Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ratu Sengkaratna, Istri Sultan Cirebon Berdarah Prancis

Para Elang atau Pangeran dari jalur Keturunan Raja-raja Kesultanan Kanoman Cirebon ada yang berwajah Eropa, mereka percis sebagaimana orang Eropa pada umumnya, berkulit putih dan berambut pirang, hal ini terjadi bukan tanpa sebab, dahulu ketika Kesultanan Kanoman diprintah oleh Sultan Anom Komaruddin II, beliau memperistri anak Residen Cirebon yang kemudian hari dikenal dengan nama Ratu Sengkaratna. Namun pernikahan kedua Insan beda ras ini mulanya membuat geger Cirebon, hampir-hampir terjadi peperangan antara Kesultanan Kanoman dan Belanda.

Kisah Perkawinan antara Ratu Sengkaratna dengan Sultan Anom Komaruddin II dimulai ketika keduanya masih remaja. Pada tahun 1811 hingga 1858 Sultan Komarddin I naik tahta, beliau mempunyai seorang anak laki-laki tampan yang kemudian diangkat menjadi Putra Mahkota, nama kecilnya Pangeran Raja Nurbuat (Kelak Menjadi Sultan Anom Komaruddin II).

Sementara di sisi lain, pada kurun waktu yang sama, Belanda mengangkat Residen Cirebon baru bernama Jean Guillaume Landre, beliau merupakan Residen berdarah Prancis, disamping itu ia juga mempunyai seorang Putri yang juga menginjak remaja, namanya Nona Delamoor (Kelak dikenal dengan nama Ratu Sengkaratna).

Sebagaimana selayaknya seorang Residen, Jean Guillaume Landre mempunyai hubungan erat dengan penguasa lokal di Cirebon, termasuk dengan Sultan Kanoman, ia mempunyai hubungan kerja dengan Sultan, dan dalam beberapa waktu ia sering mendatangi Keraton untuk mendiskusikan kondisi Cirebon.

Setiap kali bertamu ke Keraton, Jean Guillaume Landre sering membawa anak gadisnya, peristiwa inilah yang kemudian menjadi sebab pertemuan Nona Delmoor dan Pangeran Raja Nurbuat. Karena seringnya bertemu,  timbul benih-benih cinta yang mucul diantara keduanya.

Seiring waktu berjalan, hubungan antara Nona Delmoor dan Pangeran Raja Nurbuat begitu sangat dekat, sehingga keduanya menjadi sepasang kekasih, namun hubungan percintaan diantara keduanya kebablasan sehingga Nona Delmoor hamil diluar nikah.

Ketika usia kandungan semakin membesar, Nona Delamoor terpaksa merahasikan kehamilannya pada ayahnya, ia sering mengurung diri di kamar.

Pada suatu ketika, ia menggugurkan kandungannya atas bantuan seorang dukun bayi, iapun membungkus janin yang sudah mati itu dengan kain yang serba indah dan memasukannya ke dalam Kandaga (Guci) sebelum akhirnya di hanyutkan ke laut. Namun mayat bayi itu ternyata ditemukan nelayan dan dikuburkan di sekitar mercusuar pesisir Cirebon.

Meskipun telah berhasil menghilangkan jejak kehamilannya, rasa cinta Nona Delamoor pada Pangeran Raja Nurbuat tidak pupus begitu saja. Sehingga kondisinya kian hari kian memburuk karena memikirkan pujaan hati ditambah efek aborsi yang baru ia lakukan, Nona Delamor terlihat pucat dan banyak mengurung diri di kamar.

Melihat ada kejanggalan pada putrinya, Jean Guillaume Landre mekasa putrinya untuk berterus terang dan menceritakan kejadian yang menimpanya.

Bagai disambar petir, ketika mengetahui putrinya melakukan aborsi dari hasil hubungan gelapnya dengan Pangeran Raja Nurbuat, Residen murka besar, sehingga ia menyiapkan polisi dan tentara Belanda untuk menyerbu Kanoman dan menangkap Pangeran Raja. Akan tetapi, niat Residen untuk menyerbu dan menangkap Putra Mahkota Kesultanan Kanoman dicegah oleh para petinggi Belanda yang lain.

Bagi mereka, melakukan penyerbuan dan penangkapan pada Putra Mahkota yang akan dilantik menjadi Raja dapat memantik perang besar, selain itu dengan melakukan hal tersebut masyarakat akan tahu jika Nona Delamoor hamil diluar nikah.

Saran para petinggi Belanda akhirnya diterima oleh Jean Guillaume Landre, iapun akhirnya mengawinkan anknya dengan Pangeran Raja Nurbuat demi menutupi aib di kedua belah pihak.

