Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peninggalan Kerajaan Pajajaran

Kerajaan Pajajaran atau juga biasa disebut dengan Kerajaan Sunda-Galuh memiliki beberapa peninggalan yang hingga kini dapat dijumpai. Peninggalan-peninggalan tersebut pada umumnya berbentuk prasasti dan beberapa situs pemukiman masa Kerajaan Pajajaran.

Peninggalan Kerajaan Pajajaran yang sudah teridentifikasi terdiri dari 9 macam peninggalan, adapun penjelasan mengenai kesembilan peninggalan kerajaan Pajajaran yang dimkasud adalah sebagai berikut:

Prasasti Batu Tulis

Prasasti Batu Tulis baru ditemukan pada tanggal 28 Juli 1687 dari laporan ekspedisi VOC yang pada saat itu dipimpin oleh Scipio. Bahan Prasasti Batutulis sendiri menggunakan batu andesit berwarna abu-abu kehitaman berbentuk segitiga sama kaki yang menyerupai gunungan. Huruf yang digunkana di Prasasti Batutulis menggunakan bahasa sunda kuno.

Menurut carita Parahiyangan, Prasasti Batutulis dibuat pada masa raja Surawisesa yang bertujuan untuk meningat jasa-jasa dan meninggalnya ayahanda Sri Baduga tepat 12 tahun silam. Pada prasasti ini dikisahkan bahwa Sri Baduga Maharaja adalah seorang raja yang dermawan dan mampu menyejahterakan rakyat Sunda. Saat masa kekuasaanya, ia menjadi kerajaan yang disegani seluruh kerajaan di Jawa Barat. Dibuktikan dengan membuat benteng pertahanan kerajaan, membuat gunung-gunungan, membuat jalan yang beralarut dari batu, membuat hutan, dan membuat telaga Rena Mahawijaya.

Prasasti Batu Tulis juga sebagai wujud tradisi agama Hindu yang berbentuk upacara Srada, yakni prosesi upacara yang dilaksanakan tepat 12 tahun setelah meninggalnya seseorang sebagai bentuk penyempurnaan Sukma. Mengartikan bahwa tepat di waktu itu, sukma seseorang sudah benar-benar hengkang dari duniawi dan pindah ke akhirat. Upacara ini dipercaya dapat menghantarkan roh agar bersemayam dengan tenang dan tidak terjadi hal-hal buruk meninmpah roh-roh tersebut.

Berdasarkan sumber berita Cina dan Protugis, kerajaan Sunda berdiri pada abad ke-14 dan berakhir di abad ke 15 M. Prasasti ini menyebutkan pada abad ke 15 M, nama Prabu Wastu bertahta di Kawali, Ciamis. Setelah Prabu Wastu meninggal, kemudian digantikan oleh putranya bernama Rahyang Ningratkencana atau Dewa Niskala. Kemudian Dewa Niskala digantikan oleh putranya yang bernama Sri Baduga Maharaja yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran seperti yang tertera dalam Prasasti Batutulis.
Tulisan dalam Prasasti Batutulis di Bogor yang berhasil diterjemahkan dan di susun oleh Saleh Danasasmita tahun 1981-1984 M, antara lain :
Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana
di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji
di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata
pun ya nu nyusuk na pakwan
diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta
dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu
ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang
ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay
nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena
mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa
e(m) ban bumi
Artinya: "Dengan gelar Parbuguru Dewataprana; telah dinobatkan lagi dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang menciptakan parit pertahanan di Pakuan. Dia anak dari Rahyang Dewata Niskala yang mendiang di Gunutiga, cucu Rahiyang Dewa Niskala Wastu Kencana yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan bebatuan, membuat hutan, membuat Telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah yang membuat itu semua dan dibuat pada tahun saka 1455."

Prasasti Huludayeuh

Prasasti Huludayeuh adalah prasasti salah satu peninggalan dari kerajaan di Sunda. Prasasti Huludayeuh letaknya terdapat di tengah persawahan di Kampung Huludayeuh, Desa Cikalahang, Kecamatan Sumber yang telah melakukan pemekaran menjadi Kecamatan Dukupuntang Cirebon.

