Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asal-Usul dan Pelaksanaan Tradisi Syawalan di Cirebon

Salah satu tradisi yang masih lestari di Kota Cirebon adalah tradisi Syawalan. Tradisi ini dilkasnakan pada setiap tanggal 8 syawal, atau seminggu setelah hari raya idul fitri. Tidak diketahui secara pasti mulai kapan tradisi Syawalan dilaksanakan di Cirebon, akan tetapi karena tradisi ini dilaksanakan oleh para kerabat keraton, ada kemungkinan tradisi ini telah dilaksanakan sepeninggal Sunan Gunung Jati.

Pelaksanaan Tradisi syawalan mula-mula dilakukan oleh keluarga keraton Kanoman, mereka umumnya berkumpul pada 7 syawal mereka semuanya berkumpul antara satu kerabat dengan kerabat lainnya, kemudian pada tanggal 8 syawal barulah diadakan kegiatan puncak syswalan. Selain dilaksanakan dan digagas oleh Pihak Keraton, tradisi syswalan ini juga sudah menjadi kebiasaannya dinanti-nantikan oleh masyarakat Cirebon dari zaman ke zaman, karena masyarakat Cirebon pada umumnya mendapatkan keberkahan dari diadakannya tradisi Syawalan. 

Acara puncak Syawalan, dilaksanakan di komplek pemakaman Gunung Jati dan Gunung Sembung. Pada acara puncaknya digelar berbagai acara seperti tahlilan, shadaqoh dan lain sebagainya. 

Mula-mula Tradisi ini diisi dengan ziarah dan do’a bersama yang dipimpin oleh Sultan. Selain itu, ada acara tambahan yang seringkali dilakukan oleh masyarakat setelah syawalan bersama Sultan berlangsung, yaitu tradisi mandi tujuh sumur yang berada di komplek Makam Sunan Gunung Jati. 

Sebelum upacara tradisi Syawal dilaksanakan, para keluarga Keraton sudah melaksanakan puasa sunnah bulan Syawal selama enam hari. Tanggal 8 bulan Syawal dimana acara ini dilaksanakan, para pengunjung yang datang dari berbagai tempat bisa memasuki bangunan utama. Mereka akan membawa oleh-oleh berupa hasil bumi atau uang kepada pengurus yang akan diterima di bagian Pakemitan. Sebagai gantinya, peziarah akan mendapatkan gabah, padi atau minyak yang sudah dibungkus dalam plastik serta air. 

Pengunjung dan peziarah berebut tempat memadati kompleks makam. Tempat yang paling banyak diincar oleh peziarah adalah Lawang Gede (Lawang Gede adalah batas dimana peziarah bisa masuk, selain Sultan dan keluarganya, masyarakat biasa dilarang memasuki pintu Lawang Gede), atau Pintu Pasujudan, dimana Sultan akan lewat ke sana. Sehingga ketika sultan lewat mereka bisa bersalaman dengan Sultan.

Tahlilan dalam Tradisi Syawalan (Grebeg Syawal) Cirebon

Sultan dan Keluarga kemudian masuk ke dalam Lawang Gede yang dibuka oleh Bekel Sepuh. Kunci dibuka sampai pintu ke sembilan menuju makam Sunan Gunung Jati, yang biasanya tidak pernah dibuka untuk hari-hari biasa. Setelah Sultan sampai di makam Sunan Gunung Jati, kemudian tahlil dimulai oleh semua pengunjung dan peziarah.

Tahlilan dilakukan sebanyak lima kali lamanya kurang lebih empat jam. Banyak dari penziarah yang melakukan tahlilan secara berkelompok dengan rombongan mereka. Hal ini dikarekan tidak kondusifnya peziarah saat tahlilan berlangsung, karena saat itu juga, banyak peziarah yang mengelilingi Lawang Gede (Dilakukan seperti sedang tawaf) dengan tidak teratur.

Setelah selesai melaksanakan tahlilan, Sultan dan yang lainnya turun menuju pendopo dan menyantap hidangan yang sudah disediakan di sana.

Makanan tersebut dibuat oleh Jeneng (Pemimpin utama organisasi Warga Kraman) dengan nasi dan empal (Opor makanan khas Cirebon) serta minuman dan buah-buahan. Sultan dan kerabatnya tidak banyak menyentuh nasi, mereka lebih banyak makan buah-buahan. Hal ini karena nantinya nasi sisa makan Sultan dan keluarganya akan dibagi-bagikan kepada peziarah.

Setelah acara curak selesai, Sultan dan kerabatnya kembali ke makam utama dan melakukan tahlilan penutup sebagai tanda permisi atau pamit kepada Sunan Gunung Djati.Kali ini tahlilan dilakukan di depan Lawang Gede, dan masyarakat bisa ikut bersama-sama tahlilan dengan Sultan. Selesai tahlilan, Sultan dan kerabatnya pergi dari komplek pemakaman. Selesailah prosesi upacara Syawalan yang dipimpin oleh Sultan.

Pada tahap selanjutnya, masing-masing masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu boleh menggelar tahlilan bersama kelompoknya, biasanya pelaksanannya dilakukan oleh orang-orang yang datang dari daerah tertentu, misalnya orang dari desa tertentu maka ia akan menggelar tahlilan di makam Ki Gede desa mereka masing-masing yang kebetulan makamnya juga terdapat di komplek pemakaman Sunan Gunung Jati. 

Sumber Artikel: Disadur dari Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Volume 13, Nomor 1, Juni 2017. Karya Afghoni

Posting Komentar untuk "Asal-Usul dan Pelaksanaan Tradisi Syawalan di Cirebon"