Pembunuhan Sultan Cirebon Ke III
Wafatnya Sultan Cirebon ke tiga selepas dipaksa hadir ke Mataram oleh Susuhunan Amangkurat Agung menimbulkan curiga dan dendam bagi Cirebon. Meskipun Mataram meyakinkan pada dunia bahwa Sultan Cirebon ke tiga wafat karena sakit, Cirebon sama sekali tak percaya.
Pada Tahun 1649, Cirebon melantik Pangeran Putra sebagai sultan Cirebon ke tiga, gelar yang disematkan padanya adalah “Panembahan Ratu II”. Sementara di sisi lain, tiga tahun sebelumnya, yaitu pada Tahun 1646 Kesultanan Mataram menobatkan Amangkurat I sebagai Sultan Mataram menggantikan ayahnya Sultan Agung.
Naiknya Amangkurat I menjadi Sultan Mataram sebetulnya sudah membuat gerah Cirebon. mengingat penobatan tersebut dilakukan selepas menyingkirkan Pangeran Alit dari kedudukannya sebagai Putra Mahkota Mataram.
Menurut Naskah Mertasinga, misi penjembuatan Panembahan Ratu II ke Mataram dipimpin oleh seorang Kapten Belanda bernama Kapten Etal. Sang Kapten membujuk dengan muslihat agar Panembahan Ratu II mau menghadap mertuanya di Mataram.
Pada Tahun 1649, Cirebon melantik Pangeran Putra sebagai sultan Cirebon ke tiga, gelar yang disematkan padanya adalah “Panembahan Ratu II”. Sementara di sisi lain, tiga tahun sebelumnya, yaitu pada Tahun 1646 Kesultanan Mataram menobatkan Amangkurat I sebagai Sultan Mataram menggantikan ayahnya Sultan Agung.
Naiknya Amangkurat I menjadi Sultan Mataram sebetulnya sudah membuat gerah Cirebon. mengingat penobatan tersebut dilakukan selepas menyingkirkan Pangeran Alit dari kedudukannya sebagai Putra Mahkota Mataram.
Pangeran Alit adalah anak Sultan Agung dengan Putri Sultan Cirebon ke II (Panembahan Ratu I), oleh karena itu naiknya Amangkurat I menjadi Sultan Mataram cukup membuat Cirebon geram, ditambah-tambah lagi pada Tahun 1647 Pangeran Alit terbunuh dalam kisruh perebutan tahta di Mataram.
Baca Juga: Tersingkirnya Pangeran Alit Dari Tahta Kesultanan Mataram
Zaman Sultan Agung, ketika kerajaan Mataram melakukan ekspansi ke pulau Jawa bagian barat, Sultan Cirebon yang dianggap sebagai guru oleh Sultan Agung dijadikan mitra, maka dibangunlah hubungan kekerabatan diantara keduanya, Sultan Agung mengawini Putri Sultan Cirebon serta memberinya kedudukan sebagai Ratu Kulon, yaitu ratu yang kelak keturunanya akan menjadi Sultan Mataram selanjutnya.
Terbunuhnya Pangeran Alit, serta bertahtanya Amangkurat I di Mataram seketika membuat dua kerajaan memanas, meskipun begitu, mulanya Amangkurat I mencoba memadamkannya, terbukti dari dikirimkannya Putri Amangkurat I untuk dikawini oleh Pangeran Putra. Meskipun begitu ketika menjadi Sultan Cirebon ke tiga, Pangeran Putra tidak menjadikan putri Mataram itu sebagai permaisurinya. Hal tersebut mungkin sebagai wujud kekecewaan yang ditunjukan Cirebon pada Mataram.
Baca Juga: Biografi Amangkurat I
Berlalunya waktu, Amangkurat I dengan pemerintahan tangan besinya acap kali memaksakan kehendaknya, ia sering menghukum para Punggawa Kesultanan Mataram yang bersebrangan dengannya. Kekuasaan Amangkurat I yang dijalankan dengan tangan besi berdampak pada sikapnya yang kian hari kian sombong, ia merasa diri paling kuat, pada masa ini Cirebon tidak lagi dianggap sebagai mitra/saudara melainkan sebagai jajahan.
Gambaran tersebut tercatat dalam Naskah Mertasinga yang menyebutkan bahwa “ Ketika Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya) berkunjung ke Mataram, ia harus duduk bersimpuh di tanah selayaknya abdi ketika menghadap Amangkurat I”. (Wahju, 2005: 181)
Kondisi yang semacam itu mulanya membuat marah Ki Arya Jagastaru, Arya Salingsingan, Ki Kanduruan dan Ki Tandamuni Wanduhaji selaku pembesar Cirebon yang mendampingi Sultannya.
