Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Naskah Bujangga Manik

Naskah Bujangga Manik adalah naskah Sunda yang ditulis pada Abada 15-16 oleh seseorang yang berjuluk Bujangga Manik dan muridnya yang tak diketahui namanya, nama aslinya sendiri Jaya Pakuan, merupakan seorang Pangeran dari Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran.

Pada mulanya Naskah Bujangga Manik diketahui sebagai koleksi Perpustakaan Bodleian, di Oxford, Inggris. Perpustakaan tersebut menerima naskah itu dari seorang saudagar dari Newport, yang beranama Andrew James. Diperkirakan bahwa naskah tersebut menjadi koleksi Perpustakaan Bodleian sejak 1627 atau 1629.

Naskah Bujangga Manik ditulis  dalam bahasa Sunda Kuno pada daun lontar yang beberapa lembarannya ada yang rusak dan hilang. Isinya menuturkan perjalanan Bujangga Manik, penyair kelana dari Pakuan (Ibukota Kerajaan Sunda ) yang hidup pada abad ke 15-16.

Bujangga Manik dalam naskah tersebut dikisahkan sebagai rahib Hindu, dia berziarah menyusuri Pulau Jawa hingga Bali. Cerita ini dituturkan dalam bentuk puisi yang setiap barisnya terdiri atas delapan suku kata selaras dengan bentuk puisi Sunda pada zamannya dan panjangnya mencapai sekitar 1.758 baris.

Perjalanan Bujangga Manik itu sendiri berlangsung dalam dua fase. Pertama, sang rahib berjalan kaki dari Pakuan hingga Jawa Timur, melalui jalur utara, lalu kembali ke Pakuan dengan menumpang kapal yang bertolak dari Malaka. 

Kedua, dia melakukan pe gambaran lagi dari Pakuan ke Jawa Timur, lalu menyeberang ke Bali, dan kembali ke Pakuan melalui jalur selatan. Akhirnya, dia bertapa di sebuah gunung hingga kewafatannya.

Ringkasan Naskah Bujangga Manik

Cerita dimulai melalui kata-kata orang bijak (sang mahapandita) yang secara tidak langsung menggambarkan suasana sedih di istana (Pakuan) di Pakancilan tatkala tokoh utama, Prabu Jaya Pakuan, hendak berangkat mengawali perjalanannya. Sang Prabu mengucapkan kata-kata perpisahan kepada ibunya seraya memberitahukan bahwa dia hendak mengembara ke timur.

Setelah keluar dari Pakancilan dia berjalan melewati Windu Cinta, Manguntur, Pancawara, dan Lebuh Ageung. Di jalan banyak orang bertanya terheran-heran, tapi sang pangeran tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan melewati Pakeun Caringin, Nangka Anak, Tajur Mandiri, Suka Beureus, Tajur Nyanghalang, dan Engkih. Ia lalu menyeberangi sungai Ci-Haliwung, mendaki Banggis, tiba di Talaga Hening, dan terus berjalan hingga ke Peusing. Kemudian dia menyeberangi Ci-Lingga, melewati Putih Birit, dan mendaki jalur Puncak. Di Puncak dia istirahat sejenak, duduk-duduk, “mengipasi badannya” dan memandang panorama di sekelilingnya, khususnya bebukitan besar yang dia sebut sebagai “tempat tertinggi di Tatar Pakuan”.

Dia melanjutkan perjalanan, menyeberangi kali Pamali, dan memasuki wilayah Jawa. Dia melintasi berbagai daerah kekuasaan Majapahit serta bukit di wilayah Demak. Dia melewati Jatisari dan tiba di Pamalang. Sampai di situ sang pengembara rindu pada ibunya. Karena itu dia berniat pulang.

Dia pun kembali, tapi kali ini dengan berlayar menumpang kapal dari Malaka. Begitu kapal hendak meninggalkan dermaga digambarkan senapan dibunyikan, alat-alat musik dimainkan, dan sejumlah lagu dilantunkan oleh awak kapal. Kapal itu terbentuk dari berbagai jenis bambu dan rotan, tiangnya terbuat dari kayu laka, dan kemudinya berasal dari India. Bujangga Manik terpana menyaksikan para awak kapal yang berasal dari berbagai tempat.

Pelayaran dari Pamalang ke Kalapa berlangsung setengah bulan. Sesampainya di Kalapa sang rahib mendatangi duane, kemudian pergi ke istana Pakuan. Dia masuk ke Pakancilan, menuju paviliun yang sarat dengan hiasan duduk di situ.

