Biografi Sultan Mahmud Badaruddin II
Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan Sultan yang paling ternama di Kesultanan Palembang Darussalam. Juga merupakan Pahlawan Nasional Indonesia, gambar dan fotonya pun terpangpan dalam mata uang RI pecahan Rp. 10.000.
Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan anak dari Sultan Muhammad Bahaudin bin Susuhunan Ahmad Najamuddin (I) dan Ratu Agung Putri Datuk Murni binti Abdullah Alhadi, yang dilahirkan pada malam ahad 1 Rajab 1181 H/1767 M di Palembang. Sebagaimana biasanya seorang anak yang berasal dari keluarga bangsawan, Sultan Mahmud Badaruddin II memiliki nama kecil Raden Hasan. Ia dinobatkan menjadi Sultan di Kesultanan Palembang Darussalam pada hari selasa 22 Zulhijjah 1218 H/1803 pada usia 37 tahun.[1]
Kakek Sultan Mahmud Badaruddin II adalah Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo, sedangkan ayahnya Muhammad Bahauddin adalah pemimpin yang sangat taat terhadap ajaran agama Islam. Bahkan mereka berperan menyebarkan serta memajukan ajaran agama Islam ke seluruh pelosok wilayah Kesultanan Palembang Darussalam.[2].
Selama masa hidupnya, Sultan Mahmud Badaruddin II memiliki 9 orang istri yakni Embok Pati Rasmi, Ratu Sepuh Asma, Ratu Anom Kosimah, Nyayu Soleha, Nyimas Jairah, Nyayu Robi’ah, Masayu Ratu Ulu, Masayu Ratu Ilir serta Ratu Alit.
Dari hasil pernikahannya dengan 9 orang istri, Sultan Mahmud Badaruddin II dikaruniai 61 anak. Dari sekian banyak anaknya, Sultan Mahmud Badaruddin II menjadikan anak pertama dari istri keduanya sebagai Putra Mahkota Kesultanan Palembang Darussalam, hal ini dikarenakan dari istri pertama Sultan Mahmud Badaruddin II mendapatkan seorang putri dan adat kesultanan tidak bisa mengangkat seorang putri menjadi putra mahkota.
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II, Kesultanan Palembang Darussalam dicanangkan sebagai pusat studi Islam dan sastra, terutama setelah kemunduran kerajaan Aceh pada tahun 1750-1800. Pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II, juga banyak muncul ulama ternama yang mengembangkan pemikiran Islam.[3]
Sikap kepribadian serta pergaulan dengan masyarakat di sekitar kraton telah memupuk dirinya untuk menjadi seorang pemuda yang tumbuh dengan pemikiran yang luas. Aspek pendidikan dan sepak terjang kakek dan ayahnya dalam memimpin kesultanan memberikan kesan yang sangat mendalam dan mendorong semangat dan jiwa besar Sultan Mahmud Badaruddin II muda. Ayahnya yang cinta akan kemerdekaan dan kegigihannya dalam mempertahankan kedaulatan Kesultanan Palembang Darussalam, selalu menjadi pandangan hidup Sultan Mahmud Badaruddin II dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Sejak muda Sultan Mahmud Badaruddin II sudah dikenal kalangan masyarakat sekitar kraton sebagai seorang bangsawan yang mempunyai kewibawaan besar dan juga rasa kemanusiaan luhur, serta terkenal sebagai anak raja yang cerdas, gagah berani dan bijaksana. Sifat-sifat pribadi ini sangat menonjol yang menyebabkan ia berbeda dengan saudara-saudaranya. Sebagai calon pemimpin, Sultan Mahmud Badaruddin II sudah mempunyai reputasi dan memperlihatkan kemampuan yang sangat mengagumkan. Hal ini bisa diketahui karena sebelum dinobatkan sebagai sultan, ia sudah menunjukkan kemampuannya dalam membantu ayahnya membangun benteng dan ikut menyusun strategi perang dengan menempatkan pasukan di tempat-tempat yang strategis.[4]
Salah satu faktor yang mempengaruhi pribadi Sultan Mahmud Badaruddin II adalah tradisi pemerintahan Sultan-sultan Palembang Darussalam terdahulu, khususnya sikap, tindakan dan cara kerja pendahulunya dalam mengelola negara. Tingkat kemajuan yang dicapai Kesultanan Palembang Darussalam sebelum pemerintahannya mendorong Sultan Mahmud Badaruddin II lebih berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran negerinya. Bagi Sultan Mahmud Badaruddin II, sikap waspada terhadap musuh adalah suatu yang menjadi pedomannya.
