Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konflik Perebutan Tahta di Kerajaan Demak

Konflik perebutan tahta hampir terjadi di tiap-tiap kerajaan yang ada dan pernah berdiri di Nusantara, tidak terkecuali Kerajaan Demak. Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa inipun mengalami hal yang serupa.

Konflik perbutan tahta di Demak bermula dari wafatnya Pangeran Sabrang Lor (Pati Yunus) selaku Sultan ke II Demak, Pangeran Sabrang lor tidak memiliki putra. Sehingga ketika ia meninggal terjadi pertentangan dalam keluarga tentang siapa yang berhak naik tahta.

Agus Wahyudi dalam bukunya Joko Tingkir Joko Tingkir : Berjuang Demi Taktha Pajang (Hlm 84), sebetulnya selepas mangkatnya Pangeran Sabrang Lor yang berhak atas tahta adalah Pangeran Sekar, karena ia merupakan putra tertua Raden Fatah selepas Pangeran Sabrang Lor, namun putra ke tiga ini oleh Dewan Wali dan mayoritas Pembesar Demak dipandang kurang cakap atau kurang memenuhi syarat, sehingga Pangeran Trenggono-lah yang di angkat sebagai Sultan berikutnya. Pangeran Trenggono dipandang lebih cakap dalam menjalankan pemerintahan. Meski begitu keputusan tersebut ditentang oleh Sunan Kudus.

Sunan Kudus tidak puas dengan keputusan ini. baginya Pangeran Sekar sudah dizalimi. Menurutnya memang pangeran Sekarlah yang seharusnya menjadi Sultan pengganti Sabrang Lor. Atas putusan yang dianggap tidak menguntungkannya maka pangeran Sekar (dalam beberapa referensi juga disebut pangeran Kikin) telah menyiapkan taktik untuk menempatkan anaknya sebagai pengganti Sultan Trenggono nantinya. Anak Pangeran Sekar atau Pangeran Kikin bernama Arya Panangsang.
Arya Panangsang berguru kepada Sunan Kudus dan menjadi Murid kesayangannya. Arya Panangsang menjadi orang yang sakti luar biasa. Pangeran Sekar bangga kepadanya, dia tinggal tunggu waktu untuk menjadikan anaknya sebagai pengganti Sultan berikutnya.

Sultan Trenggono yang telah mencium gelagat buruk ini, menyiapkan strategi untuk mempertahankan kekuasaan dengan Sunan Prawata sebagai penggantinya. Maka keduanya melakukan langkah-langkah antisipasi untuk menangkal kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, yaitu naiknya arya panangsang sebagai Sultan.

Langkah awal yang dilakukan oleh Sunan Prawata adalah menyingkirkan musuhnya ini, maka persaudaraanpun punah oleh ambisi kekuasaan. Dengan dalih mengamankan Negara dan supaya umat tidak kacau maka pangeran Sekar dibunuh oleh Ki Surayata atas perintah Pangeran Prawata. Dia dibunuh di tepi Sungai setelah Sholat Jum’at.

Pembunuhan ini adalah awal dari pembunuhan yang beruntut pada peristiwa bunuh membunuh. Sepeninggal Sultan Trenggono, Raden Mukmin naik taktha namun keahliannya dalam berpolitik kurang mahir. Raden Mukmin lebih memilih hidup sebagai ulama ketimbang sebagai raja. Melalui tangan Raden Mukmin, pusat pemerintahan kota Bintoro dipindahkan ke bukit Prawata (desa Prawoto, Sukolilo, Pati), Jawa Tengah. Sejak itu, Raden Mukmin dikenal dengan sebutan Sunan Prawoto.
Dalam catatan Graaf  dalam bukunya Kerajaan Islam Pertama di Jawa (hlm 89) menyebutkan bahwa berdasarkan catatan Manuel Pintu dari Portugis, Sunan Prawoto pernah berencana meng-Islamkan seluruh Jawa dan ingin berkuasa seperti Sultan Turki. Selain itu, Sunan Prawoto berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makasar. Namun berkat bujukan Pinto, rencana Sunan Prawoto itu berhasil digagalkan.

Manuel Pinto berusaha supaya raja membuang pikiran tersebut karena khawatir kalau-kalau ekspedisi tentara Jawa akan merugikan Pastor Vicente Viegas yang pada waktu itu juga sedang berusaha memperkenalkan Agama Kristen di Sulawesi Selatan. Dari berita-berita Manuel Pinto, dapat ditarik kesimpulan bahwa Raja Jawa itu mengetahui sedikit mengenai perkembangan politik di Eropa. Pada tahun 1547 Sultan Sulaiman I telah mengkonsolidasikan penduduknya di daerah-daerah Hungaria dengan mengadakan perjanjian dengan Kaisar Karel V. Ia seorang pahlawan agama Islam.

Memang cita-cita Sunan Prawoto tidak pernah terlaksana. Sunan Prawoto lebih banyak menghabiskan waktu sebagai ahli agama ketimbang mempertahankan kekuasaannya. Hingga satu persatu daerah bawahannya, seperti : Banten, cirebon, Surabaya, dan Gresik berkembang bebas tanpa sepengendali pemerintahan Demak.

Menjelang akhir pemerintahannya, Sunan Prawoto dalam kelengahan. Arya Panangsang (berstatus sebagai Bupati Jipang) yang merupakan pesaing lama mulai berulah. Berkat perintah Sunan Kudus, Arya Panangsang berhasrat membunuh Sunan Prawoto melalui tangan Rangkud.

Suatu malam, Rangkud menyusup ke ruang peraduan Sunan Prawoto. Menikamkan pedang ke dada Sunan Prawoto hingga tembus ke tubuh Istrinya. Melihat Istrinya tewas bersimbah darah, Sunan Prawoto Geram, lalu melemparkan keris bethok ke dada Rangkud hingga tewas, seketika Sunan Prawoto juga Tewas. Sultan Prawoto meninggalkan seorang anak, ia adalah Arya Panggiri yang kemudian diasuh oleh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat setelah Dewasa Arya Panggiri menjadi menantu Hadiwijaya dan diberi kekuasaan wilayah Demak.

Nyi Kalinyamat akhirnya menahan dendam kepada Arya panangsang, untuk itu Nyi Kalinyamat meminta bantuan Jaka Tingkir atau Hadiwijaya sebagai iparnya untuk membalaskan dendamnya. Demi membalaskan kematian saudaranya Sunan Prawoto dan Suaminya yang ikut terbunuh juga oleh Arya Panangsang untuk melenyapkan pesaing menjadi Sultan Demak.

Akhirnya dengan Persekutuan antara Joko Tingkir, Ki Ageng Pamanahan, Raden Sutawijaya (Putra Ki Ageng Pamanahan) dan Ki Panjawi, maka Arya Panangsang Dikalahkan. Jaka Tingkirlah kemudian sebagai penerus Demak yang kemudian memindahkan kekuasaanya ke Pajang.
Konflik yang terjadi di Demak ternyata juga melibatkan wali Jawa, Sunan Kudus berpihak kepada Arya Panangsang sedangkan Sunan Kalijaga berada pada pihak Jaka Tingkir atau Hadiwijaya.

Posting Komentar untuk "Konflik Perebutan Tahta di Kerajaan Demak"