Ketika itu ibunya sedang menenun. Sang ibu terkesiap dan amat girang begitu melihat anaknya pulang. Ia menghentikan pekerjaannya dan masuk ke ruang dalam, melewati berlapis-lapis tirai, dan naik ke kamar tidurnya. Sang ibu menyisir rambut, berdandan, dan menyiapkan menyiapkan baki dengan segala perlengkapan buat mengunyah sirih. Kemudian dia menemui anaknya.

Sewaktu ibu dan anak itu sedang bercengkerama, seorang perempuan bernama Jompong Larang, keluar dari istana tempat dia bekerja sebagai pelayan Putri Ajung Larang Sakéan Kilat Bancana. Jompong Larang keluar dari keraton, menyeberangi sungai Ci-Pakancilan dan tiba di istana Pakuan. Di situ dia melihat Bujangga Manik alias Ameng Layaran yang sedang mengunyah sirih di pesanggrahan. Jompong Larang menyebutnya sebagai "rahib yang datang dari timur". Ia terpesona oleh ketampanannya.

Saking kagumnya pelayan itu bergegas kembali ke istana tempat dia  bekerja untuk memberitahukan hal itu kepada majikannya. Jompong Larang memberitahukan bahwa di Pakancilan ada seorang pria yang amat tampan dan bisa menjadi "pasangan yang cocok" bagi Putri Ajung Larang. Dia pun memberi tahu bahwa nama pria itu adalah Ameng Layaran, dan bahwa dia lebih tampan daripada Banyak Catra atau Silih Wangi, atau "keponangan Tuan Putri".

Dikatakannya pula bahwa rahib itu adalah kekasih idaman, lagi pula dia memahami kitab suci dan bisa berbicara dalam bahasa Jawa. Begitu mendengar hal itu, Putri Ajung Larang yang saat itu sedang menenun, seketika itu juga jatuh cinta dan penuh harap.

Dia tinggalkan pekerjaannya dan beranjak ke ruang dalam. Di situ dia sibuk menyiapkan tanda mata bagi sang pemuda, yang terdiri dari beragam perlengkapan mengunyah sirih yang istimewa, dengan perkakas serba indah dan dipersiapkan secara sangat telaten. Sang putri menambahkan pula wewangian mewah, "semuanya wewangian dari seberang lautan", begitu pula pakaian bagus dan sebilah keris.

Sesudah itu Putri Ajung Larang segera mengutus Jompong Larang untuk menemui sang pangeran dengan membawa tanda mata itu. Sang putri berpesan bahwa jika tanda mata itu diterima, sang putri sendiri akan menyusul. Pelayan itu segera keluar dari keraton dengan membawa beragam hadiah itu. Ia pun tiba di istana tempat dia mendapati ibu Bujangga Manik sedang duduk di atas kasur. Kepada nyonya rumah, pelayan itu menyampaikan seluruh amanat dari majikannya.

Sang ibu berpaling kepada anaknya. Di matanya, hadiah itu amat berharga. Dia antara lain menyebutkan bahwa sugi tembakau yang dihadiahkan itu disiapkan dengan membentuk, melipat dan menggulungnya di atas paha dan dada oleh sang putri, dan membelitnya dengan benang dari roknya, supaya dapat "mengikat jejaka, dan menggugah gairahnya".

Secara antusias sang ibu menyarankan agar anaknya menerima lamaran Putri Ajung Larang. Dia pun menambahkan bahwa jika Ameng Layaran menerima pemberian itu, "masih ada yang lebih besar lagi". Namun Ameng Layaran terperanjat oleh antusiasme ibunya. Baginya, apa yang diucapkan oleh ibunya itu adalah "kata-kata terlarang". Tegasnya, Ameng Layaran menolak mentah-mentah hadiah itu. Dia khawatir bahwa jika hadiah itu diterima dirinya bakal terkena penyakit, air mata dan kelemahan badan. Dia ingin menerapkan segala nasihat gurunya. Karena itu dia meminta agar ibunya pergi bersama Jompong Larang untuk mengembalikan hadiah-hadiah itu kepada sang putri seraya menghibur hatinya.