Prasasti Huludayeuh sebenarmya telah diketahui masyarakat setempat sejak lama, tapi banyak orang beranggapan bahwa batu tersebut hanya batu biasa yang tidak memiliki cerita apapun. Pada tahun 1991 M. kalangan para ahli sejarah dan arkeologi mengetahuinya. Kemudian diteliti lebih dalam lagi mengenai kepenulisan, bentuk batunya, bahasa teksnya dan diumumkan secara meluas di media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 M. Setelah itu Harian Kompas juga meliputnya pada 12 September 1991 M.

Diberitakan bahwa Prasasti Huludayeuh diukir pada batu alam. Prasasti ini memiliki ukuran dengan tinggi 75 cm x lebar 36 cm dan tebal 20 cm. Dalam bahasa Sunda, huludayeuh diartikan sebagai pusat kotanya ibu kota. Prasasti ini ditulis menggunakan huruf Sunda Kuno yang diperkirakan berasal dari abad ke-10 M. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah dalam prasasti tersebut ditemukan penyebutan nama "Sri Pakwan". Padahal Sri Pakwan adalah seorang raja besar yang memimpin kerajaan era Pajajaran sekitar abad ke-16 M. Sampai saat ini, belum  ada yang mampu memberikan keterangan valid mengenai tahun pembuatan prasasti ini.

Prasasti Huludayeuh terdiri dari 11 baris tulisan yang menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno. Tetapi sayang, saat ditemukannya prasasti tersebut keadaannya sudah tidak utuh lagi karena lapuk dimakan usia. Terdapat pecahan yang menyisir area pinggir batu tersebut, sehingga aksaranya tidak begitu kelihatan. Begitu pun permukaan batu juga telah rusak dan tulisannya banyak aus, hingga sebagian besar isinya tidak dapat diketahui. Untuk hasil sementara, sejarawan bekerja sama dengan arkeolog mentranskripkan isi prasasti tersebut sebagai berikut:
………….tra....na....
... . sri mahharaja ratu
haji di pkwan sya sang ratu
dewata pun/ masa sya.....
…. .ngretakeun bumi ngaha....
....lipukkeun/ bumi ngaha...
...ngarah sang di susuk/ lampu...
….i ngareubhkeun/ ikang..ka...
susi padakah. Ngalasan...
na udugbasu. mipataka..
is/nikang kala pun...
Tulisan tersebut tidak bisa diartikan secara hunuf per huruf tetapi ahli filologi mampu mengungkapkan inti dari tulisan di atas bahwa mengemukakan tentang kebesaran Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-usahanya memakmurkan kerajaan dan menyejahterakan rakyatnya.

Prasasti Ulubelu

Prasasti Ulubelu adalah prasasti yang ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kotaagung, Lampung pada tahun 1936 M. Prasasti ini diperkirakan sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran pada abad ke-15 M. Sekarang prasasti ini disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D.154.

Prasasti Ulubelu menggunakan aksara Sunda Kuno, sehingga banyak yang menganggap bahwa prasasti ini peninggalan dari Kerajaan Sunda- Pajajaran. Anggapan ini didukung oleh dugaan bahwa Sunda pernah menguasai Tanah Lampung. Setelah Pajajaran diserang Banten yang kemudian mengalami keruntuhan.

Tanah kekuasaan yang ada di Lampung tersebut diteruskan oleh Kesultanan Banten. Meskipun demikian, terdapat pendapat lainnya yang menyatakan bahwa aksara di Prasasti Ulubelu berbentuk onerti paku. Aksara Ka-Ga-Nga merupakan aksara Sumatra yang sering digunakan oleh masyarakat Batak, Rejang dan Lampung pada zaman dahulu dan merupakan cikal- bakal aksara Lampung pada manuskrip yang terdapat di beberapa objek kulit hewan hingga masa sekarang.

Prasasti Lulubelu berisi bentuk mantra sebagai wujud permintaan tolong kepada para dewa-dewa utama seperti Batara Guru, Brahma, dan Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah dan pohon agar senantiasa menjaga keselamatan rakyat dari bahaya musuh yang menyerang. Prasasti ini aksaranya tergores pada batu alam. Sedangkan ukiran hurufnya cukup tipis dan kecil, sehingga aus di makan usia. Prasasti ini di bagian tengahnya juga patah, tetapi sekali lagi gaya tulisan di prasasti ini berbentuk menyerupai aksara Sunda Kuno.

