Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cirebon Dibawah Pemerintahan Sunan Gunung Jati

Cirebon dibawah pemerintahan Sunan Gunung Jati adalah masa keemasan Cirebon, sebab pada masa ini selain dihormati Cirebon juga benar-benar menjadi negara berdaulat bahkan menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Selama masa pemerintahan Sunan Gunung Jati yaitu pada abad ke lima belas hingga enam belas Cirebon menjelma menjadi negara yang kaya budaya dan syarat akan keislaman,

Langkah awal paling bersejarah yang diambil oleh Sunan Gunung Jati pada awal mula pemerintahannya adalah menghentikan pengiriman upeti garam dan terasi yang tiap tahun harus dikirimkan ke ibukota Pakuan Pajajaran, sebagai persembahan dan tanda takluknya kerajaan kecil kepada kerajaan besar. Dengan demikian sejak saat itu Cirebon di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati menjadi negara merdeka dan tidak lagi berada di bawah pengaruh Kerajaan Pajajaran yang Hindu. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1483 Masehi.

Guna mengantisipasi serangan dari Pajajaran akibat dari penghentian pengiriman upeti tersebut dan memelihara keamanan negara maka dibentuklah pasukan keamanan yang disebut dengan pasukan Jagabaya, dengan komandan tertingginya dipegang oleh Tumenggung yang jumlah dan kualitasnya memadai baik untuk ditempatkan di pusat kerajaan, di pelabuhan maupun di wilayah-wilayah yang dikuasai Cirebon. Jagabaya secara bahasa berasal dari dua kata yaitu "jaga" dan "bahaya" maksudnya pengamanan dari bahaya.

Dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di wilayah bawahan telah dilakukan penataan yang diselaraskan dengan kebutuhan sesuai situasi, kondisi sosial dan budaya saat itu. Sunan Gunung Jati telah menata gelar jabatan yang ada, antara lain untuk kepala persekutuan masyarakat terkecil yang penduduknya sebanyak 20 somah (kepala keluarga) dipimpin oleh Ki Buyut, beberapa unit kebuyutan disebut dukuh/desa yang dipimpin oleh kuwu, kumpulan beberapa dukuh/desa dipimpin oleh Ki Gede atau Ki Ageng sementara beberapa Ki Gede dipimpin oleh Bupati atau Adipati atau Tumenggung.

Para Adipati, Bupati, Tumenggung wajib menghadiri rapat bulanan dalam istilah lama disebut Seba Keliwonan di ibukota negara yang digelar setiap hari Jum'at Kliwon. Rapat bertempat di Masjid Agung Sang Ciptarasa dipimpin langsung oleh Sunan Gunung Jati sebagai kepala negara.

Tujuan mendasar dari seba adalah agar pemerintah pusat mengetahui secara langsung kesetiaan para pejabat-pejabat daerah terhadap pemerintah pusat. Dengan kata lain, seba adalah alat kontrol pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Sistem pengendalian pemerintahan di pusat dan di daerah dilakukan dengan mengangkat para kerabat dan ulama menjadi pejabat penting untuk mengurus bidang-bidang tertentu, termasuk sebagai kepala daerah. Hal ini merupakan salah satu bagian dari sistem pemerintahan kerajaan.

Pada awal pemerintahannya Sunan Gunung Jati membenahi kota Cirebon yang berkedudukan sebagai pusat kerajaan dengan membangun berbagai sarana, baik sarana untuk kepentingan pusat pemerintahan, maupun untuk kepentingan syiar Islam.
Sunan Gunung Jati memahami bahwa dalam pemerintahan tradisional, keraton atau pendopo, alun-alun, dan masjid agung merupakan komponen (infrastuktur) utama di pusat pemerintahan. Sekitar tahun 1483, Sunan Gunung Jati memperluas komplek Keraton Pakungwati sehingga memiliki luas lebih kurang 20 hektar. Pada areal seluas itu didirikan bangunan-bangunan pelengkap, keraton dikelilingi oleh pagar tembok dua setengah meter dan tebal delapan puluh sentimeter.

Sejalan dengan kegiatan itu, dibangun alun-alun di arah depan komplek keraton. Alun-alun di sebut “Sangka Buana”, di tengahnya ditanam pohon beringin jenggot. Untuk kepentingan peribadatan umat dan syiar Islam, dibangun masjid agung yang setelah berdiri diberi nama “Sang Cipta Rasa”. masjid agung itu dibangun pada tahun 1489. Arsitek utamanya adalah Raden Sepat, mantan arsitek kerajaan Majapahit.