Ameng Layaran alias Bujangga Manik lebih suka hidup menyendiri dan menjalankan pelajaran yang dia dapatkan dari perjalanannya ke Jawa, tempat dia sebagai rahib dan pertapa menjalankan nasihat déwaguru, pandita dan purusa. Sedangkan saran ibunya itu dia anggap buruk, sebab malah menunjukkan jalan ke neraka.

Dia pun teringat pada latar belakang dirinya sebagai anak yatim, dan ibunya telah berbuat salah, karena neneknya tidak menjaga pantangan tatkala ibunya mengandung, yakni memakan kembang pisang dan ikan beunteur, termasuk ikan yang hendak bertelur, sampai-sampai dia terkena "serangan tupai".

Karena itulah timbullah dorongan dalam dirinya untuk meninggalkan ibunya demi kebaikan.
Bujangga Manik mengambil tasnya yang berisi buku besar dan Siksaguru, serta tongkat rotan dan cambuknya. Kemudian dia berkata bahwa dia akan pergi ke timur lagi, menuju ujung timur Pulau Jawa tempat dia akan "mencari tanah tempatku berkubur, mencari laut tempatku mengapung, tempat aku menutup mata, tempat aku menaruh tubuhku". Ditinggalkannya istana, terus mengembara, dan tak pernah kembali.

Bujangga Manik keluar lagi dari Pakancilan melewati Umbul Medang, Gongong, Umbul Songgol, Leuwi Nutug, Mulah Malik, dan Pasagi. Ia menyeberangi Ci-Haliwung, mendaki Darah hingga ke Caringin Bentik. Ia kemudian mendaki Bala Gajah dan Mayanggu, melewati Kandang Serang, Ratu Jaya dan Kadu Kanaka.

Ia menyeberangi Ci- Leungsi, mendaki Gunung Gajah dan Bukit Caru, dan terus ke berjalan menyusuti pesisir utara Pulau Jawa, dan menyeberangi sungai Ci-Pamali. Ia memasuki wilayah Jawa Tengah, melewati berbagai gunung dan sungai. Ia pun memasuki wilayah Majapahit, tak terkecuali melewati Bubat. Di terus berjalan ke timur hingga mencapai ujung timur Pulau Jawa. Sesampai di Balungbungan, dia beristirahat, tinggal lebih dari setahun seraya menjalankan tapabrata.

Di pertapaan ada seorang perempuan pertapa (tiagi wadon) yang mendekati Bujangga Manik. Perempuan itu menganggapnya kakak, dan berkata kepadanya mengenai masalah yang dia hadapi dalam upaya menjadi pertapa. Bujangga Manik tidak hanya menanggapinya dengan mengutip ajaran yang telah dia hayati dari buku pegangannya.

Kemudian dia meninggalkan pertapaan, dan berlayar ke Bali, menumpang kapal yang hendak berangkat menuju ke pulau Bangka. Nakhodanya bernama Sélabatang. Kapal besar itu menarik hatinya, yang terbuat dari bahan-bahan istimewa, dan diperkuat dengan tidak kurang dari 25 orang pedayung. Kapal itu juga memiliki pemanah dari Cina, jurumeriam dari Bali, peniup terompet dari Melayu, pejuang dari Salembu dan serdadu dari Makassar.

Ketika kapal berangkat meriam membahana dan para awak kapal memperdengarkan musik dan lagu gembira. Perjalanan ke Bali hanya memakan waktu setengah hari. Bujangga Manik memberi nakhoda kain. Kemudian dia beranjak menuju ke kota di pulau itu.

 Karena keadaan di Bali ternyata tidak membuatnya nyaman, Bujangga Manik tinggal di pulau itu hanya sekitar setahun. Di pantai dia menemui nakhoda bernama Bélasagara, yang hendak berlayar ke Sumatra, dan mempersilakannya menumpang ke Balungbungan. Kapal itu cukup besar, lebarnya delapan depa dan panjangnya 25 depa. Bélasagara menasihati para awak kapal agar berhati-hati betul, jangan sampai membahayakan jiwa sang penumpang kehormatan. Penyeberangan memakan waktu sehari penuh.

Setibanya di Balungbungan Bujangga Manik meneruskan perjalanannya ke barat melalui bagian selatan Pulau Jawa; dia melintasi berbagai tempat di sekitar Gunung Mahaméru.

Dia tiba di Rabut Pasajén, bagian atas dari Rabut Palah. Di situ dia tinggal selama beberapa waktu untuk mempelajari bahasa Jawa. Karena tempat pun ramai dikunjungi beragam orang, dia meninggalkan tempat itu. Ia pun berjalan lagi ke barat, antara lain melalui Bobodo.