Prasasti Kebon Kopi II

Di Pulau Jawa terdapat dua prasasti yang namanya sama yakni Prasasti Kebon Kopi I dan Prasasti Kebon Tapak Gajah dan Prasasti Kebon Kopi II dikenal dengan Prasasti Pasir Muara. Nama prasasti ini berasal dari penemuannya yakni di kebun kopi. Sebab pada waktu itu terdapat pembebasan lahan yang digunakan sebagai perkebunan kopi.

Pada saat pembebasan lahan inilah prasasti ini mulai ditemukan. Penemuan Prasasti Kebon Kopi II ditemukan di daerah Kampung Pasir Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Cerita ditemukannya prasasti ini adalah pada abad ke-19 M, Jawa Barat melakukan penebangan hutan guna perkebunan kopi. Letak prasasti ini kira-kira 1 km dari batu Prasasti Kebon Kopi I.

Prasasti ini ditulis menggunakan aksara Kawi, tetapi bahasa yang digunakan menggunakan bahasa Melayu Kuno. Bosch mengartikan bahwa simbolisme menggunakan bahasa Melayu ini sebagai pengaruh Sriwijaya di kawasanJawa Barat. Statement ini berdasarkan perbandingan tahun 932 M dalam prasasti ini dengan tahun 929 M saat kekuasaan pindah ke daerah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Berbeda lagi dengan sejarawan bangsa Prancis ini. Claude Guillot yang bekerja di instansi Lembaga Penelitian Ecole Francaise d'Extreme-Oriental memperkirakan adanya Prasasti Kebon Kopi II mengacu pada berdirinya Kerajaan Sunda. Statement ini diikuti oleh Sejarawan Australia M. C. Ricklefs dalam bukunya A History of Modern Indonesia Since c.1200.
Isi Prasasti Kebon Kopi II di antaranya adalah:
"Ini sabdakalandra rakryang juru pengambat I kawihaji panyaca pasagi marsandeca- berpulihkan hajiri Sunda".
Artinya: Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan Raja Sunda. Pangambat, pada tahun 458 Saka atau 932 Masehi, bahwa tatanan pemerintah di kembalikan kepada keuasaan raja sunda.

Sedangkan Prasasti Kebon Kopi I dilaporkan pertama kali oleh N. W. Hoepermans pada tahun 1864 M, yang kemudian disusul oleh J. F. G. Brumun di tahun 1868 M. A. B. Cohen Stuarty tahun 1875 M, P. J. Vent tahun 1878 M. Diungkapkan bahwa prasasti ini diukir dalam salah satu bidang permukaan batu alam yang bentuknya cukup besar. Prasasti Kebon Kopi I ini dituliskan menggunakan aksara dan bahasa Sanskerta yang disusun menggunakan bentuk seloka metrum Anustubh dan díapit oleh sepasang pahatan gambar telapak gajah.

Situs Karangkamulyan

Situs Karangkamulyan adalah situs purbakala bersejarah dan situs arkeologi yang ditemukan di Desa Karangkamulyan, Cijeungjung, Ciamis, Jawa Barat. Sejarawan mengungkapkan bahwa situs ini merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Sunda Galuh yang masih bercorak Hindu-Buddha.

Di Ciamis, nama Karangkamulyan tentu sudah tidak asing lagi. Tetapi banyak masyarakat umum yang belum mengetahui sejarah dan asal-usul adanya Situs Karangkamulyan. Situs ini menceritakan tentang kesaktian dan keperkasaan Ciung Wanara yang tidak dimiliki oleh orang biasa.

Sosok Ciung Wanara mencerminkan cerita mengenai Kerajaan Galuh. Bahwa dari Situs Karangkamulyan akan diketahui Raja Galuh bernama Prabu Adimulya Sanghyang CiptaPremana Di Kusuma memiliki dua permaisuri, pertama Dewi Naganingrum dan Dewi Pangreyep. Sebelum meninggal, Prabu Adimulya memberiwasiat kepada patih Bondan Sarati agar melanjutkan pemerintahan Kerajaan Galuh.

Pada saat itu Prabu Adimulya belum memiliki keturunan dari permaisuri Dewi Naganingrum. Selama menjadi raja, Bondan Sarati terkenal lebih mementingkan urusan pribadi daripada kesejahteraan umat. Sehingga atas izin para dewa, Dewi Naganingrum dianugerahi seorang anak yang bernama Ciung Wanara. Konon Ciung Wanara tumbuh besar dan mampu melanjutkan keinginan ayahnya (Prabu Adimulya) untuk menjadi Raja Galuh. Apabila kita teliti lebih jauh mengenai Situs Karangkamulyan yang luasnya mencapai 25 ha, tentu menyimpan berbagai benda-benda peninggalan yangdiduga data-data tentang sejarah Kerajaan Galuh.