Pembangunan masjid tentu berkaitan erat dengan keberadaan pemeluk agama Islam di daerah setempat yang jumlahnya terus meningkat. Pada sisi lain, pembangunan sarana ibadah itu berkaitan dengan Cirebon sebagai kota pelabuhan. Cirebon merupakan negara maritim yang pada zamannya banyak disinggahi oleh para pedagang-pedagang muslim dari berbagai negara, mereka itu di antaranya pedagang dari Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik, Pasai, Jawa Timur, dan Palembang. Dengan kata lain, keberadaan Masjid Agug Sang Cipta Rasa merupakan salah satu potensi Islam di Cirebon, yang penting artinya bagi pengembangan dan penegakkan syiar Islam.

Beberapa waktu kemudian, dibangun jalan besar dari alun-alun keraton ke pelabuhan. Tujuan utama pembangunan jalan itu adalah sebagai fasilitas utama bagi utusan-utusan negara lain atau saudagar asing yang berkepentingan untuk menemui Raja Cirebon. Jalan itu dibangun untuk memudahkan hubungan keraton dengan pelabuhan. Dibangun pula istal kuda kerajaan dan beberapa pos penjagaan.

Keberadaan sarana yang penting bagi lalu lintas orang, menyebabkan mobilitas orang ke Cirebon menjadi meningkat. Dalam kondisi itu, agama Islam pun turut menyebar. Sejalan dengan kegiatan penyebaran agama Islam di luar daerah Cirebon, wilayah kerajaan Cirebon makin meluas. Dalam perkembangannya Sunan Gunung Jati lebih banyak mengkhususkan diri dalam masalah syiar Islam ke daerah pedalaman dari pada pemerintahan. Ia menyerahkan mandat kekuasaannya kepada Pangeran Pesarean.

Agama Islam dari Cirebon semakin berkembang ke beberapa daerah sekitarnya, bahkan sampai ke pedalaman Jawa Barat. Banyak daerah yang menyerah atau mengabdi kepada Sunan Gunung Jati. Seperti penguasa Luragung. Ki Gedeng Kemuning beserta penganutnya bersedia masuk Agama Islam pada tahun (1481). Kemudian Ki Gedeng berjanji akan membantu Sunan Gunung Jati dalam syiar Islam ke daerah lainnya. Keberhasilan ini berkat keramahan, serta kewibawaan Sunan Gunung Jati.

Proses pengislaman di Luragung ada kaitannya dengan perkawinan antara Sunan Gung Jati dengan Ong Tien dari Cina. Dalam Babad Cirebon, dikemukakan ketika itu Sunan Gunung Jati dengan Ki Gedeng Kemuning sedang bermusyawarah, kemudian tiba tiba datang rombongan Ong Tien dari negeri Cina sebanyak tiga buah kapal bermuatan bermuatan seratus orang pria dan lima puluh orang wanita serta membawa barang-barang berharga di antaranya piring-piring panjang, kong-kong dan bokor-bokor kuningan. Kemudian salah seorang Patih dari rombongan putri Ong Tien menyampaikan maksudnya kepada Sunan Gunung Jati, bahwa kedatangannya diutus oleh Raja Ong The untuk mempersembahkan seluruh isi kapal termasuk puteri Ong Tien untuk Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati menerima dengan syarat terlebih dahulu semua harus masuk Islam. Syarat tersebut disepakasi baik oleh Ong Tien maupun oleh semua pengikutnya.

Selain di wilayah Luragung, Sunan Gunung Jati juga mengislamkan wilayah Talaga. Proses pengislaman di Talaga dengan di Luragung sangatlah berbeda. Di Talaga terjadi kesalah pahaman antara pengawal Sunan GunungJati dengan pengawal Prabu Pucuk Umun. Akhirnya peperangan pun tak terelakan.  Dalam peperangan itu, pengawal Prabu Pucuk Umum terdesak dan Putra Mahkota Prabu Pucuk Umum, Arya Salingsingan turun tangan dengan bersenjatakan Ki Cuntabarang milik Ayahandanya. Pengawal Sunan Gunung Jati terdesak dan mundur sampai ke posisi kedua di mana Sunan Gunung Jati berada. Melihat kejadian tersebut, Sunan Gung Jati maju ke depan untuk menghadapi Arya Salingsingan.