Pada tahun 1858, Pangeran Raja Nurbuat naik tahta, gelar yang disandangnya adalah Sultan Muhammad Komarudin II, sementara istrinya Nona Delamor digelari “Ratu Sengkartna” meskipun demikian kedudukan Ratu Sengkartna pada saat itu bukan sebagai permaisuri karena tidak dianggap sebagai keturunan darah biru dari kalangan Pribumi. Sultan Muhammad Komarudin II berpermaisurikan Ratu Raja Apsari, wanita inilah melahirkan Raja-Raja Kanoman selanjutnya.

Kisruh Perbutan Tahta Sepeninggal Sultan Muhammad Komarudin II


Masuknya Ratu Sengkartna kedalam Keraton berdampak pada masuknya budaya Eropa di lingkungan keraton, ratu ini tecatat sebagai orang pertama yang memperkenalkan dansa dan budaya Eropa lainnya di keraton sehingga banyak para pembesar kerajaan yang tidak suka padanya.

Buah pernikahan antara Ratu Sengkartna dengan Sultan Muhammad Komarudin II melahirkan seorang putra yang diberi nama “Pangeran Anta”, pangeran ini sangat mirip ibunya, kulitnyapun Putih sebagaimana kulit orang Eropa, ia juga berambut pirang. Sementara di sisi lain, buah pernikahan Sultan Muhammad Komarudin II dengan Ratu Raja Apsari juga melahirkan seorang putra yang bernama “ Pangeran Zulkarnaen”.

Pada tahun 1873, Sultan Muhammad Komarudin II wafat, meskipun yang menjadi Raja selanjutnya sudah jelas, yaitu anak Ratu Raja Apsari, akan tetapi Ratu Sengkartna yang didukung para pengikutnya ingin merajakan anaknya Pangeran Anta, sehingga kisruh perebutan tahta di Kesultanan Kanoman mencuat.

Para kerabat keraton Kanoman terpecah menjadi dua, ada yang mendukung Pangeran Anta ada pula yang mendukung Pangeran Zulkarnaen. Kisruh perbutan tahta ini tidak sanggup ditangani oleh Residen Cirebon, sehingga mereka meminta Gubernur Jendral Belanda di Batavia, namun Gubernur Jendral menolak ikut campur urusan tahta di Kesultanan Kanoman, serta menyerahkan masalah tersebut ke para pembesar kesultanan Kanoman.

Berdasarkan keputusan para pembesar Kesultanan, akhirnya ditetapkan bahwa Pangeran Zulkarnaen dinobatkan menjadi Sultan Kanoman selanjutnya, meskipun demikian untuk menghibur pihak Ratu Sengkartna, para pembesar kerajaan juga memberikan setengah kekayaan Sultan Muhammad Kamarudin II kepada mereka. Dari kekayaan yang di dapat Pangeran Anta kemudian membuat kediaman khusus di sebelah barat Siti Hinggil, sekarang tempat tersebut menjadi Perguruan Taman Siswa.

Seiring waktu berjalan, makam anak hasil hubungan gelap antara Ratu Sengkaratna dan Sultan Kamarudin II yang dahulu dikuburkan di Mercusuar pantai Cirebon diketahui masyarakat, sehingga ketertiban pelabuhan Cirebon yang sibuk menjadi terganggu karena banayak rakyat yang menjiarahinya. Pada tahun 1921, ketika Cirebon diubah statunya menjadi Gamentee Cheribon, makam tersebut dipindahkan ke Jalan Kesambi, kini makam tersebut dikenal dengan nama “Makam Jabang Bayi”.

Baca Juga: Makam Jabang Bayi, Saksi Bisu Kisah Cinta Pangeran Raja Kanoman dan Nona Delamor

Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon

4 komentar untuk "Ratu Sengkaratna, Istri Sultan Cirebon Berdarah Prancis"

  1. Menurut hemat saya, sejarah tentang Kerajaan Cirebon dan kisah-kisah baik itu yang romantis, kepahlawanan, dan babad, seyogyanya di pertimbangkan untuk di film kan, dibuat sinetron dan juga diterbitkan berupa buku kemudian dipublikasikan, sehingga masyarakat Cirebon khususnya, masyarakat Indonesia serta Dunia, menjadi tahu, tentang Cirebon.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat. Jaka sembung adalah contoh film berlatar belakang kerajaan cirebon. Indramayu saat itu berada di bawah cirebon. film ini cukup sukses.

      Hapus
  2. Sangat setuju untuk pembuatan filem atau sinetron tentang sejarah kerajaan Cirebondan masuknya budaya Prancis (Barat) sejak tahun 1811-1858 di Cirebon. Pada saat itu hal tersebut sangat sensasional namun sekarang sudah biasa biasa saja terbukti saya sendiri memiliki keturunan dari dua pernikahan wanita Swedia (alm.) dan kedua wanita Perancis yang masih berjalan sampai sekarang. Namun sejarah tersebut bagaimanapun sangat menarik perhatian kami seluruh keluarga .
    .

    BalasHapus

Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.