Sebagian besar telah ditemukan ada beberapa bangunan bahannya terbuat dari batu. Batu-batu ini letaknya tidak berdekatan, tetapi menyebar dan bentuknya berbeda-beda. Sedangkan struktur bangunan batu tersebut memiliki gaya tumpukan sama dan terdapat bagian depan yang menyerupai bangunan kamar. Seperti lainnya, batu yang ada di dalam struktur bangunan tersebut memiliki nama masing-masing dan terdapat Premana Di Kusuma memiliki dua permaisuri, pertama Dewi Naganingrum dan Dewi Pangreyep.

Sebelum meninggal, Prabu Adimulya memberi wasiat kepada patih Bondan Sarati agar melanjutkan pemerintahan Kerajaan Galuh. Pada saat itu Prabu Adimulya belum memiliki keturunan dari permaisuri Dewi Naganingrum. Selama menjadi raja, Bondan Sarati terkenal lebih mementingkan urusan pribadi  aripada kesejahteraan umat. Sehingga atas izin para dewa, Dewi Naganingrum dianugerahi seorang anak yang bernama Ciung Wanara. Konon Ciung Wanara tumbuh besar dan mampu melanjutkan keinginan ayahnya (Prabu Adimulya) untuk menjadi Raja Galuh.

Apabila kita analisa lebih jauh mengenai Situs Karangkamulyan yang luasnya mencapai 25 ha, tentu menyimpan berbagai benda-benda peninggalan yang diduga data-data tentang sejarah Kerajaan Galuh. Sebagian besar telah ditemukan ada beberapa bangunan.  bahannya terbuat dari batu.

Batu-batu ini letaknya tidak berdekatan, tetapi menyebar dan  bentuknya berbeda- beda. Sedangkan struktur bangunan batu tersebut memiliki gaya tumpukan sama dan terdapat bagian depan yang menyerupai bangunan kamar. Seperti lainnya, batu yang ada di dalam struktur bangunan tersebut memiliki nama masing-masing dan terdapat kisah berbeda-beda. Masing-masing nama batu itu didapatkan dari masyarakat lokal dan para sejarawan yang kebanyakan dihubungkan dengan cerita Kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau batu tempat duduk, lambung peribadatan, tempat melahirkan, cikahuripan dan tempat bersambung ayam.

Situs Karangkamulyan telah ditemukan keramik dari Dinasti Ming, besar kemungkinan pada abad ke-9 M, yang sekarang menjadi Situs Karangkamulyan pernah ada kehidupan. Secara geografis, situs ini bisa dikatakan sebagai situs yang strategis, sebab berbatasan dengan Sungai Citanduy dan Sungai Cimuntur, dengan batas sebelah barat terdapat parit yang memiliki lebar 7 meter membentuk tanggul kuno, sebelah selatan berbatasan Sungai Citanduy, sebelah timur Sungai Cumuntur dan sebelah utara berbatasan jalan raya Ciamis-Banjar. Pertama yang akan kita lewati adalah pelinggih. Pelinggih adalah sebuah batu bertingkat berbentuk segi empat. Batu ini dikelompokkan masuk kategori batu Yoni. Di bawah Yoni ada beberapa batu sebagai penyangga, sehingga memberi kesan seperti dolmen (kuburan batu).

Tempat Peribadatan

Batu yang diduga sebagai tempat peribadatan merupakan bagian dari kemuncak, tetapi dari beberapa sejarawan sebagai fragmen candi atau stupa. Bentuknya batu ini indah karena dihiasi oleh pahatan- pahatan seniman yang khas gaya Hindu. Letak batu ini berada di dalam struktur tembok yang memiliki ukuran 3 m x 3 m dan tinggi kurang lebih 60 cm. Tempat ini terdapat dua komponen berbeda yakni adanya kemuncak dan struktur tembok. Struktur tembok yang tersusun rapi menunjukkan sebagai budaya masyarakat zaman dahulu yang suka membuat cerita melalui ukiran di   tembok, sedangkan kemuncak merupakan peninggalan Hindu.