Baca Juga: Tersingkirnya Pangeran Alit Dari Tahta Kesultanan Mataram
Zaman Sultan Agung, ketika kerajaan Mataram melakukan ekspansi ke pulau Jawa bagian barat, Sultan Cirebon yang dianggap sebagai guru oleh Sultan Agung dijadikan mitra, maka dibangunlah hubungan kekerabatan diantara keduanya, Sultan Agung mengawini Putri Sultan Cirebon serta memberinya kedudukan sebagai Ratu Kulon, yaitu ratu yang kelak keturunanya akan menjadi Sultan Mataram selanjutnya.
Terbunuhnya Pangeran Alit, serta bertahtanya Amangkurat I di Mataram seketika membuat dua kerajaan memanas, meskipun begitu, mulanya Amangkurat I mencoba memadamkannya, terbukti dari dikirimkannya Putri Amangkurat I untuk dikawini oleh Pangeran Putra. Meskipun begitu ketika menjadi Sultan Cirebon ke tiga, Pangeran Putra tidak menjadikan putri Mataram itu sebagai permaisurinya. Hal tersebut mungkin sebagai wujud kekecewaan yang ditunjukan Cirebon pada Mataram.
Baca Juga: Biografi Amangkurat I
Berlalunya waktu, Amangkurat I dengan pemerintahan tangan besinya acap kali memaksakan kehendaknya, ia sering menghukum para Punggawa Kesultanan Mataram yang bersebrangan dengannya. Kekuasaan Amangkurat I yang dijalankan dengan tangan besi berdampak pada sikapnya yang kian hari kian sombong, ia merasa diri paling kuat, pada masa ini Cirebon tidak lagi dianggap sebagai mitra/saudara melainkan sebagai jajahan.
Gambaran tersebut tercatat dalam Naskah Mertasinga yang menyebutkan bahwa “ Ketika Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya) berkunjung ke Mataram, ia harus duduk bersimpuh di tanah selayaknya abdi ketika menghadap Amangkurat I”. (Wahju, 2005: 181)
Kondisi yang semacam itu mulanya membuat marah Ki Arya Jagastaru, Arya Salingsingan, Ki Kanduruan dan Ki Tandamuni Wanduhaji selaku pembesar Cirebon yang mendampingi Sultannya.
Mereka bahkan mengusulkan agar Cirebon memberikan pelajaran pada Mataram. Namun usulan tersebut ditolak oleh Panembahan Ratu II. Sang Sultan beralasan ingin tetap menjaga amanat Sunan Kalijaga. Dahulu dimasa Panembahan Ratu I memerintah (1568-1649) Sunan Kalijaga pernah berpesan agar Cirebon mau diprintah orang Mataram.
Masa pemerintan Amangkurat I yang cukup panjang (1646-1677) serta kekuasaan tanpa kritik membuanya menjelma menjadi raja terbiadab dalam sejarah Kesultanan Mataram, adik, mertua bahkan sampai anaknya menjadi lawannya, orang-orang yang dianggap merintangi kekuasannya dihabisi bahkan sanak keluarga dari orang-orang yang dianggap menentang kekuasannya turut pula dihabisi.
Tercatat, dari tahun 1649-1662 banyak orang-orang Mataram yang meminta suaka pada Sultan Cirebon, Naskah Mertasinga mencatat, bahwa diantara para pembesar Mataram yang meminta suaka diantaranya “Arya Angkasa Manca, Arya Dirja, Arya Jagabayan dan Gedeng Kiring Manca” (Wahju, 2005: 189).
Disisi lain, pemberian suka yang dilakukan Cirebon pada pelarian Mataram membuat Amangkurat I murka, meskipun begitu Amangkurat I tidak bisa berbuat banyak pada Cirebon, karena kala itu Cirebon terlalu kuat jika ditaklukan dengan jalan militer, Banten dianggap akan membantu Cirebon bila sampai Cirebon diserang, mengingat antara Cirebon dan Banten adalah sama-sama kerajaan yang diperintah oleh sanak keturunannya Sunan Gunung Jati.
Meskipun begitu, dendam Amangkurat I pada Panembahan Ratu II seperti tidak terbendung. Oleh karena itu, ia menyusun cara lain untuk menghancurkan Cirebon.