Selain itu, sikap tidak mau tunduk terhadap musuh yakni Belanda dan Inggris menunjukan bahwa Sultan Mahmud Badaruddin II dan perjuangannya disemangati oleh perasaan cinta kemerdekaan yang ingin lepas dari pengaruh kekuasaan bangsa asing. Hal ini dapat dilihat dari usaha-usahanya melancarkan serangan terhadap Inggris dan Belanda yang ingin menguasai Palembang.
Sultan Mahmud Badaruddin II juga dikenal sebagai ahli dalam diplomasi, strategi perang, serta terkenal sebagai sultan yang berwawasan luas dan suka belajar, sehingga dia mempunyai perpustakaan pribadi. Sultan Mahmud Badaruddin II mempunyai perhatian yang luas terhadap berbagai bidang ilmu pengetahuan khususnya bidang sastra, sebagai contoh dia mengubah pantun dan menulis syair Sinyaor Kista dan Syair Singor Nuri.[5]
Selain itu, Sultan Mahmud Badaruddin II juga mengarang Pantun Sultan Badaruddin dan Syair Perang Menteng, dimana pantun Sultan Badaruddin merupakan pantun yang ia sampaikan ketika akan menikahi puteri dari Kemas Muhammad, salah seorang kerabat kraton. Sedangkan syair perang menteng adalah sebuah syair yang ia sampaikan kepada para prajuritnya untuk memberi semangat dalam berperang melawan Belanda pada tahun 1819. [6]
Sultan Mahmud Badaruddin II adalah pemimpin yang memerintah secara bijaksana, memiliki kepribadian yang kuat serta berbakat dalam mengelola wilayah kesultanan. Sultan Mahmud Badaruddin II sangat menonjol perannya dalam konfrontasi melawan kaum imperialis Inggris dan Belanda, sehingga hampir seluruh masa pemerintahnnya disibukkan dengan konfrontasi dan peperangan. Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya merancang dan membangun benteng pertahanan dan mengatur strategi dalam menghadapi serangan dari Inggris dan Belanda. [7]
Kepribadian seorang Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai seorang sultan juga sangat dikagumi oleh Mayor Robinson, seorang residen Inggris di Bangka pengganti residen Mears yang menjabat pada tahun 1813.11 Rasa kagum Robinson lebih dilatarbelakangi dari kewibawaan sikap dan sifat Sultan Mahmud Badaruddin II terhadap rakyatnya. Serta lebih berwibawa dibandingkan adiknya yaitu Sultan Najamuddin II.
Ketika Robinson menjabat sebagai seorang residen di Bangka, berulang kali Robinson mengunjungi ibukota Kesultanan Palembang Darussalam guna memastikan keadaan di wilayah ibukota kondusif. Tindakan ini dilakukan Robinson atas perintah Raffles serta untuk menjamin keberadaan Sultan Najamuddin II yang sedang berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam dari serangan saudaranya, yakni Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sultan Mahmud Badaruddin II wafat pada 26 September 1852 di Ternate dalam pembuangan. Beliau dibuang Belanda setelah kekalahanya melawan Belanda dalam pertempuran di Palembang.
Baca Juga : Kesultanan Palembang Darussalam 1659-1852
Daftar Pustaka
[1] H. A. Dahlan, dkk, Risalah Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang: TP, 1981, hlm. 44.
[2] M Chatib Quzwain, Syaik Abdussomad Al-Palimbani: Studi Mengenal Islam di Palembang Abad 18, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 176.
[3] Djohan Hanafiah, Palembang Zaman Bari: Citra Palembang Tempo Doeloe, Palembang: Humas Pemkot Palembang, 1988, hlm. 178.
[4] Kiagus Imran Mahmud, Sejarah Palembang, Palembang: Anggrek, 2010, hlm. 56
[5] Woekder, M.O, Het Sultanat Palembang 1811-1825, Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1975, hlm. 3.
[6] Kiagus Imran Mahmud, Op. cit, hlm. 55.