Sanghyang Bedil

Asal-usul mengenai Sanghyang Bedil belum diketahui secara pasti, namun yang pasti tempat ini merupakan suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6,2 m x 6 m dan tingginya mencapai 80 cm. Pintu menghadap ke arah utara, dan di depan pintu terdapat struktur batu yang berfungsi sebagai penghalang. Di tengah petakan ini terdapat dua menhir yang masing- masing berukuran 60 cm x 40 cm dan 20 cm x 8 cm.

Penyabungan Ayam 

Tempat ini terletak di sebelah selatan dari keberadaan Sanghyang Bedil. Tempat ini terdapat pintu terbuka yang tingginya lebih rendah dari pada Sanghyang Bedil. Sejarawan menganggap bahwa tempat ini pada zaman dahulu digunakan sebagai penyambung ayam milik Ciung Wanara dan ayam milik sang raja.

Cikahuripan

Di cikahuripan tidak ditemukan adanya tanda-tanda peninggalan arkeologis. Tetapi ada sebuah sumur hingga kini masih ada airnya. Letak sumur ini berdekatan dengan Sungai Citanduy dan Sungai Cimuntur. Masyarakat menyebut cikahuripan dikarenakan ada sumur sebagai tanda kehidupan. Bahwa sumur ini merupakan sumur kehidupan yang airnya selalu ada sepanjang masa dan tidak pernah kering sepanjang tahun, sehingga disebut cikahuripan atau sebuah air yang membawa kehidupan bagi manusia.

Panyandaran

Letak panyandaran dikelilingi oleh batu bersusun yang merupakan struktur tembok. Panyandaran terdiri dari menhir dan dolmen yang masing-masing berukuran 120 cm x 70 cm dan 120 cm x 32 cm.
Konon tempat ini sebagai tempat persalinan Dewi Naganingrum melahirkan Ciung Wanara yang kemudian bayi tersebut dibuang ke sungai oleh Citanduy oleh pembantu Ratu Naganingrum. Tempat ini juga sebagai tempat pemulihan Dewi Naganingrum selama 40 hari setelah melahirkan.

Dipati Panaekan

Dipati Panaekan merupakan makam yang ada batunya melingkar dan bersusun tiga. Di tempat ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeolog. Dipati Panaekan adalah seorang raja Galuh Gala Tengah yang pada waktu itu kerajaannya berpusat di Cineam. Ia mendapat gelar Adipati dari Sultan Agung Raja Mataram.

Prasasti Cikapundung

Prasasti Cikapundung ditemukan pada tahun 2010 masyarakat sekitar. Prasasti ini diperkirakan berasal oleh dari abad ke-14, sebab ada aksara menggunakan Sunda Kuno, telapak tangan, telapak kaki dan wajah. Di tafsirkan  para ahli bahwa telapak kaki dan tangan di Prasasti Cikapundung merupakan lambang dari kekuasaan dan melambangkan hegemoni, daerah kekuasaan dari seorang raja dalam memimpin rakyatnya.

Prasasti Cikapundung saat ini disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris 479c/D184. Dan Prasasti Cikapundung memiliki jenis bahannya batu tipe megalitik. Prasasti ini isinya pendet, tetapi terdapat tulisan "angka tahun 1263 Saka" atau 1341 M.

Prasasti Cikapundung memiliki ukuran 178 cm x 80 cm dan tinggi 55 cm. Di tengah prasasti ini tertulis huruf Sunda Kuno dua baris yang berbunyi "unggal jagat jalmah hendap" artinya adalah semua manusia yang ada di dunia akan mengalami sesuatu. Jika dibandingkan dengan situs-situs lainnya, Prasasti Cikapundung merupakan temuan baru di kawasan Jawa Barat, terutama benda-benda yang menceritakan masa Kerajaan Pajajaran. Sebab, beberapa ahli juga menemukan berbagai arca di sekitar Cikapundung yang berbeda dengan arca klasik lainnya, disebut Arca Cikapundung.

Di masa Kerajaan Pajajaran, sekarang wilayah Bandung pada merupakan kawasan Pajajaran. Sepanjang aliran Sungai Cikapundung merupakan tumbuh-kembangnya beberapa kerajaan, seperti Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Pajajaran.

Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis

Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis atau biasa dikenal Padrao Sunda Kelapa adalah sebuah prasasti yang bentuknya seperti tugu menjulang ke atas dan ditemukan pada tahun 1918 M di Batavia, Hindia Belanda. Prasasti ini menyatakan bukti adanya perjanjian Kerajaan Sunda dengan Portugis yang dibuat sebagai bentuk kerja sama bidang perdagangan dan keamanan yang pada waktu waktu itu Portugis diwakili Enrique Leme dengan membawa barang-barang untuk "Raja Samian" maksudnya adalah Sanghyang, yakni Sanghyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin Kerajaan Kedua setelah meninggalnya Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.

 Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis tersebut berdiri di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membenteng benteng dan gudang perekonomian bangsa Portugis. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia sedangkan replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Nasional. Prasasti ini ditemukan kembali saat adanya penggalian guna membangun fondasi gudang di sekitar Prinsenstraat yang sekarang berada di jalan Cengkih dan Groenestraat, Jalan Kali Besar Timur. Daerah ini sekarang masuk kawasan Jakarta Barat.

Prasasti ini dibuat pada awal abad ke-16 M, di mana pelabuhan-pelabuhan penting yang ada di Jawa Barat milik Pajajaran sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak dan Banten. Tentu hal ini mengkhawatirkan raja Pajajaran jika dibiarkan begitu saja, lama-kelamaan Pajajaran bisa saja lemah di bidang perekonomian. Salah satu jalan yang ia tempuh adalah menjalin kerja sama dengan Portugis di tahun 1512 M dan 1521 M. Pajajaran saat itu dipimpin oleh seorang raja bernama Surawisesa yang mengharapkan kedatangan Portugis untuk menandatangani perjanjiandagang tersebut.

Pada tahun 1522 M, Portugis sepakat membentuk barisan pertahanan berkoalisi bersama Sunda untuk memperoleh perdagangan yang menguntungkan. Di bawah komandan Kapten Enrique Leme, Sunda Kelapa disertai barang-barang berharga dipersembahkan kepada raja Sunda. Sedangkan masa akhirnya dari perjanjian tersebut ada dua sumber, pertama adalah dokumen asli Portugis yang berasal dari tahun 1522 M. Dokumen itu berisi tanda tangan para saksi, dan yang kedua adalah laporan kejadian yang disampaikan oleh Joao de Barros dalam bukunya berjudul Da Asia dicetak di tahun 1777 M.

Buku tersebut menceritakan bahwa Raja Sunda cukup senang menyambut kedatangan orang Portugis. Raja Sunda sepakat atas perjanjian yang dijalin dengan bangsa Portugis ini. Ia memutuskan untuk memberikan tanah di daerah Ciliwung sebagai area berlabuhnya kapal-kapal Portugis yang datang ke Sunda. Selain itu, raja Sunda berjanji akan memfasilitasi pembangunan benteng dengan mengirimkan lada seribu karung ke Portugis. Perjanjian ini disahkan melalui tanda tangan kedua belah pihak dan rangkap dua, pertama dibawa Kerajaan Sunda dan kedua dibawa bangsa Portugis.

Pada dokumen perjanjian, saksi dari Kerajaan Pajajaran adalah "Yang dipertuan Tumenggung, Sang Adipati, Bendahara dan Syahbandar" Sunda Kelapa. Sedangkan saksi pihak Portugis ada delapan orang. Saksi Kerajaan Pajajaran tidak menandatangani tetapi dengan adat-istiadat "Selamatan". Melegalisasikan Sekarang, salinan perjanjian ini terdapat di Museum Nasional Republik Indonesia,  sedangkan salinan satunya disimpan di Arsip Nasional Torre do Tombo, Lisboa.

Usai hari penandatanganan perjanjian tersebut, pemimpin Kerajaan Pajajaran beserta jajarannya dan Enrique Leme beserta rombongannya pergi ke tanah yang akan menjadi tempat benteng pertahanan di mulut Ciliwung. Kedua belah pihak menyaksikan secara bersama atas pendirian prasasti yang disebut Padrao atau Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis.

Pada tahun selanjutnya, Portugis sendiri gagal memenuhi panggilan Kerajaan Pajajaran ke Tanah Sunda dikarenakan pada waktu itu terjadi masalah sendiri di Goa India. Dari perjanjian inilah Kerajaan Demak semakin tidak terima. Bagaimanapun Portugis adalah bangsa mancanegara yang tidak sepantasnya menduduki tanah di Nusantara. Sehingga pada tahun 1527 M, Demak berhasil mengusir bangsa Portugis dan Sunda Kelapa pada pada tanggal 22 Juni 1527 M.

