Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perlindungan Perempuan Dalam Undang-Undang Hukum Majapahit

Teraturanya sistem pemerintahan di Majapahit, hingga kemudian membawa Kerajaan itu menjadi besar ditopang oleh Undang-Undang yang dibuat oleh Kerajaan.

Undang-undang tersebut dinamakan Kutaramanawa atau lengkapnya Kutaramanawa Dharmasastra. lsi kitab tersebut ada yang berkenaan dengan hukum pidana dan perdata.

Berkenaan dengan perlindungan wanita dibahas dalam beberapa bab dan pasal diantaranya pada pasal 108, 192 dan pasal 207. Dalam pasal-pasal ini jelas bahwa Wanita di Majpahit mempunyai kedudukan terhormat, jangankan menganiyayanya, mencolek saja jika wanita yang bersangkutan menjerit hukumanya berat.
Ilustrasi Wanita Kuno dalam Ukiran Candi
Kutaramanawa didalamnya berisi berbagai macam aturan, diantaranya tentang ketentuan denda, delapan macam pembunuhan (astadusta), perihal hamba (kawula), delapan macam pencurian (astacorah), pemaksaan (sahasa), jual beli (adol-atuku), gadai (sanda), hutang-piutang (autang-apihutang), perkawinan (kawarangan), perbuatan asusila (paradara), warisan (drewe kaliliran), caci-maki (wakparusya), perkelahian (atukaran), masalah tanah (bhumi) dan fitnah (duwilatek).

Kitab perundang-undangan tersebut tentunya bertujuan untuk mengatur dengan baik tata masyarakat sehingga dalam masa kejayaan Majapahit tercipta keadaan yang aman dan tentram bagi seluruh rakyatnya.

Contoh isi kitab Agama (Kutaramanawa Dharmasastra) adalah sebagai berikut:

Pasal 87: 
"Barangsiapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barangsiapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa. Denda itu dipersembahkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau; sapi dan segala apa yang dirampas terutama hamba dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat".
Pasal 92: 
"Barangsiapa menebang pohon orang lain tanpa seizin pemiliknya, dikenakan denda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja; pohon yang ditebang dikembaJikan dua kali lipat".
Sementara itu mengenai perlindungan wanita sebagaimana yang termaktub dalam pasal 108, 192 dan pasal 207 adalah sebagai berikut:

Pasal108:
"Djika seorang isteri enggan kepada suaminja, karena ia tidak suka kepadanja, uang tukon (mahar) harus dikembalikan dua kali lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (menolak bertjampur)" (Muljana, 1967: 145).
Pasal 192 : 
"Seorang wanita boleh kawin dengan laki-laki lain, djika suaminja hilang, djika suaminj a meninggal dalam perdjalanan; djika terdengar bahwa suaminja ingin mendjadi pendeta; djika suaminja "tidak mampu" dalam pertjampuran, terutama djika ia menderita penjakit budug. Djika demikian keadaan suaminja, wan ita itu boleh kawin dengan orang lain" (Muljana, 1967: 147).
Pasal 207 :
"Barangsiapa memegang seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak menangis, sedangkan banjak orangjang mengetahuinja, buatlah orang-orang itu saksi sebagai tanda bukti. Orangjang memegang itu kenakanlah pidana mati oleh radja jang berkuasa" (Muijana, 196]: 151).
Menurut Munandar (2008:21), bahwa isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam kitab undang-undang Majapahit tidak bernapaskan kebudayaan luar (India), melainkan khas Jawa kuno.

Uraian yang terdapat dalam kitab itu ada yang berkenaan dengan hewan-hewan yang biasa dijumpai di Pulau Jawa, misalnya disebutkan adanya hutang piutang kerbau, sapi dan kuda, pencurian ayam, kambing, domba, kerbau, sapi, anjing dan babi, ganti rugi terhadap hewan yang terbunuh karena tidak sengaja dan juga yang banyak mendapat sorotan adalah perihal hutang piutang padi.

Walaupun di beberapa bagiannya terdapat konsep-konsep dasar dari kebudayaan India (Hindu-Budha), namun penerapannya lebih ditujukan untuk masyarakat Jawa kuno. Jadi, konsep-konsep tersebut hanya memperkuat uraian saja.

Posting Komentar untuk "Perlindungan Perempuan Dalam Undang-Undang Hukum Majapahit"