Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perang Sunda Vs Majapahit Ternyata Berlangsung di Brebes

Sebelum Perang Bubat (1357), sebagaimana dikabarkan dalam Kidung Sunda, bahwa Majapahit sebelumnya pernah melakukan Invasi ke Sunda, namun dihadang diperbatasan oleh tentara Sunda, menariknya orang-orang yang melulu lantakan tentara Majapahit itu disebut sebagai orang Jipang, tentu Jipang yang dimaksud dalam Kidung Sunda itu bukan Jipang Panolan Negerinya Arya Penangsang, melainkan suatu daerah yang letaknya di Perbatasan Sunda-Jawa era itu (Sebelum 1357). 

Rupanya setelah ditelusuri daerah yang disebut Jipang itu berada di Kota Brebes, kota yang dahulu menjadi Perbatasan wilayah Sunda dan Jawa. 

Sumber sejarah mengenai perang Sunda dan Majapahit sebelum peristiwa Bubat memang Kidung Sunda, namun yang perlu dipahami adalah bahwa Kidung Sunda bukan Naskah buatan orang Sunda apalagi berbahasa Sunda, naskah tersebut adalah naskah yang dibuat oleh orang Jawa dan tentunya berbahasa Jawa. 

Menurut hasil penelitian para Fiolog dan Para ahli sejarah, bahwa Kidung Sunda adalah naskah Jawa pertengahan, penulisnya tidak diketahui (dicantumkan). Naskah ini ditemukan di Bali, sebelum akhirnya menjadi bahan penelitian dan disebarluaskan. 

Naksah Kidung Sunda adalah syair (kidung) Jawa yang mengisahkan mengenai putri Sunda yang  gagal menjadi Istri Raja Majapahit, yang mana didalamnya dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda. 

Namun, Patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit. Kemudian terjadi pertempuran yang tidak seimbang antara rombongan pengantin Sunda dengan prajurit Majapahit dipelabuhan tempat berlabuhnya rombongan Sunda. Dalam pertempuran yang tidak seimbang rombongan Kerajaan Sunda dibantai dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.

Perang Sunda-Majapahit

Naskah Kidung Sunda yang menginformasikan mengenai Invasi Majapahit ke Sunda sebelum tragedi terbunuhnya Raja dan Putri Sunda itu tertulis dalam cuplikan ketika Patih Sunda memaki-maki Gajah Mada. Demikian alih aksara dan terjamahnya;

Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.

Terjamah: (Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? (Tidak) sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang)

Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.

Terjamah : (Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur)

Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.

Terjamah: (Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup)

Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.

Terjamah: (Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati)

Berdasarkan kandungan sebagian isi Kidung Sunda sebagaimana cuplikan yang telah diuraikan, maka kesimpulannya adalah (1) Majaphit-Sunda pernah berperang sebelum tragedi Bubat (Invasi Majapahit) (2) Wilayah perang di pegunungan (bukit), (3) Tentara Sunda yang memburu tentara Majapahit adalah orang Jipang (4) Invasi Majapahit dipimpin oleh panglima (Mantri) Les dan Baleteng (5) Majapahit kalah. 

Orang Jipang dan Desa Jipang

Orang Jipang yang dimaksudkan dalam Kidung Sunda sepertinya merujuk pada orang-orang Sunda yang berasal dari Desa Jipang, desa ini sekarang terletak di Kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes Jawa Tengah. 

Desa Jipang yang masuk wilayah Kec Bantarkawung, secara geografis berbatasan dengan Desa Sindangwangi, Terlaya, Ciomas dan Bantarwaru, yang menjadi menarik adalah wilayah Kec Bantarkawung termasuk didalamnya Desa Jipang meskipun letaknya berada di wilayah Kab Brebes, sebagian besar (Mayoritas) masyarakatnya masih mengamalkan dan berbahasa Sunda hingga sekarang. 

Selain itu, desa Terlaya, secara nama apakah mungkin dahulunya bernama Pralaya ? (Kekacuan) jika dahulunya bernama demikian dimungkinkan penamaannya terinspirasi dari Susana invasi yang pernah dilakukan oleh Majapahit, yaitu dalam kondisi kacau. 

Tidak sampai situ saja, sebagaimana yang dipahami dari peta dan kondisi geografisnya, bahwa wilayah Kecamatan Bantarkawung terletak di selatan Brebes, adapun ketinggiannya adalah kurang 500 Meter dari permukaan laut, hal ini berarti daerah Bantarkawung adalah daerah perbukitan (Pegunungan kecil). Hal ini cocok dengan apa yang di informasikan oleh Kidung Sunda bahwa peperangan Sunda Vs Majapahit yang mana sebagain tentara Sunda yang terdiri dari orang Jipang itu berlangsung di wilayah pegunungan atau perbukitan. 

Penjelasan dalam bentuk Vidio dapat anda saksikan pada Vidio berikut ini:

Baca Juga: Perang Majapahit Vs Sunda Sebelum Perang Bubat

Penulis : Bung Fei

4 komentar untuk "Perang Sunda Vs Majapahit Ternyata Berlangsung di Brebes"

  1. politik sll tdk terhindari dr berbagai sendi kehidupan, peristiwa bubat bknlah kelicikan gadjah mada tp sbg protap kemiliteran yakni menjaga kewaspadaan, krn para pengiring membawa senjata lengkap dan masuk kejantung negara, shg kluar kebijakan senjata hrs ditaruh bkn dilucuti, itupun sdh melakukan konsultasi kpd sang maharaja, krn bibit kecurigaan berbalut jaga kehormatan, yg sblmnya sdh prnh terjadi clash, ada cekcok kecil yg kmd jdi api besar.. semuanya dgn narasi Jaga Harga Diri.. dn sejarah selalu berkembang dg 'persepsi' dan 'opini'.. dan itu sdh takdir bangsa ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak seperti itu ,jelas rombongan pengantin untuk rajanya,adapun prajurit Sunda wajar bersenjata mengawal putri dan rajanya

      Hapus
  2. Artikel ini cukup memberi penjelasan atas keheranan sy selama ini. Sy sangat sering main ke rumah teman yg tinggal di desa Cimadil dan desa Ciomas, Bantar Kawung. Dimana, semua warga penduduk dikedua desa itu berbicara menggunakan bahasa Sunda. Padahal, lokasi kedua desa itu sangat berdekatan dengan kota Bumiayu yg semua warganya bicara dalam bahasa Jawa.

    BalasHapus
  3. Ijin Pak, saya tertatik dengan tulisan ini, ...ijin bolehkah saya kutip untuk saya tulis di media lain?

    BalasHapus

Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.