Dia melewati Merapi dan berbagai tempat lainnya. Ia menyeberangi teluk Sagara Anakan, terus bergerak hingga ke Pananjung. Dengan begitu, Bujangga Manik kembali ke wilayah Sunda.
 Dia mendaki gunung Galunggung, Cikuray, hingga ke Gunung Papandayan "yang juga disebut Panénjoan".

Dari situ Bujangga Manik memandang satu demi satu pegunungan di sekelilingnya. Panorama yang digambarkannya bukan hanya meliputi kawasan Jawa Barat melainkan juga meliputi wilayah yang lebih jauh seperti nusa Keling, Jambri, Cina Jambudwipa, Gedah dan Malaka, nusa Bandan Tanjungpura, dll.

Bujangga Manik kemudian meneruskan perjalanan hingga ke Gunung Sembung, "hulu sungai Ci-Tarum". Di situ dia beristirahat, dan beribadat. Dia pun membuat sebuah patung dan tugu yang akan menunjukkan kepada orang lain bahwa dia "telah selesai menunaikan tugasnya".

Setelah menyapu seluruh pekarangan hingga bersih  dia memasuki bangunan itu dan mulai bermeditasi, merenungi hasratnya yang tertinggi, yakni mewujudkan bentuk tapabrata tertinggi dan mencapai rasa wisésa.

Setelah menilik diri sendiri Bujangga Manik mengedarkan pandang ke sekeliling hendak mencari tempat menjemput maut. Dia tidak bisa tinggal di tempatnya saat itu sebab di sana terlalu banyak pengunjung dan godaan.

Dia berjalan ke arah barat laut, melalui sejumlah gunung dan menyeberangi sejumlah sungai, dan akhirnya tiba di Gunung Agung, hulu Ci-Haliwung, wilayah kudus di Pakuan yang memiliki kabuyutan dan danau suci Talaga Warna.

Dia tiba di dekat Gunung Bulistir, tempat suci untuk mengenang raja Patanjala, tapi dia harus meninggalkan tempat ini setelah tinggal di situ setahun atau lebih, mengingat banyaknya pengunjung dan godaan.

Setelah mengembara melalui wilayah tersebut, melewati kembali berbagai gunung dan menyeberangi sejumlah sungai, dia tiba di Gunung Patuha, Ranca Goda yang kudus, yang dia jadikan tempat bertapa. Dia tinggal di situ selama lebih dari setahun, dan sesudah itu dia meneruskan perjalanannya ke Gunung Ratu, Karang Caréngkang yang kudus.

Tampaknya, itulah tempat yang dia cari: tempat kudus (lemah kabuyutan) yang dilengkapi lingga bertatahkan permata, menghadap ke arah Bahu Mitra.

Dia menjadikan tempat itu sebagai pesanggrahan baru dengan tata jalan dan sejumlah besar bangunan, yang dirancang secara indah dan diberi hiasan yang kaya. Di sana dia meluangkan waktu sembilan tahun untuk bertapa; pada tahun kesepuluh "tugas telah terlaksana sepenuhnya".

Pada saatnya, dalam keadaan sehat walafiat, raganya terbaring. Bujangga Manik wafat tanpa rasa sakit, dan dia pun mencapai kamoksahan. Raganya memasuki jagat maut. Tibalah dia di sebentang jalan terbuka, yang terarah secara baik, dihiasi segala jenis kembang.

Di kahyangan Bujangga Manik diperiksa oleh Dorakala, penjaga langit. Bujangga Manik sempat tersinggung karena pertanyaan Dorakala, tapi pada akhirnya Bujangga Manik diperlakukan seperti dewa, sukma yang suci. Dengan demikian dia diizinkan beranjak menuju kasorgaan.

Dorakala menunjukkan jalannya dan memberinya petunjuk terperinci perihal arah yang mesti dituju dan cara mencapainya. Akhirnya, Bujangga Manik diangkat dengan kereta putih yang sarat dengan hiasan. Ranah surgawi yang dia masuki indah tak terperi.

Alih Aksara Teks Naskah Bujangga Manik

Berikut ini adalah alih aksara naskah Bujangga manik dari aksara Sunda Kuno ke Aksara Latin;

Posting Komentar untuk "Naskah Bujangga Manik"