Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

5 Raja Pajajaran Setelah Prabu Siliwangi

Selepas Prabu Siliwangi wafat pada 1521 Masehi, Pajajaran masih menelurkan lima Raja sebelum akhirnya runtuh pada tahun 1579 Masehi. Adapun pemaparan mengenai Raja Pajajaran Setelah Prabu Siliwangi adalah sebagai berikut:

Raja Pajajaran Setelah Prabu Siliwangi

Prabu Surawisesa, Raja Pajajaran Setelah Prabu Siliwangi Pertama

Prabu Surawisesa adalah Raja Pajajaran kedua, ia menggantikan kedudukan ayahnya Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) Prabu Surawisesa menjadi Raja Pajajaran dari mulai tahun 1521 hingga 1535 Masehi. Dizaman pemerintahannya, Pajajaran banyak terlibat peperangan denga Cirebon dan Demak yang tidak setuju atas sikap Pajajaran yang mengizinkan Portugis membuat benteng di Pelabuhan Sunda Kalapa (Jakarta)

Ratu Dewata, Raja Pajajaran Setelah Prabu Siliwangi Kedua

Selepa wafatnya Prabu Surawisesa, Pajajaran diperintah oleh Ratu Dewata, Raja ini digambarkan sebagai Raja yang tidak cakap dalam politik, Raja Pengganti Surawisesa juga dikenal sebagai Raja yang lebih banyak mendalami ilmu agama ketimbang bertindak sebagai Raja. Pada Raja ini pula Pajajaran tercatat mengadakan Sunatan (Khitanan pra Islam) yang memang sudah menjadi adat kebiasaan orang Sunda sejak dulu. Ratu Dewata menjadi Raja Setelah Prabu Siliwangi kedua, beliau memerintah dari mulai tahun 1532 hingga tahun 1535-1543 Masehi.

Ratu Sakti, Raja Pajajaran Setelah Prabu Siliwangi Ketiga

Ratu Sakti adalah Raja Kerajaan Pajajaran keempat menggantikan Ratu Dewata, Ratu Sakti berkuasa selama 8 tahun dari mulai tahun 1543 M hingga 1551 M. Kemudian ia dikudeta dari takhta dan digantikan oleh Nilakendra yang pada waktu itu berkuasa dari tahun 1551 M hingga 1567 M.

Menurut Carita Parahiyangan sosok Kaliyuga atau Ratu Sakti pada masa Nilakendara yang ditandai dengan adanya keadaan masyarakat yang semakin tidak terkendali. Banyak dari orang pedalaman yang jaraknya jauh dari Kerajaan Pajajaran melakukan kejahatan dan kemaksiatan. Namun jika diurut dari masalahnya, tentu kejadian ini muncul di waktu Ratu Sakti menjabat sebagai raja, sedangkan Nilakendra hanya berbentuk kondisi lanjutan yang mengarah pada zaman pralaya (jahiliah).

Carita Parahiyangan menuliskan, "Aja tinut de sang kawuri polah sang nata" (Janganlah ditiru kelakuan raja ini oleh mereka yang kemudian menggantikan).

Masa pemerintahan Ratu Sakti, kondisi kerajaan terbilang bobrok, karena meskipun jelas-jelas kerajaan dalam kondisi carut marut, Ratu Sakti justru tidak memperhatikan rakyat, ia gemar mabuk-mabukan dan berfoya-foya.

Ratu Nilakendra, Raja Pajajaran Setelah Prabu Siliwangi Keempat

Ratu Nilakendra atau Tohaan Dimajaya merupakan raja kelima Kerajaan Pajajaran. Ratu Nilakendra memimpin Kerajaan Pajajaran selama 15 tahun, yakni dimulai wafatnya Ratu Sakti 1551 M hingga 1567 M.
Sedari pemerintahan Ratu Sakti, sebenarnya Kerajaan Pajajaran sudah ditimpa masalah kompleks, mulai masyarakat yang sudah tidak percaya lagi dengan pemerintahan seorang raja Ratu Sakti, kemaksiatan dan kejahatan semakin banyak, dan masyarakat mengalami kelaparan sebab Kerajaan Pajajaran tidak menyuplai kebutuhan pokok. 

Ciri khas sifar yang dimiliki Ratu Sakti adalah suka mabuk-mabukan jauh dari agama serta tidak memedulikan tatanan hokum negara, sehingga tidak sedikit rakyat yang membangkang, Ratu Sakti juga dikisahkan memiliki moral buruk. Ia terkenal memberlakukan hukum semena-mena terhadap masyarakat kecil, yakni dengan menghukum mati penduduk, merampas harta masyarakat tanpa alasan yang pasti. Ratu Sakti juga dicap sebagai raja yang berani melanggar adat keraton sebab telah mengawini seorang putri larangan dari keluaran yang dilarang adat secara keras. Bahkan ulahnya yang paling parah adalah dengan memperistri ibu tirinya sendiri.