 Arya Salingsingan begitu berhadapan dengan Sunan Gunung Jati menjadi tidak berdaya, karena melihat penampilannya yang begitu berwibawa dan agung serta tidak mencerminkan sikap bermusuhan. Akhirnya Arya Salingsingan memohon maaf dan bersedia masuk agama Islam beserta para pengawalnya. Mengetahui kejadian tersebut Prabu Pucukumum dan putrinya Nhay (Nyai) Mas Tanjungrangagang melarikan diri ke Gunung Ciremai, karena tidak mau tunduk kepada Sunan Gunung Jati.

Begitu pula proses pengislaman di Rajagaluh dilakukan melalui peperangan. Hal itu disebabkan adanya utusan dari Prabu Cakraningrat yang dipimpin oleh Demang Dipasara, supaya Kerajaan Cirebon mengakui sebagai bagian atau bawahan dari Negara Rajagaluh. Akan tetapi, utusan Rajagaluh ditolak oleh penjaga Kerajaan Cirebon dan disuruh pulang kembali.

Adanya penolakan ini, maka Raja Galuh memerintahkan kepada Dipati Kiban Panglima Rajagaluh supaya membuat garis pertahanan di daerah Palimanan untuk kemudian mengadakan penyerangan ke Cirebon.

Adanya pasuka Prabu Cakraningrat di Palimanan dengan keadaan siap tempur. Dipati Aria Kemuning memberi tahu kepada Sunan Gunung Jati. Kemudian Sunan Gunung Jati memerintahkan kepada putranya Dipati Aria Kemuning lengkap dengan pasukannya pergi ke Palimanan untuk menyampaikan pesan kepada utusan Prabu Cakraningrat supaya Prabu Cakraningrat beserta rakyatnya memeluk agama Islam dan jangan terjadi pertumpahan darah di kedua belah pihak. Akan tetapi, perdamaian ini gagal dan terjadilah perang yang berkecamuk. Pasukan Rajagaluh dapat dihancurkan pada tahun 1528 Masehi dan Raja Prabu Cakraningrat melarikan diri, sedangkan rakyat dan pasukan menyatakan masuk agama Islam.

Menilik peliknya persoalan proses pengislaman di tanah Rajagaluh yang berakhir dengan pertumpahan darah, Sunan Gunung Jati tetap melakukan dakwahnya di berbagai daerah. Perjuangannya kali ini tidak menimbulkan pertikaian, melainkan berlangsung dengan baik dan efektif. Dalam dakwahnya kali ini Sunan Gunung Jati menggunakan metode syiarnya melalui pendekatan sosial budaya yang akomodatif. Yaitu dengan cara mengajak masyarakat untuk memahami tentang pengetahuannya akan mitos dan legenda.

Keberhasilan dakwah yang diperoleh Sunan Gunung Jati dalam mengislamkan masyarakat tidak lepas pula dari peranannya sebagai seorang da’i yang shalih dan penuh keteladanan sehingga akhirnya wilayah dakwahnya meluas meliputi berbagai daerah seperti daerah Pegadingan (wilayah barat dan selatan Sumedang), Ukur Cibaliung (Kabupaten Bandung), Batu Layang, Timbanganten (sekarang kabupaten Garut) dan pasir luhur.

Figur yang pantang menyerah yang dimiliki Sunan Gunung Jati telah banyak mendulang kesuksesan pengislaman di berbagai daerah. Kali ini Sunan Gunung Jati berdakwah di daerah yang sekarang telah menjadi Indramayu dan Tasikmalaya. Penyebaran agama yang dinilai begitu baik dan bijaksana mendulang kesuksesan pengislaman tanpa pertumpahan darah. Hal ini pun tidak membutakan dari peranan sejumlah santri pilihan yang dimandatkan oleh Sunan Gunung Jati sebagai pendakwah di berbagai daerah yang telah di bagi perwilayahnya. Seperti halnya di daerah Sumedang yang mendulang keberhasilan, yang dipimpin oleh Pangeran Santri.

Keberhasilan Sunan Gunung Jati dalam mengislamkan masyarakat di tanah Sunda dan Cirebon juga tidak lepas dari beberapa metode dakwah yang digunakan. Ketika masa Sunan Gunung Jati berdakwah, beliau menggunakan metode struktural dan kultural. Dalam metode ini Sunan Gunung Jati memiliki peran untuk mengubah kebiasaan atau sebuah budaya (Hindu-Budha) yang sangat kental di masyarakat Cirebon menjadi bernilai Islami.