[7] Djohan Hanafiah, Kuto Besak: Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan, Jakarta: Haji Masagung, 1989, hlm. 3
Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan anak dari Sultan Muhammad Bahaudin bin Susuhunan Ahmad Najamuddin (I) dan Ratu Agung Putri Datuk Murni binti Abdullah Alhadi, yang dilahirkan pada malam ahad 1 Rajab 1181 H/1767 M di Palembang. Sebagaimana biasanya seorang anak yang berasal dari keluarga bangsawan, Sultan Mahmud Badaruddin II memiliki nama kecil Raden Hasan. Ia dinobatkan menjadi Sultan di Kesultanan Palembang Darussalam pada hari selasa 22 Zulhijjah 1218 H/1803 pada usia 37 tahun.[1]
Kakek Sultan Mahmud Badaruddin II adalah Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo, sedangkan ayahnya Muhammad Bahauddin adalah pemimpin yang sangat taat terhadap ajaran agama Islam. Bahkan mereka berperan menyebarkan serta memajukan ajaran agama Islam ke seluruh pelosok wilayah Kesultanan Palembang Darussalam.[2].
Selama masa hidupnya, Sultan Mahmud Badaruddin II memiliki 9 orang istri yakni Embok Pati Rasmi, Ratu Sepuh Asma, Ratu Anom Kosimah, Nyayu Soleha, Nyimas Jairah, Nyayu Robi’ah, Masayu Ratu Ulu, Masayu Ratu Ilir serta Ratu Alit.
Dari hasil pernikahannya dengan 9 orang istri, Sultan Mahmud Badaruddin II dikaruniai 61 anak. Dari sekian banyak anaknya, Sultan Mahmud Badaruddin II menjadikan anak pertama dari istri keduanya sebagai Putra Mahkota Kesultanan Palembang Darussalam, hal ini dikarenakan dari istri pertama Sultan Mahmud Badaruddin II mendapatkan seorang putri dan adat kesultanan tidak bisa mengangkat seorang putri menjadi putra mahkota.
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II, Kesultanan Palembang Darussalam dicanangkan sebagai pusat studi Islam dan sastra, terutama setelah kemunduran kerajaan Aceh pada tahun 1750-1800. Pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II, juga banyak muncul ulama ternama yang mengembangkan pemikiran Islam.[3]
Sikap kepribadian serta pergaulan dengan masyarakat di sekitar kraton telah memupuk dirinya untuk menjadi seorang pemuda yang tumbuh dengan pemikiran yang luas. Aspek pendidikan dan sepak terjang kakek dan ayahnya dalam memimpin kesultanan memberikan kesan yang sangat mendalam dan mendorong semangat dan jiwa besar Sultan Mahmud Badaruddin II muda. Ayahnya yang cinta akan kemerdekaan dan kegigihannya dalam mempertahankan kedaulatan Kesultanan Palembang Darussalam, selalu menjadi pandangan hidup Sultan Mahmud Badaruddin II dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Sejak muda Sultan Mahmud Badaruddin II sudah dikenal kalangan masyarakat sekitar kraton sebagai seorang bangsawan yang mempunyai kewibawaan besar dan juga rasa kemanusiaan luhur, serta terkenal sebagai anak raja yang cerdas, gagah berani dan bijaksana. Sifat-sifat pribadi ini sangat menonjol yang menyebabkan ia berbeda dengan saudara-saudaranya. Sebagai calon pemimpin, Sultan Mahmud Badaruddin II sudah mempunyai reputasi dan memperlihatkan kemampuan yang sangat mengagumkan. Hal ini bisa diketahui karena sebelum dinobatkan sebagai sultan, ia sudah menunjukkan kemampuannya dalam membantu ayahnya membangun benteng dan ikut menyusun strategi perang dengan menempatkan pasukan di tempat-tempat yang strategis.[4]
Salah satu faktor yang mempengaruhi pribadi Sultan Mahmud Badaruddin II adalah tradisi pemerintahan Sultan-sultan Palembang Darussalam terdahulu, khususnya sikap, tindakan dan cara kerja pendahulunya dalam mengelola negara. Tingkat kemajuan yang dicapai Kesultanan Palembang Darussalam sebelum pemerintahannya mendorong Sultan Mahmud Badaruddin II lebih berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran negerinya. Bagi Sultan Mahmud Badaruddin II, sikap waspada terhadap musuh adalah suatu yang menjadi pedomannya.
