Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemberontakan Petani Indramayu Terhadap Penjajah Jepang

Sebelum membahas mengenai Pemberontakan petani Indramayu terhadap penjajah Jepang, alangkah lebih baiknya penulis menguraikan terlebih dahulu mengenai asal-mula kenapa mayoritas rakyat Indramayu berpencaharian sebagai petani Padi. Padahal seharusnya rakyat Indramayu mestinya berpencaharian sebagai nelayan, karena memang daerah ini merupakan daerah pesisir lagipula pertanian di daerah ini irigasi pengairanya mengandalkan curah hujan dan sungai-sungai yang ada diwilayah itu. Demikian sebabnya:

Pada tahun 1628-1629 Kesultanan Mataram yang pada waktu dipimpin oleh Sultan Agung menyerang Batavia dengan kekuatan penuh, persenjataan lengkap dan moderen dizamanya, Blanda pun sebenarnya tidak berkutik melawan serangan ini, mereka hanya bertahan dibalik tembok tebal kota Batavia.

Andai saja panglima tertinggi Kesultanan Mataram itu yang sejaligus sebagai Sultan Mataram itu tidak wafat, maka dipastikan Belanda akan terusir dari pulau Jawa, tapi itulah takdir.

Serangan Mataram ke Batavia, direncanakan dengan sangat matang, untuk urusan logistik (Makanan) sebelum penyerangan ke Batavia, Mataram membangun lumbung-lumbung padi disepanjang Indramayu, Subang sampai dengan  Karawang.

Pembuatan lumbung-lumbung padi di sepanjang Indramayu-Karawang itu dilakukan dengan cara membabat hutan dan menggantikannya dengan tanaman padi. Inilah mengapa sampai sekarang Indramayu, Subang dan Karawang menjadi lumbung padi Nasional, teknik dan ilmu pertanian khususnya padi diyakini merupakan peninggalan Mataram.

Kita kembali ke masalah Pemberontakan Petani di Indramayu.

Sebagaimana asal-usul mengenai keberadaan lumbung padi di atas, dapatlah dipahami bahwa kemajuan atau ilmu pertanian khusuanya dalam mengelola padi di dapat dari orang-orang Mataram.

Setelah berabad-abad kemudian, ternyata lumbung-lumbung padi di Indramayu terus dikelola oleh masyarakat, bahkan jumlahnya kian luas dan bertambah, menjalar keseluruh desa-desa yang ada di Indramayu. Inilah sebab kenapa Indramayu manta pencaharian rakyatnya di dominasi oleh Petani Padi.

Pada masa pendudukan Jepang, rakyat Indramayu yang mayoritas sebagai petani padi itu, pernah melakukan sebuah pemberontakan besar yang cukup membikin repot Jepang.

Kisah itu bermula pada tanggal 3 Maret 1942 tersiar kabar melaui radio, Jepang mendarat di Eretan Wetan (Wilayah Indramayu).

Sebenarnya pendaratan itu dilakukan pada tanggal 1 Maret 1942, akan tetapi karena komunikasi antara Eretan Wetan dengan kota Indramayu terputus, maka berita pendaratan baru sampai di Indramayu pada tanggal 3 Maret 1942.

Berita pendaratan Jepang di perkuat dalam Djawa Baroe halaman 3 tahun 1942 atau tanggal 2 Maret Juitigatu 2602. Dengan cepat Jepang menaklukan pangkalan-pangkalan militer Belanda. Beberapa kali tentara Belanda mencoba merebutnya kembali namun tidak berhasil.

Pada Tanggal 7 Maret 1942 pemerintah Belanda di wakili oleh Gubernur Jendral Carda Van Starkenborg dan Jendral Ter Poorten menandatangani penyerahan tanpa syarat kepada Jepang.

Sejak Itu Wilayah Indramayu resmi menjadi wilayah kekuasaan Jepang. Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, dan secara otomatis seluruh wilayah Indonesia yang masuk ke dalam wilayah Belanda mutlak menjadi kekuasaan Jepang.

Adapun para sedadu Jepang yang mendarat itu adalah Divisi ke tiga puluh delapan di bawah pimpinan Kolonel Shoji mendarat di Eretan Indramayu, Jawa Barat yang di ikuti oleh kelompok penyerangan ke lapangan udara Kalijati Subang, Jawa Barat.

Pemberontakan Petani di Indramayu bermula dari perampasan logistik berupa beras, padi, oleh tentara Jepang secara paksa, sehingga para petani di Indramayu merasa berkebaratan dan emosi. Dari peristiwa itulah kemudian selanjutnya meletus pemberontakan atau perlawanan petani Indramayu melawan Jepang di Indramayu.

Jalannya perlawanan terhadap Jepang tetsebut terbilang sengit, pemberontakan dan perlawanan terhadap pemerintah penjajah Jepang di pimpin oleh para ulama Indramayu.

Menurut Aiko Kurisawa (1993:474) para penggerak pemberontakan itu adalah Kiai Sualaiman, Kiai Srengseng, H. Akhsan, Kiai Abdul Ghani (Kaplongan), Kiai Madrais (Cidempet), Kiai Muktar (Kertasmaya), Tasiah (Pranggong), Haji Dulkarim (Panyindangan Kidul), Sura (Sindang) dan Karsina ( Slijeg).

Perlawanan terhadap Jepang ini dilakukan secara besar-besaran, menyebar ke pelosok-pelosok desa di Indramayu. Namun dengan persenjataan yang unggul pemberontakan dan perlawanan para petani tetsebut kemudian dapat ditumpas oleh Jepang. 

Desa-desa yang ditenggarai sebagai markas perlawanan dibakar habis, sehingga kemudian para pemberontak yang selamat menyelamatkan diri ke hutan. Sampai tersingkirnya Jepang dari Indonesia karena menyerah tanpa syarat pada sekutu sebenarnya para petani yang berontak itu masih melakukan perlawanan secara grilya.

Baca Juga: Keadipatian Indramayu, Masa Pendirian, Kejayaan Dan Kemundurannya