Perjuangan Sunan Gunung Jati dalam mengislamkan masyarakat Cirebon sangatlah berpengaruh besar. Setelah berkhidmat 89 tahun membangun kerajaan Cirebon yang berdaulat, Sunan Gunung Jati wafat di usia 120 tahun, pada tanggal 12 bagian terang bulan Badara tahun 1490 Sakta (19 September 1568 Masehi) malam Jum’at kliwon.  Jasadnya dibumikan di Pasir Jati, bagian teratas kompleks makam Gunung Sembung. Sunan Gunung Jati memegang tampuk pemerintahan kerajaan Cirebon kurang lebih 46 tahun (1482-1528). Dalam kurun waktu itu kerajaan Cirebon berkembang dalam suasana damai dan menjadi Negara Islam yang makmur.

Dengan kata lain, di bawah pemerintahan Sunan Gunung Jati, kerajaan Cirebon mencapai puncak kejayaan. Kondisi ini tercermin antara lain dari perkembangan wilayah pusat pemerintahan. Hal itu terjadi berkat kepemimpinan dan kearifan Sunan Gunung Jati dalam kedudukan sebagai raja. Salah satu kearifan Sunan Gunung Jati adalah dengan pemberlakuan pajak. Jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat. Pajak itu benar-benar digunakan untuk mendanai berbagai pembangunan khususnya pembangunan di pusat kerajaan.

Setelah wafatnya Sunan Gunung Jati, beliau meninggalkan beberapa peninggalan yang hingga saat ini masih dilestarikan. Peninggalan Sunan Gunung Jati yang pertama, yakni Masjid Sang Cipta Rasa yang masih berdiri kokoh sejak dibangun pada tahun 1480 (versi lainnya 1479). Dalam pembangunan Masjid Sang Cipta Rasa tidak lepas dari tangan Sunan Bonang dan Sunan Kali Jaga dengan arsitek Raden Sepat, arsitek kerajaan Majapahit. Tidak sampai disitu Sunan Gunung Jati pun memperluas dan melengkapi Keraton Pakung Wati (tahun 1679 menjadi keraton Kesepuhan) dengan bangunan-bangunan pelengkap dan tembok keliling setinggi 2,5 m dengan tebal 80 cm pada areal sekira 20 Hektar.

Selanjutnya, peninggalan Sunan Gunung Jati yang kedua berada di tepi sungai Kriyan, istal kuda kerajaan dan pos penjagaan berupa pembangungan pangkalan perahu kerajaan lengkap dengan gapura. Dalam hal ini Sunan Gunung Jati menyempurnakan fasilitas pelayaran di Pelabuhan Muara Jati seperti Mercusuar dan galangan kapal.  Setelahnya Sunan Gunung Jati pun membuka pelabuhan baru dengan nama Pelabuhan Talang, yang berlokasi di Pelabuhan Cirebon sekarang. Pelabuhan ini dekat dengan kediaman raja dan memiliki fasilitas yang menguntungkan para pedangang di antaranya lahan yang luas untuk membuat gudanggudang dan pasar. Hal inilah yang menjadi Pelabuhan Cirebon menjadi sangat ramai dikunjungi.

Setelah wafatnya Sunan Gunung Jati tidak ada satupun dari putranya yang dapat menggantikan kedudukannya di Cirebon. Pangeran Pasarean telah gugur di Demak pada 1546, Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana juga telah gugur lebih dahulu dari pada Sunan Gunung Jati. Putra yang masih hidup adalah Pangeran Sabakingkin(Pangeran Hasanudin) telah berkuasa di Banten sejak tahun 1522, yang kemudian kedudukannnya ditingkatkan menjadi Sultan Banten.

 Demikian pula putra Pangeran Pasarean (Cucu Sunan Gunung Jati), yaitu Pangeran Swarga bergelar Pangeran Dipati Carbo yang perang Kerajaan Cirebon, meninggal pada tahun 1565. Oleh karena itu, Fatahillah terpilih menjadi raja Cirebon menggantikan Sunan Gunung Jati, karena ia adalah menantu Sunan Gunung Jati dan telah menunjukan kemampuan serta berjasa dalam menjalankan pemerintahan Cirebon (1546-1568) mewakili Sunan Gunung Jati. Fatahillah menjadi raja Cirebon kurang lebih selama dua tahun, karena ia meninggal pada tahun 1570.

Posting Komentar untuk "Cirebon Dibawah Pemerintahan Sunan Gunung Jati"