Raga Mulya, Raja Pajajaran Setelah Prabu Siliwangi Kelima

Raga Mulya merupakan raja terakhir Kerajaan Pajajaran. Ia menjabat sebagai raja selama 12 tahun yaitu dari Tahun 1567 M hingga 1579 M. Dalam Naskah Wangsakerta sosok Raga Mulya disebut sebagai Prabu Suryakencana sedangkan dalam Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Nusya Mulya.

Raga Mulya menjadi Raja pelarian dengan berkedudukan di Suryakancana (Pandai Gelang), oleh karena itu ia juga dikenal sebagai Prabu Suryakencana atau Panembahan Pulasari.

Pulasari terletak di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari. Menurut Pusaka Nusantara III dan Krethabumi I disebutkan bahwa "Pajajaran sirna ing ekadasa suklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ilang Sakakala" (Pajajaran runtuh pada tanggal sebelas bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka).

Tanggal sebelas bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka bertepatan pada 8 Mei 1579 M. Dari Naskah Banten telah memberitakan secara jelas mengenai keberangkatan Pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan Pajajaran dalam puluh kinanti yang artinya, "Waktu keberangkatan itu terjadi pada bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".

Walaupun tahun Alif baru digunakan Sultan Agung Kerajaan Mataram pada tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun keruntuhan Pakuan 1579 M ini memang akan jatuh pada tahun Alif. Kekeliruan hanya hinungan hari, sebab dalam periode tersebut, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu. 

Hal terpenting dalam Naskah Banten adalah memberitakan bahwa benteng yang ada di Kerajaan Pajajaran mengelilingi ibu kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya pengkhianatan. Komandan yang selalu menjaga benteng di Pakuan merasa sakit hati karena telah diabaikan.

Selama ia menjabat tidak pernah mendapat gelar yang mendorong pangkatnya naik. Ia adalah saudara Ki Joglo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Di waktu tengah malam, Ki Joglo bersama beberapa pasukan mencoba menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu. Hal ini membuktikan betapa kokohnya benteng pertahanan Kerajaan Pajajaran yang dibuat era Siliwangi. 

Semasa meninggalnya Nilakendra, Kerajaan Pajajaran mengalami kekosongan kekuasaan, tetapi tetap saja musuh tidak mampu menembus benteng pertahanan tersebut. Untuk menembusnya, mereka harus menggunakan cara yang halus.

Masa berakhirnya Kerajaan Pajajaran (1482-1579), ditandai dengan diboyongnya Palangka Srimann Snwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. 

Batu yang berukuran 200x160x20 cm ini terpaksa diboyong ke Banten karena budaya politik pada waktu in mengharuskan melakukan cara demikian. Pertama, dengan dipindahnya Palangka tersebut, di Pakuan sudah tidak ada lagi penobatan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf melegitimasi dirinya menjadi seorang penerus kekuasaan Pajajaran yang sah. 

Karena buyut perempuannya adalah putri dari Sri Baduga Maharaja, sementara di sisi lain seluruh atribut dan perangkat kerajaan secara resmi telah diserahkan kepada Kerajaan Sumedang Larang melalui empat Kandaga Lante.

Dalam Carita Parahiyangan disebutkan: "Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwa Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri ratu Dewata" (Sang Susuktunggal ialah yang membuat takhta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata). 

Istilah "palangka" secara umum memiliki arti tempat duduk (dalam bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara kontekstual bagi Kerajaan Pajajaran adalah "takhta", Dalam hal ini, takhta tersebut melambangkan tempat duduk khusus yang diperkenankan pada upacara penobatan seorang raja. Di atas palangka itulah calon raja diberkati dengan berbagai prosesi upacara oleh pendeta tertinggi.

Tempat palangka berada di kabuyutan kerajaan, bukan di dalam istana. Sesuai dengan budaya Pajajaran, takhta tersebut dibuat dari batu dan diasah hingga halus mengkilap. Kemudian diberi bahan tertentu yang fungsinya menjadikan batu tersebut serasa memiliki kesakralan tersendiri. 

Dari penduduk asli Sunda, menyebut batu ini sebagai batu pangcalikan atau batu ranjang. Batu Pangcalikan sekarang bisa ditemukan di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sedangkan batu ranjang dengan kaki yang diukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang. Letaknya di kawasan petakan sawah yang terjepit pohon. 

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini berada di depan bekas keraton Surasowan di Banten. Karena wujudnya yang mengkilap dan berbeda dengan batu lainnya, banyak orang Banten menyebutnya watu gigilang. Istilah gigilang artinya berseri atau mengkilap, sama dengan arti kata sriman.

Posting Komentar untuk "5 Raja Pajajaran Setelah Prabu Siliwangi"