Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ringkasan Perjuangan Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro atau yang mempunyai nama asli Ontowiryo adalah putra Hamengkubwono III, Sultan Yogyakarta ketiga, Ontowiryo lahir pada 11 November 1875 dari seorang selir yang bernama Mangkrawati. Dikemudian hari Pangeran Diponegoro dikenal sebagai Pangeran yang melakukan pemberontakan pada Kesultanan yang menurutnya sudah menjadi kaki tangan Belanda. Perjuangan Pangeran Diponegoro ini dikenal dalam sejarah sebagai perang Jawa, salah satu perang terbesar di Jawa zaman Kolonial Belanda. 

Ringkasan Perjuangan Pangeran Diponegoro dapat dimulai dari kisah kewafatan ayahandanya Hamengkubwana III. Selepas wafatnya Hamengkubwono III (1822), kedudukan  Sultan Yogyakarta belum dapat digantikan oleh putra mahkota, karena waktu itu Hamengkubwana IV masih berumur 3 tahun, oleh karena itu kekuasaan tertinggi Sultan dilimpahkan kepada  para Wali Sultan, dan salah satu yang menjabat sebagai wali Sultan adalah Pangeran Diponegoro, namun dalam mengurusi jalannya pemerintahan, Kesultanan Yogyakarta dijalankan oleh Patih Danurejo. 

Meskipun Wali Sultan kedudukannya lebih tinggi dibandingkan Patih karena merupakan pengganti Raja sebelum dewasa, pada prakteknya Patihlah yang dominan, beberapa Wali Kerajaan seperti menurut saja pada Patih mengingat Patih Danurejo kala itu sangat dekat sekali dengan Belanda.

Kian hari, kelakuan Patih Danurejo yang disokong oleh Belanda kian merusak adat istiadat keraton dan agama Islam. Patih bahkan tidak segan-segan bermabuk-mabukan dan menggelar pesta dansa di Keraton. Selain itu, kebijakan Patih juga cenderung menyengsarakan rakyat Yogyakarta. Oleh karena itu sebagai salah satu Wali Kesultanan, Pangeran Diponegoro pada mulanya mengkritik hebat Patih, akan tetapi kritikan tersebut tidak diacuhkan, bahkan Pangeran Diponegoro disengsarakan oleh Patih, terbukti dari dirampasnya tanah leluhur milik Pangeran Diponegoro oleh Patih Danureja atas perintah Belanda. 

Selepas Kesultanan dan Belanda merampas tanah Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, secara terbuka Pangeran Diponegoro memproklamirkan pemberontakan, tindakan Pangeran Diponegoro tersebut rupanya didukung oleh rakyat sehingga dalam masa yang singkat Pangeran Diponegoro memperoleh banyak pengikut. 

Perjuangan Pangeran Diponegoro

Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang, kerugian pihak Belanda sangat besar, tidak kurang dari 15.000 tentara Belanda tewas dan 20 juta gulden telah dikeluarkan Belanda untuk biaya perang. 

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. 

Pada akhirnya, Belanda dapat menangkap Pangeran Diponegoro dengan jebakan perundingan, Pangeran Diponegoro ditangkap pada 1830 oleh Belanda ketika menghadiri acara perundingan yang digelar oleh Belanda.

Selanjutnya, selepas ditangkap tepatnya pada tanggal 11 April 1830, Pangeran Diponegoro dikirim di Batavia, ia ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian hukuman dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 

Pada tanggal 30 April 1830 keputusan hukum untuk Pangeran Diponegoro keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno diputuskan dikenakan hukuman buang, mulanya mereka dibuang ke Manado. 

Pada tanggal 3 Mei 1830 Pangeran Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

Selanjutnya, pada tahun 1834 Pangeran Diponegoro dipindahkan ke banteng Rotterdam Makassar (Sulawesi Selatan). Selepas melalui penderitaan akibat hukuman buang dan penjara, akhirnya Pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat, sang Pangeran kemudian dimakamkan di kampung Jawa Makassar.

Selama hidupnya, Pangeran DIponegoro tercatat memiliki 9 orang istri, dan dari sembilan istrinya itu melahirkan 22 orang anak. 

Baca Juga: Anak dan Istri Pangeran Diponegoro

Posting Komentar untuk "Ringkasan Perjuangan Pangeran Diponegoro"