geding Suro, Kiyai Geding Suro kemudian menjadi Penguasa/Raja di Palembang, setelah Kiyai Geding Suro wafat kemudian digantikan oleh Kiyai Geding Suro Mudo . Kiyai Geding Suro dalam buku ini dikisahkan sebagai keturunan Sultan Trenggono, yaitu Sultan Demak ke III"[1].

Secara silsilahnya diketahui bahwa, Pangeran Trenggono adalah putra Raden Fattah, bin Prabu Kertabumi Brawijaya V dari Majapahit[2] dengan istrinya seorang putri dari Cina, lahir dan dibesarkan di Palembang di istana saudaranya lain ibu yaitu Ario Dillah.[3]

Keturunan Kiyai Geding Suro ini kemudian berturut-turut memerintah Palembang, akan tetapi waktu itu Palembang belum menjadi sebuah Kesultanan, tetapi masuk wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram dan baru pada masa Pangeran Ario Kesumo, Palembang memutuskan hubungan dengan Kerajaan Mataram maka Pangeran Ario Kesumo kemudian mendirikan Kesultanan Palembang Darussalam.[4] Pangeran Ario Kesumo Imam memerintah dari tahun 1659 hingga 1706.[5]

Pada tahun 1703 Pangeran Ario Kesumo yang kala itu masih hidup menobatkan  putranya, yaitu  anak dari Ratu Agung sebagai Raja Palembang Darussalam yang kedua dengan gelar Sultan Muhammad Mansur, beliau bertahta dari 1706 sampai dengan 1714. Kemudian Sultan Muhammad Mansur digantikan oleh adiknya bernama Raden Uju yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Agung Komaruddin Sri Truno  yang bertahta pada 1714 sampai 1724. Kemudian beliau digantikan oleh keponakannya Pangeran Ratu Jayo Wikramo dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah dari tahun 1724-1758.

Pangeran Adikesumo merupakan putra kedua dari Sultan Mahmud Badaruddin I yang dinobatkan sebagai Sultan Palembang Darussalam kelima dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin I yang memerintah dari tahun 1758-1776. Kemudian Sultan Ahmad Najamuddin I digantikan oleh putera mahkota yang bergelar Sultan Muhammad Bahaudin dinobatkan sebagi Sultan Palembang Darussalam yang keenam memerintah dari tahun 1776-1803. Sultan Muhammad Bahaudin digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Raden Hasan Pangeran Ratu dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai Sultan Palembang Darussalam yang ketujuh dan memerintah dari tahun 1803-1821.[6] Baru sewindu memegang tampuk pemerintahan, datanglah Inggris di bawah pimpinan Mayor Robert Rollo Gillespie menyerbu Palembang (1812).[7], Serangan inilah kemudian yang melemahkan Kesultanan Palembang. Setelah peristiwa itu berangsur-angsur Palembang padam pamornya, karena bertubi-tubi datang gangguan dari bangsa Eropa yang ingin menguasai Palembang  hingga kemudian Kesultanan Palembang dibubarkan Belanda pada 1825.

Kondisi Kesultanan Palembang Darusalam

Secara geografisnya Kesultanan Palembang terletak di tepi sungai Musi. Ibukota Kesultanan adalah Kota Palembang yang terletak di kaki bukit Siguntang. Sungai Musi membelah kota Palembang menjadi dua bagian yaitu bagian Ilir dan bagian Ulu. Sungai Musi bermuara di Sunsang. Sunsang juga merupakan muara dari anak sungai Musi yang berjumlah 9 buah. Kesultanan Palembang sebelah utara berbatasan dengan Jambi. Sebelah barat dengan Bengkulu, sebelah selatan dengan Lampung dan sebelah Timur dengan Laut Jawa. Sepanjang pantai Timur daerah ini terdiri dari rawa dan hutan lebat. Bagian barat terdiri dari bukit barisan yang membujur di Pulau Sumatera. Daerah kesultanan Palembang umumnya beriklim tropis (panas).[8]

Curah hujan di daerah ini cukup tinggi, daerahnya subur. Tanaman untuk ekspor juga dihasilkan daerah kesultanan Palembang. Tanaman itu adalah : lada, kopi, cengkeh, dan tumbuhan. Di daerah pedalaman juga dihasilkan buah-buahan dan sayur-sayuran. Di daerah pedalaman bertani disebut dengan berladang. Sistem perladangan dinamai “Ume”. Sebagian besar daerah pedalaman hidup bertani. Penduduk kota Palembang hidup dari pelayaran dan perdagangan.