Selain itu, sikap tidak mau tunduk terhadap musuh yakni Belanda dan Inggris menunjukan bahwa Sultan Mahmud Badaruddin II dan perjuangannya disemangati oleh perasaan cinta kemerdekaan yang ingin lepas dari pengaruh kekuasaan bangsa asing. Hal ini dapat dilihat dari usaha-usahanya melancarkan serangan terhadap Inggris dan Belanda yang ingin menguasai Palembang.
Sultan Mahmud Badaruddin II juga dikenal sebagai ahli dalam diplomasi, strategi perang, serta terkenal sebagai sultan yang berwawasan luas dan suka belajar, sehingga dia mempunyai perpustakaan pribadi. Sultan Mahmud Badaruddin II mempunyai perhatian yang luas terhadap berbagai bidang ilmu pengetahuan khususnya bidang sastra, sebagai contoh dia mengubah pantun dan menulis syair Sinyaor Kista dan Syair Singor Nuri.[5]
Selain itu, Sultan Mahmud Badaruddin II juga mengarang Pantun Sultan Badaruddin dan Syair Perang Menteng, dimana pantun Sultan Badaruddin merupakan pantun yang ia sampaikan ketika akan menikahi puteri dari Kemas Muhammad, salah seorang kerabat kraton. Sedangkan syair perang menteng adalah sebuah syair yang ia sampaikan kepada para prajuritnya untuk memberi semangat dalam berperang melawan Belanda pada tahun 1819. [6]
Sultan Mahmud Badaruddin II adalah pemimpin yang memerintah secara bijaksana, memiliki kepribadian yang kuat serta berbakat dalam mengelola wilayah kesultanan. Sultan Mahmud Badaruddin II sangat menonjol perannya dalam konfrontasi melawan kaum imperialis Inggris dan Belanda, sehingga hampir seluruh masa pemerintahnnya disibukkan dengan konfrontasi dan peperangan. Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya merancang dan membangun benteng pertahanan dan mengatur strategi dalam menghadapi serangan dari Inggris dan Belanda. [7]
Kepribadian seorang Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai seorang sultan juga sangat dikagumi oleh Mayor Robinson, seorang residen Inggris di Bangka pengganti residen Mears yang menjabat pada tahun 1813.11 Rasa kagum Robinson lebih dilatarbelakangi dari kewibawaan sikap dan sifat Sultan Mahmud Badaruddin II terhadap rakyatnya. Serta lebih berwibawa dibandingkan adiknya yaitu Sultan Najamuddin II.
Ketika Robinson menjabat sebagai seorang residen di Bangka, berulang kali Robinson mengunjungi ibukota Kesultanan Palembang Darussalam guna memastikan keadaan di wilayah ibukota kondusif. Tindakan ini dilakukan Robinson atas perintah Raffles serta untuk menjamin keberadaan Sultan Najamuddin II yang sedang berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam dari serangan saudaranya, yakni Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sultan Mahmud Badaruddin II wafat pada 26 September 1852 di Ternate dalam pembuangan. Beliau dibuang Belanda setelah kekalahanya melawan Belanda dalam pertempuran di Palembang.
Baca Juga : Kesultanan Palembang Darussalam 1659-1852
Daftar Pustaka
[1] H. A. Dahlan, dkk, Risalah Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang: TP, 1981, hlm. 44.
[2] M Chatib Quzwain, Syaik Abdussomad Al-Palimbani: Studi Mengenal Islam di Palembang Abad 18, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 176.
[3] Djohan Hanafiah, Palembang Zaman Bari: Citra Palembang Tempo Doeloe, Palembang: Humas Pemkot Palembang, 1988, hlm. 178.
[4] Kiagus Imran Mahmud, Sejarah Palembang, Palembang: Anggrek, 2010, hlm. 56
[5] Woekder, M.O, Het Sultanat Palembang 1811-1825, Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1975, hlm. 3.
[6] Kiagus Imran Mahmud, Op. cit, hlm. 55.
[7] Djohan Hanafiah, Kuto Besak: Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan, Jakarta: Haji Masagung, 1989, hlm. 3
Bangga untuk Sultan, dari kami warga Palembang
BalasHapus