Tanggal ini kemudian dijadikan pemerintah sebagai hari jadi kota Jakarta. Mengenai Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis ini terbuat dari batu yang tingginya 165 cm. Di bagian atas prasasti ini terdapat gambar bola dunia ada garis khatulistiwa dan lima garis lintang sejajar. Lambang ini ternyata sering digunakan masa Raja Manuel I Portugis saat melakukan ekspansi. Di atasnya lambang tersebut terdapat gambar trefoil kecil, bergambar tumbuhan dengan lima daun. Isi tulisan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis terdapat lambang salib dan di bawah salib ada tulisan DSPOR yang kepanjangannya Do Senhario de Portugal (penguasa Portugal). Pada baris kedua terdapat tulisan ESFERA/Mo yang berarti Esfera do Mundo (Bola Dunia) atau Espera do Mundo (Harapan Dunia).

Prasasti Pasir Datar

Prasasti Pasir Datar adalah salah satu prasasti peninggalan di zaman Kerajaan Sunda. Prasasti ini ditemukan oleh masyarakat di perkebunan kopi Pasir Datar, Desa Cisadane, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi pada tahun 1872 M. Menurut keterangan N. J. Krom, prasasti ini sekarang berada di Museum Nasional Republik Indonesia. Prasasti ini terbuat dari batu alam. Menurut sejarawan, Prasasti Pasir Datar ini belum ditranskrip sehingga untuk mengungkapkan asal-usulnya belum diketahui.

Komplek Makom Keramat

Komplek Makom Keramat merupakan makam Ratu Galuh Mangkualam. Sesuai penelitian yang dilakukan sejarawan, makam ini sudah ada sebelum dibuatnya Kebun Raya Bogor, bahkan sudah berusia sekitar 600 tahun. Saat dilihat lebih dekat, di atas pusara makam Ratu Galuh terdapat replika emas dan mahkota yang komposisinya terbuat dari semen. Hal ini menunjukkan bahwa makam tersebut semasa hidupnya memiliki jabatan pada masanya.

Di Kompek Makom Keramat ini terdapat berbagai cerita rakyat yang sudah menjadi kepercayaan. Konon makam ini dikeramatkan sebab, letaknya strategis dan ada jembatan merah yang memiliki daya magis. Masyarakat mempercayai jembatan tersebut dulunya terkenal karena ada noni Belanda yang bunuh diri dikarenakan cintanya terhadap laki-laki pribumi tidak mendapatkan restu. Selain itu, jika ada pasangan muda-mudi belum menikah dan melintas, maka dipercaya hubungan mereka akan berakhir.

Sekarang di makam tersebut masih menyimpang kekuatan mistis. Masyarakat percaya ketika malam tiba, akan  ada seekor harimau putih yang menjaga. Konon macam tersebut piaraan Prabu Siliwangi. Sebagai istri dari Raja Pajajaran, tentu makam ini menjadi situs sejarah yang ramai dikunjungi masyarakat Sunda.

Masyarakat berdatangan tidak hanya dari daerah Bogor saja tetapi luar kota pun turut mengunjungi makam ini. Dulu masyarakat datang ke makam ini untuk memberi rasa sang Ratu, tetapi seiring berjalannya waktu, sekarang digunakan untuk hal pesugihan.

Masyarakat percaya ketika datang ke makam kemudian berdoa dan menyatakan keinginannya, maka besar kemungkinan akan tercapai. Bagi siapa saja yang mengunjungi makam ini, tidak ada aturan tertulis mengenai larangan. Tetapi juru kunci memperkenankan ketika ingin berziarah sebaiknya keadaan suci, tidak berbicara keras dan berpakaian sopan.

Mengenai makam ini dan kepercayaan masyarakat, tentunya kita tetap mendukung dengan menjaga dan melestarikan. Hal tersebut sebagai bukti kepedulian kita semua terhadap sejarah masa kejayaan Nusantara khususnya Kerajaan Pajajaran. Dengan begitu, Indonesia akan menjadi negara besar sebab mampu menjaga sejarah.

Penulis : Anisa Anggraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon

Posting Komentar untuk "Peninggalan Kerajaan Pajajaran"