Penduduk kesultanan Palembang terdiri dari dua golongan yaitu golongan bangsawan (priyai) dan rakyat biasa. Golongan bangsawan terdiri dari : Pangeran, Raden dan Mas Agus. Golongan rakyat terdiri dari orang Miji dan orang Senan. Di samping itu terdapat golongan Timur Asing yang terdiri dari Cina, Arab dan India. Status Bangsawan tidak hanya berdasarkan kelahiran atau keturunan. Mereka yang berjasa kepada Sultan Mahmud Badaruddin II juga diberi gelar Bangsawan. Bangsawan yang diangkat ini juga diberi hadiah daerah kekuasaan tertentu. Mereka mengusahakan hasil bumi atau kebun yang sebagian diserahkan kepada Sultan.[9]

Orang Arab, India dan Cina umumnya tinggal di kota Palembang. Mereka hidup dari berdagang. Tempat tinggal mereka tidak jauh dari pasar. Orang-orang ini membentuk perkampungan tersendiri di dalam kota Palembang. Sultan Mahmud Badaruddin II memperoleh sumber keuangan dari golongan pedagang dan Sultan juga menerima setoran pajak dari pelabuhan.

Rakyat biasa umumnya terdiri dari orang Senan dan orang Miji yang bertempat tinggal di kota Palembang hidup sebagai buruh dan ada juga yang bertani. Mereka dikenakan pajak, tetapi harus mengabdi kepada Sultan Mahmud Badaruddin II. Di antara orang Miji dan orang Senan ini ada yang menjadi prajurit Kesultanan. Mereka juga bertugas membuat benteng pertahanan. Selain itu mereka melayani keperluan Sultan seperti memperbaiki rumah dan perahu Kerajaan. Orang Miji dan orang Senan merupakan prajurit yang tangguh dalam peperangan. Perkembangan agama Islam di Kesultanan Palembang mengalami kemajuan pesat. Dalam pemerintahan Sultan Abdurrahman atau Sunan Cindeh Balang (1659-1706) agama Islam ditetapkan sebagai agama resmi Kerajaan.[10]

Dalam rangka memajukan perniagaan, Sultan mengangkat seorang Syahbandar di Kota Palembang. Syahbandar adalah seorang pemimpin dan mengatur kota (Bandar) Palembang. Dia bertugas memajukan pelayaran dan perdagangan. Syahbandar juga memungut bea masuk dan keluar pelabuhan. Di samping itu syahbandar juga bertanggung jawab menjaga keamanan pedagang asing. Syahbandar memiliki kekuasaan yang makin besar, ia juga mengatur saudagar asing yang ingin bertemu Sultan, agar konsultasi (hubungan) berjalan lancar. Sultan juga mengangkat petugas khusus yang mengurus tanah milik Sultan. Petugas ini disebut Jenang. Jenang ini juga mengurus masalah Keraton, Masjid dan Makam Raja-raja.

Daftar Pustaka
[1] R.H.M Akib, Sejarah Palembang, (Palembang: Pidato Dies. APDN, 1969), hlm. 11
[2] ANRI, Arsip Palembang no. 72.9 Bijdrage de History van Palembang, hlm. 334, lihat pada lampiran 2.
[3] Hamka, Sejarah Ummat Islam, IV, (Jakarta: Nv. Nusantara-Bukittinggi, 1961), hlm. 99
[4] P. de Roo de la Faille, Dari Zaman Kesultanan Palembang, Volume 8 dari Seri terjemahan karangan-karangan Belanda, diterjemahkan oleh Soegarda Poerbakawatja dan Taufik Abdullah, (Jakarta: Bhratara, 1971), hlm. 24.
[5] R.H.M. Akib, op.cit., hlm. 3.
[6] Mardanas Safwan, Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1852) (Jakarta: Bharata, 2004), hlm. 24-26.
[7] Atja, Syair Palembang, (Djakarta: Museum Pusat, Seri Sarjana Karya No.1, 1967), hlm. 11.
[8] Mardanas Safwan, op.cit., hlm. 30.
[9] Ibid, hlm. 31.
[10] Ibid, hlm. 32.

Posting Komentar untuk "Kesultanan Palembang Darusalam 1659-1825"