Masa pemerintan Amangkurat I yang cukup panjang (1646-1677) serta kekuasaan tanpa kritik membuanya menjelma menjadi raja terbiadab dalam sejarah Kesultanan Mataram, adik, mertua bahkan sampai anaknya menjadi lawannya, orang-orang yang dianggap merintangi kekuasannya dihabisi bahkan sanak keluarga dari orang-orang yang dianggap menentang kekuasannya turut pula dihabisi.
Tercatat, dari tahun 1649-1662 banyak orang-orang Mataram yang meminta suaka pada Sultan Cirebon, Naskah Mertasinga mencatat, bahwa diantara para pembesar Mataram yang meminta suaka diantaranya “Arya Angkasa Manca, Arya Dirja, Arya Jagabayan dan Gedeng Kiring Manca” (Wahju, 2005: 189).
Disisi lain, pemberian suka yang dilakukan Cirebon pada pelarian Mataram membuat Amangkurat I murka, meskipun begitu Amangkurat I tidak bisa berbuat banyak pada Cirebon, karena kala itu Cirebon terlalu kuat jika ditaklukan dengan jalan militer, Banten dianggap akan membantu Cirebon bila sampai Cirebon diserang, mengingat antara Cirebon dan Banten adalah sama-sama kerajaan yang diperintah oleh sanak keturunannya Sunan Gunung Jati.
Meskipun begitu, dendam Amangkurat I pada Panembahan Ratu II seperti tidak terbendung. Oleh karena itu, ia menyusun cara lain untuk menghancurkan Cirebon.
Amangkurat I merencanakan pembunuhan Sultan Cirebon ketika menantunya itu berkunjung ke Mataram. Namun Amangkurat I rupanya tidak sabar menanti kunjungan menantunya, iapun akhirnya meminta bantuan Belanda untuk mendatangkan Panembahan Ratu II ke Mataram dengan jalan muslihat.
Menurut Naskah Mertasinga, misi penjembuatan Panembahan Ratu II ke Mataram dipimpin oleh seorang Kapten Belanda bernama Kapten Etal. Sang Kapten membujuk dengan muslihat agar Panembahan Ratu II mau menghadap mertuanya di Mataram.
Akhirnya, karena muslihat dan bujukan Kapten Etal, Panembahan Ratu II disertai dengan dua orang Puteranya berangkat ke Mataram dengan menggunakan Kapal laut. Sementara Para Pembesar Cirebon lainnya menyusul menggunakan jalan darat.
Sesampainya di Mataram, rencana jahat Amangkurat I dijalankan, Panembahan Ratu II langsung ditahan. Pada mulaya Amangkurat I berniat membunuhnya secara langsung, akan tetapi karena takut terhadap resiko serbuan Cirebon dan Banten, Amangkurat I kemudian membunuhnya dengan jalan halus yaitu dibunuh dengan jalan diguna-guna. Pendapat lain dibunuh dengan cara diracun.
Sementara itu, ketika para pembesar Cirebon yang melalui perjalanan darat itu sampai ke Mataram mereka mendapati Rajanya sudah sakit parah sehingga beberapa lama kemudian Panembahan Ratu II wafat.
Jasad Pangeran Putra dimakamkan di Girilaya Mataram, oleh karena itu Pangeran Putra juga nantinya digelari “Panembahan Girilaya” karena ia merupakan seorang Panembahan (Raja) yang dimakamkan di Girilaya.
Baca Juga: Nasib Kesultanan Cirebon Selepas Kemangkatan Panembahan Girilaya
Sesampainya di Mataram, rencana jahat Amangkurat I dijalankan, Panembahan Ratu II langsung ditahan. Pada mulaya Amangkurat I berniat membunuhnya secara langsung, akan tetapi karena takut terhadap resiko serbuan Cirebon dan Banten, Amangkurat I kemudian membunuhnya dengan jalan halus yaitu dibunuh dengan jalan diguna-guna. Pendapat lain dibunuh dengan cara diracun.
Sementara itu, ketika para pembesar Cirebon yang melalui perjalanan darat itu sampai ke Mataram mereka mendapati Rajanya sudah sakit parah sehingga beberapa lama kemudian Panembahan Ratu II wafat.
Jasad Pangeran Putra dimakamkan di Girilaya Mataram, oleh karena itu Pangeran Putra juga nantinya digelari “Panembahan Girilaya” karena ia merupakan seorang Panembahan (Raja) yang dimakamkan di Girilaya.
Baca Juga: Nasib Kesultanan Cirebon Selepas Kemangkatan Panembahan Girilaya
Posting Komentar untuk "Pembunuhan Sultan Cirebon Ke III"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.