Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keruntuhan Kerajaan Aceh Darussalam

Keruntuhan Kerajaan Aceh Darussalam diakibatkan oleh invasi militer Belanda yang dimulai dari Tahun 1873 hingga 1903 Masehi. Invasi Belanda berlangsung selama Kerajaan atau Kesultanan Aceh diprintah oleh Sultan Alauddin Mahmud Syah (1870-1874) dan Sultan Muhamad Daud Syah (1874-1903).

Pada awal Maret 1873 Belanda mengutus Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen ke Aceh yang tujuannya menyampaikan ultimatum kepada Sultan Alauddin Mahmud Syah agar Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh, namun ultimatum tersebut ditolak oleh Sultan.

Karena ultimatum ditolak maka pada 26 Maret 1873 Belanda melalui Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen memproklamirkan perang pada Kesultanan Aceh.

Pernyataan perang pada Aceh ditunaikan Belanda dengan mengirimkan armada tempurnya dari Batavia (Jakarata) menuju Aceh dengan kekuatan 3600 tentara. 

Armada tempur Belanda sampai ke Aceh pada awal Bulan April, selanjutnya pada Tanggal 8 April 1873, Armada tempur Belanda dibawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler menghujani Kuta Meugat dan Kuta Pante Ceureumun dengan meriam, pertempuran sengit terjadi di kedua belah pihak, namun pada 10 April 1873 wilayah-wilayah tersebut termasuk Masjid Raya Kesultanan Aceh dapat direbut Belanda.

Direbutnya Masjid Raya Kesultanan Aceh membuat Kohler merasa di atas angin, ia optimis sebentar lagi akan dapat merebut Istana dan menaklukan Aceh. Akan tetapi manakala Köhler sedang meninjau lokasi yang tak jauh dari Masjid Raya, ia di tembak dari jarak jauh. 

Kolher ditembak oleh seorang prajurit Aceh yang bersembunyi dalam semak-semak, peluru menembus dada sebelah kiri Kohler sehingga menyebabkannya jatuh terjerembab seraya menggerakkan kedua tangannya meminta tolong. Pertolongan segera diberikan, akan tetapi setelah dibawa ke sebuah pohon yang tidak jauh dari Masjid Raya Kolher tewas.

Barisan tentara Belanda yang sudah menguasai Masjid Raya kebingungan selepas ditinggal wafat Panglima perangnya, namun pada akhirnya tentara Belanda memutuskan meninggalkan Aceh yang sebagiannya sudah diduduki menuju Batavia untuk mengatur ulang siasat. Peristiwa ini juga menandai bahwa dalam ekspedisi militer petama Aceh mampu mengalahkan Belanda.

Sembilan bulan kemudian, tepatnya pada petengahan bulan Desember 1873, Ekspedisi tempur Belanda dibawah pimpinan Jan Van Swieten mendarat di Aceh dan langsung melakukan serangkaian serangan pada kubu-kubu pertahanan Aceh. 

Pada tanggal 6 Januari 1874 tentara Belanda berhasil menguasai Masjid Raya, selanjutnya dua pekan kemudian yaitu pada pada tanggal 24 Januari Istana Kesultanan Aceh dapat direbut.

Kekalahan pihak Aceh dalam mempertahankan Istana sudah diantisipasi, sehingga sebelum kedatangan Belanda ke Istana, Sultan beserta keluarga dan pejabat penting negara telah meninggalkan Istana. Kala itu Sultan Alauddin Mahmud Syah diungsikan ke kawasan Lueng Bata, namun tidak lama kemudian, tepatnya pada 24 Januari Tahun 1874 Sultan Alauddin Mahmud Syah meninggal karena penyakit kolera.

Jatuhnya Istana Kesultanan Aceh menandai kemenangan Belanda atas Aceh pada perang ekspedisi kedua, oleh karena itu pada Tanggal 31 Januari 1874, Van Swieten membuat proklamasi kemenangan yang isinya  antara lain;
  • Belanda telah berhasil mencapai kemenangan mengalahkan Aceh, karena telah merebut Keraton. Oleh karena itu sesuai dengan hak menang perang maka seluruh Aceh sudah di bawah kedaulatan Belanda. 
  • Sejak tanggal 24 Januari 1874 M Sultan tidak diketahui dimana keberadaannya, oleh sebab itu Van Swieten berpendapat bahwa dialah yang berwenang mengemudi pemerintahan.
  • Dinasehatkannya kepada Sultan, Panglima Polim atau siapa saja yang menjadi orang-orang besar pemerintahan, supaya datang ke Keraton menemui jendaral Van Swieten untuk di beri tahu bahwa sikap kepemerintahan ditentukan oleh Belanda.
Proklamasi kemenangan Belanda atas Aceh serta wafatnya Sultan Alauddin Mahmud Syah tidak serta merta membuat para Pejabat Tinggi kerajaan Aceh menyerah, mereka lebih memililh melantik Sultan baru meskipun mereka menjalankan pemerintahan dalam pelarian.
Sultan Muhamad Daud Syah
Pelantikan Sultan baru Aceh tidak lama selepas wafatnya Sultan Alauddin Mahmud Syah pada 24 Januari tahun 1874, yang dilantik menjadi Sultan adalah Muhamad Daud Syah putra mendiang Sultan Alauddin Mahmud Syah, kala itu Muhamad Daud Syah baru berumur 6 Tahun. Pelantikan dilakukan dengan sederhana di Masjid Indrapuri. Pada mulanya pemerintahan Sultan Muhamad Daud Syah diwakili oleh para Pejabat tinggi negara mengingat Sultan belum berumur. 

Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Daud Syah 1874-1903 pemerintahan Aceh kondisinya tidak menentu, berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya menghindari kejaran Belanda, selama itu pula dengan gigih Kesultanan Aceh terus melakukan perlawanan secara grilya. Namun pada Tanggal 10 Januari tahun 1903 Sultan Muhamad Daud Syah menyerah setelah sebelumnya salah satu Istri dan anak-anaknya tertangkap.

Belanda mengancam akan membuang Istri dan anak-anaknya, sehingga Sultan menyerahkan diri dan mengakui kedaultan Belanda, mulai selepas itu para Pejabat Kesultanan lainnya yang masih berjuang turut menyerah. Peristiwa ini menandai sebagai akhir riwayat Kesultanan Aceh.

Sultan Muhamad Daud Syah bersama Istri dan anak-anaknya mulanya dibuang ke Ambon, selanjutnya dipindahkan ke Batavia hingga wafat pada 1932 dan dimakamkan di Batavia.

Baca Juga: Serangan China dan Terbentuknya Kesultanan Aceh Darussalam

Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon

Daftar Bacaan

[1] Abdul Qadir Djaelani, 1999. Perang Sabil Versus Perang Salib: Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis Dan Belanda. Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah AlMunawwarah
[2]Faisal Ardi Gustama, 2017. Babon Kerajaan –Kerajaan Nusantara.  Yogyakarta: Brilliant Books
[3]Fatah Syukur, 2002. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra
[5]Hamid Algadri, 1984.  C. Snouck Hugronye, Potitik Belanda Terhadap Islam dan Arab, Jakarta: Sinar Harapan
[6]Ismail Yakub, 1979. Pahlawan Nasional.  Semarang; CV. Faizan
[7]Ma’ruf Musbah & Dkk, 1996. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: CV. Wicaksana
[8]Paul Van ‘T Veer, 1985. Perang Aceh-Kisah Kegagalan Snouck Hourgronje. Jakarta: Grafiti Pers

Posting Komentar untuk "Keruntuhan Kerajaan Aceh Darussalam"