Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Strategi Suluhan Dalam Kecamuk Perang Kedongdong

Perang Kedongdong adalah perang besar yang pernah terjadi pada masa perlawanan rakyat Cirebon terhadap kesewenang-wenangan Belanda. Secara umum perang antara para pejuang di seluruh wilayah Cirebon yang terjadi dari Tahun 1802-1818 M disebut dengan Istilah Perang Kedongdong. Dinamakan demikian karena peperangan yang terberat sekaligus terbesar dalam pelawanan terjadi di sebuah daerah yang disebut Kedongdong.

Selain disebut Perang Kedongdong, ada  juga yang menyatakan dengan istilah perang Santri, dinamakan demikian karena pucuk pimpinan dikomandoi oleh para Bagus (Gus) dari kalangan kaum santri. Dahulu di abad 19 awal, Belanda menggolongkan manusia pribumi menjadi tiga bagian, yaitu Priyayai, Santri dan Abangan. Oleh karena itu penamaan kaum santri disini merujuk pada orang-orang yang dianggap taat dalam melaksanakan ajaran Islam, baik Ulama maupun murid-muridnya atau bisa juga keluarganya.

Perang Kedongdong yang terjadi pada 1818 berkecamuk dengan dahsyat, dalam catatan Belanda disebutkan bahwa mereka banyak menangung kerugian, mereka juga berkali-kali dipecundangi oleh para pejuang. Maka tidaklah mengherankan dalam Kecamuk Perang Kedongdong Belanda mendatangkan pasukan dari berbagai daerah yang ada di pasundan bahkan menyewa tentara dari Madura dan Eropa untuk memadamkan perlawanan.

Salah satu sebab dari keberhasilan para Pejuang dalam perang Kedongdong adalah penggunaan strategi Suluhan. Strategi perang ini efektif sebelum bocor dan diketahui pihak Belanda, sebab melalui strategi suluhan yang diterapkan,  pasukan Belanda yang dipersenjatai meriam dan bedil mampu diporak porandakan oleh para pejuang yang hanya bersenjatakan panah,  golok dan beberapa bedil yang kadang macet bahkan tak berfungsi karena ketiadaan peluru.

Suluh secara bahasa bermaksud “Obor” dengan demikian Strategi Suluhan bermaksud startegi perang dengan menggunakan obor. Yang dimaksud obor disini adalah obor untuk keperluan penerangan, dahulu apabila malam, orang Cirebon menggunakan Suluh/Oncor. Kala itu ciri khas keberadaan orang di malam hari dapat dilihat dari cahaya suluh yang dibawa.

Suluh/Oncor/Obor dimanfaatkan betul oleh pejuang, tentara Belanda yang siap sedia menghadapi perlawanan para pejuang di waktu siang, tidak dihiraukan para pejuang, mereka lari ke ke pedalaman hutan  sambil menunggu gelapnya malam. Ketika malam datang barulah para pejuang muncul untuk menghabisi Belanda.

Dalam rangka menghabisi Belanda, para pejuang membuat suluh atau obor-obor palsu. Ribuan obor sengaja diciptakan kemudian ditancapkan begitu saja,  sehingga dari kejauhan Belanda menganggap para pejuang akan melakukan penyerangan. Selain menggunakan obor palsu, para pejuang juga menangkap kunang-kunang sebanyak-banyaknya kemudian dilepaskan di sekitar suluh, sehingga dari jauh cahaya kunang-kunang dan obor palsu yang telah disediakan seolah-olah bergerak mendekati Belanda.

Belanda kemudian tanpa ampun menembaki sumber cahaya dengan meriam dan bedil, sementara disisi lain para pejuang membunyikan kentong, gendang serta meneriakan teriakan-teriakan seolah-olah mereka slamat dari tembakan meriam.

Manakala meriam Belanda kehabisan pelurunya, serta bunyi bedil tentara Belanda tidak terdengar lagi, barulah, para pejuang yang sebelumnya bersembunyi jauh dari suluh/obor, bergerak maju, mereka mengepung kemudian menyergap tentara Belanda, mereka membunuhi tentara Belanda yang sebetulnya dalam kondisi bingung dengan tembakan anak panah, sabetan golok hingga menghujaninya dengan bedil seadanya.

Kabar mengenai kekelahan telak Belanda oleh para pejuang sebetulnya tercatat dalam berita kolonial, Residen Cirebon dalam suratnya tanggal 30 Januari 1818 memberitahukan bahwa serangan umum pada kaum perlawanan ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1818 dan dengan optimis dia berkata “.. kita akan dapat segera mengetahui berhasilnya operasi militer itu.” Namun ternyata, serangan umum pada awal bulan Februari yang telah dipersiapkan dengan lengkap itu justru mengalami kekalahan karena adanya permasalahan pemegang komando yang kemudian berdampak buruk pada mental dan kedisiplinan pasukannya sebagaimana laporan Residen Cirebon tanggal 4 Februari 1818, yang menyebutkan bahwa pasukan mereka tidak bertahan karena “..sikap pengecut dari pasukan pribumi dan pasukan Madura yang sebagian besar melarikan diri sebelum melepaskantembakan”.

Kabar yang tersirat dalam laporan Residen Cirebon tanggal 4 Februari 1818 tentu tidak sepenuhnya benar, karena sebetulnya  tentara Belanda yang juga didalamnya terdapat tentara dari kalangan pribumi melarikan diri karena ketakutan selepas  peluru yang mereka miliki habis terbuang sia-sia akibat dari penggunaan strategi suluhan oleh para pejuang, sebab itulah sebagian diantara mereka lari tunggang langgang manakala disergap para pejuang.

Strategi Suluhan terbukti efektif diterapkan dalam pertempuran malam, oleh karena itu strategi ini slalu digunakan pejuang berkali-kali dan selama itu pula para pejuang selalu mendapatkan kemenangan, akan tetapi manakala strategi ini bocor, Belanda tidak lagi mampu dijebak oleh para pejuang. Dikemudian hari para pejuangpun menggunakan strategi perang lainnya yang tak kalah cerdasanya. Meskipun begitu Belanda tak kalah liciknya, sebab dalam rangka menghadapi perlawanan kaum santri itu Belanda mengancam akan mengebom makam Sunan Gunung Jati apabila para pejuang tidak menghentikan pemberontakannya.

Baca Juga: Makam Sunan Gunung Jati Gagal di Bom Belanda

Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon

Daftar Bacaan
[1]P.H. Van Der Kemp, 1979. Pemberontakan Cirebon Tahun 1818 Terj. B Panjaitan, Jakarta :Yayasan Idayu
[2]Opan Safari H., 2016. Perjuangan Ki Bagus Rangin Menentang Kolonial Belanda (1805-1818) (Menurut sumber-sumber tradision). Jurnal Tamaddun Vol. 4 Edisi 1 Januari – Juni 2016

Posting Komentar untuk "Strategi Suluhan Dalam Kecamuk Perang Kedongdong"