Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PRRI Brontak Karena Menuntut Otonomi

Pemberontakan PRRI adalah pemberontakan yang semula menuntut otonomi di Sumatra, pada perkembangannya pemberontakan ini kemudian malah justru menjadi pemberontakan yang berbasis anti Soekarno sehingga kemudian merembet menjadi anti Jawa, olok-olokan orang-orang PRRI yang terekam dalam sejarah adalah “Kalau datang ke Jawa, banyak ditemuai papan peringatan, ‘awas jalan licin’. Sedangkan datang ke Sumatra, juga banyak papan peringatan yang ditemuai, tetapi berbunyi, ‘awas jalan berbahaya”.

Olok-olokan ini mengambarkan bahwa mereka tidak puas dengan ketimpangan kesejahteraan antara Jawa dan Sumatra, di Jawa jalannya bagus, licin sementara di Sumatra jalan justru hancur lebur dan sangat bahaya jika dilewati, begitulah fakta yang terjadi waktu itu.

PRRI sendiri bermaksud Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, sebuah gerakan pemberontakan yang digagas para perwira angkatan darat Republik Indonesia di wilayah Sumatra, baik di Sumatra Tengah, Selatan dan Timur gerakan pemberontakan ini terjadi pada tahun 1957- 1960.

Gerakan ini dilatar belakangi oleh (1) Terjadinya penciutan kesatuan militer Sumatera Tengah dari tingkat Divisi menjadi Brigade(2). Pengangkatan Ruslan Muljoharjo, seorang birokrat Jawa sebagai Pejabat Gubernur, (3) Sedikitnya anggaran pembangunan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah, (4) Semakin besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam pemerintahan republik indonesia (5) Diberhentikannya beberapa komandan militer daerah dan, (6) Pecahnya dwitunggal Soekarno-Hatta
Barisan PRRI
Pada tahun 1945 hingga 1968 Indonesia sedang dirundung berbagai persoalan serius dalam mendirikan negara, mulai dari masuknya ganguan Belanda yang belum puas atas kemerdekaan Indonesia, berubah-ubahnya bentuk negara dari negara kesatuan menjadi Republik Serikat sampai pada mengubahnya kembali menjadi negara kesatuan.

Persoalan-persoalan yang membuat fokus perhatian pusat terkuras itu pada akhirnya mengabaikan kepentingan lain diwilayah Indonesia yang luas salah satunya Sumatra. Kehidupan rakyat diwilayah itu tebengkalai termasuk didalamnya soal  pembangunan.

Hingga tahun 1953-1956 Soekarno dianggap hanya mementingkan pembangunan Jawa, janji Soekarno untuk memberikan otonomi seluas-luasnya pada rakyat diluar Jawa tak terpenuhi, para pejabat yang menjadi pembesar di Sumatra pun kebanyakan dari Jawa, inilah yang kemudian memantik kekecewaan para periwra angkatan darat asal Sumatra untuk melakukan protes ke Pusat.

Sementara Soekarno sendiri waktu itu belum dapat menunaikan janjinya karena alasan kondisi negara yang belum stabil, baginya tidak mungkin menerapkan otonomi bagi daerah manakala kondisi pusat sedang carut marut.

Keadaan pusat yang carut marut itu sepertinya tidak dirasakan oleh daerah, mereka tetap menuntut otomi, akhirnya gerakan yang dipelopori oleh para perwira angkatan darat di Sumatra itu kemudian memblokade pendapatan Sumatra, Pajak tidak dikirimkan ke Jawa melainkan digunakan dan dibagikan habis di daerah Sumatra, sementara uang yang mereka peroleh mereka gunakan untuk pembangunan di daerahnya masing-masing.

Gerakan itu kemudian ditanggapi keras oleh Pusat, Pusat mengultimatum mereka agar jangan melakukan tindakan makar dan melawan negara, tapi rupanya ultimatum pusat itu tidak digubris. Gerakan ini kemudian menjadi liar ketika mendapatkan sokongan persenjatan dari Amerika Serikat yang kala itu sedang mencari sekutu lokal Indonesia untuk melawan Pemerintahan Soekano yang didukung Partai Komunis.

Melihat keadaan itu akhirnya pada tanggal 1958 pemerintah pusat melaksanakan penumpasan gerakan PRRI, dengan sandi operasi tegas , operasi Saptamarga, operasi Sadar, dan operasi 17 Agustus. Meskipun PRRI dipasok persenjataan moderen oleh Amreika Srikat, akan tetapi gerakan PRRI ini tidak mempunyai kekuatan udara dan laut, oleh karena itu pemerintah Pusat membombardir PRRI dari laut dan udara sebelum kemudian ditaklukan dengan serbuan darat.

Setelah banyak kantong-kantong perlawanan PRRI yang dikusai oleh pasukan pemerintah pusat pada Juli 1960, mereka berhasil menyingkirkan beberapa tokoh PRRI seperti Sjafruddin Prawiranegara, Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Assat, sehingga akhirnya menyerah dan dinamakan oleh pemerintah pusat, tetapi pada dasarnya pasukan pemerintah pusat masih merasa kesulitan dan tidak aman di daerah- daerah yang jauh dari jalan raya, terutama di wilayah Padang.

Gerakan perlawanan PRRI akhirnya benar-benar berhenti ketika Nasution sebagai komandan tertinggi meliter pemerintah pusat melancarkan operasi pemanggilan kembali pada akhir tahun 1960.

Operasi ini bertujuan untuk merangkul kembali terutama perwira militer PRRI yang ikut dalam perlawanan untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Melalui operasi ini ia mengirim utusan ke daerah perlawanan untuk melakukan negosiasi dengn PRRI. Akhirnya pada tanggal 21 Juni 1961, pimpinan PRRI, Ahmad Husein resmi menyerahkan diri beserta 600 pasukannya di Solok.

Kelak sebagian petinggi dan mantan anggota PRRI yang kembali kepangkuan Ibu Pertiwi ini nantinya turut andil dalam menggulingkan Presiden Soekarno pada tahun 1967, tapi cita-cita mereka yang anti Soekarno karena menganggap Soekarno tidak melaksanakan janjinya untuk menerapkan Otonomi di Sumatra dan menerapkan centalistik Jawa itu rupanya tetap terulang pada pemerintahan Orde Baru yang mereka dukung, bahkan pada masa orde baru,  meskipun kekuasaannya stabil karena tidak ada gangguan asing selama 32 tahun, Otonomi daerah tidak kunjung diterapkan, bahkan boleh dikata Centralistik Jawa pada masa ini lebih menjadi-jadi ketimbang zaman Soekarno. Otonomi yang luas bagi seluruh rakyat luar Jawa itu baru ditetapkan selepas tumbangnya Soeharto dan Orde Baru tepanya pada masa pemerintahan Gudur dan Megawati Soekarno Putri

Posting Komentar untuk "PRRI Brontak Karena Menuntut Otonomi"