Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kondisi Ekonomi Cirebon Zaman Jepang

Selepas datangnya Jepang ke Cirebon, kehidupan ekonomi di Cirebon mendadak berubah, Di Cirebon, perkebunan, bank, dan perushaan penting milik orang Belanda/Eropa disita dan dijadikan milik pemerintah militer Jepang dan diawasi oleh Gunseikan.

Dalam rangka mengatur dan menguasai perkebunan, pada tahun 1942 Jepang mengeluarkan Undang-Undang No. 22 mengenai produksi, pemberian kredit, rehabilitasi, dan lain-lain. Sejak pertengahan tahun 1942, pemerintah militer Jepang mengambil alih kegiatan ekonomi orang Indonesia dan Timur Asing, khususnya Cina, guna kepentingan perang. Dengan kata lain, kehidupan ekonomi waktu itu menjadi "ekonomi perang".

Untuk mencegah meningkatnya harga barang, dikeluarkan peraturan pengendalian dan penetapan harga, dengan sanksi berat bagi pelanggar.

Sementara itu, di daerah pendudukan Jepang diberlakukan uang Jepang, uang kertas yang disebut gunpyo di samping uang Belanda. Hal itu menyebabkan terjadinya inflasi pada tahun-tahun berikutnya.

Dalam rangka mengatur dan menguasai gula, pada Bulan Mei 1942 pemerintah militer Jepang mengeluarkan dekrit rahasia Showa 17 Nendo Jawa Ryônai Satô Scisan Taisaku Tô (tentang produksi gula di Jawa pada tahun 1942).

Dekrit itu menyebabkan produksi gula di Cirebon menurun, karena mulai tahun 1943 penanaman pohon tebu dikurangi, sehingga beberapa pabrik gula berhenti beroperasi. Pabrik gula yang terus beroperasi hanya melayani kebutuhan pihak Jepang.

Selanjutnya, pemerintah militer Jepang membuat bebagai program untuk meningkatkan pertanian rakyat yang hasilnya diperlukan oleh pihak Jepang, terutama padi. 

Mulai tahun 1943 para petani di Cirebon juga diwajiban menanam kapas, rami, dan jarak pada lahan seluas lebih dari dua hektar.

Sebagian besar dari hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah melalui Mitsui Nórin Co, salah satu perusahaan kelompok Mitsubishi dalam bidang pertanian. Oleh karena pupuk kimia sulit diperoleh, petani diharuskan menggunakan pupuk kompos dan tidak melakukan teknis penanaman tumpang sari.

Sementara itu, pemerintah pendudukan Jepang menetapkan harga berbagai bahan pangan, seperti daging domba dan sapi, palawija, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. 

Bulan November 1943 pemerintah Jepang mengeluarkan program Kinkyû Shokuryô Taisaku atau tindakan-tindakan mendesak mengenai bahan makanan. 

Program ini ditujukan pada pengenalan jenis padi baru, inovasi teknik-teknik penanaman, peningkatan infrastruktur pertanian, perluasan tanah, dan propaganda serta pelatihan bagi petani.

Untuk memperoleh padi dari rakyat dalam jumlah banyak, pemerintah militer Jepang mengeluarkan aturan "wajib serah padi." Aturan itu berkaitan dengan "kebijakan" tentang kontrol beras. Inti dari aturan "wajib serah padi" adalah sebagai berikut;
  1. Petani diharuskan menjual sejumlah kuota tertentu dari produksi padi kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan.
  2. Padi harus diserahkan ke penggilingan beras yang ditunjuk oleh pemerintah desa.
  3. Bila petani masih memiliki surplus padi untuk dijual setelah menyerahkan kuota yang ditetapkan, mereka hanya diperbolehkan menjualnya ke penggilingan yang terdaftar, dan tidak diizinkan untuk menjual kepada tengkulak atau pasar setempat.
  4. Dilarang menumbuk gabah untuk kepentingan komersial tanpa izin pemerintah.
Untuk mengawasi pelaksanaan "wajib serah padi", di setiap Kecamatan ditempatkan beberpa tenaga sipil Jepang yang disebut sakura. Di seluruh wilayah Cirebon ditempatkan lebih dari 50 orang sakura. Dalam peraturan itu ditetapkan jumlah beras yang boleh disimpan/dimiliki oleh satu keluarga petani.

Bila beras yang diserahkan belum memenuhi jatah untuk desa, penguasa desa didampingi para sakura melakukan penggeledahan. Di Kecamatan Karangampel (Indramayu), satu keluarga petani hanya dipertolehkan menyimpan beras sebanyak 10 kilogram, berapa pun jumlah anggota keluarganya.

Di Kecamatan Anjatan (Indramayu), satu keluarga hanya diijinkan menyimpan beras sebanyak 20-25 kilogram. Apabila diketahui ada petani menyimpan padi atau melebihi kebutuhannya, padi/beras leɔih itu disita.

Para petani berusaha untuk luput dari penyitaan padi/beras dengan berbagai cara, yaitu dibungkus menjadi bantal, disembunyikan di bawah tempat tidur atau dilangit-langit rumah, atau dititipkan ke pemilik gudang yang gudangnya tidak akan digeledah.

Sejak tahun 1944, pengumpulan padi dipercayakan kepada koperasi-koperasi pertanian yang disebut nôgyô kumiai

Dalam prakteknya koperasi itu bukan hanya mengumpulkan padi, tetapi juga produk pertanian lainnya, seperti kacang kedelai, cabe, bawang merah, kacang tanah, dan tembakau.

Tindakan lain dari pemerintah militer Jepang yang meresahkan kehidupan penduduk Cirebon adalah aturan pengumpulan uang. 

Penduduk Cirebon wajib mengumpulkan dang dan diserahkan kepada pemerintah, dengan dalih berupa janji untuk memberi kemerdekaan kelak. Uang yang terkumpul berjumlah ratusan ribu gulden. Diberitakan, sebagian dari uang itu (110.000 gulden) diserahkan kepada pemerintah Jepang di Tokyo untuk membeli pesawat terbang.

Pemerintah militer Jepang juga memeras tenaga rakyat. Kegiatan rakyat untuk kepentingan Jepang yang semula bersifat sukarela, berubah menjadi kerja paksa yang disebut romusha. 

Rakyat dipaksa untuk mengerjakan pekerjaan berat, seperti memperbaiki jembatan dan lain-lain, tanpa jaminan makanan apalagi upah, bahkan diperlakukan semena-mena.

Pemerintah militer Jepang juga memeras tenaga rakyat. Kegiałan rakyat untuk kepentingan Jepang yang semula bersifal sukarela, berubah menjadi kerja disebut romusha. 

Dari Pulau Jawa, termasuk dari Cirebon pernah dikirim ribuan tenaga romusha ke Birıma, Muangthai, Vietnam, dan Malaya, Dalam rangka melakukan suatu pekerjaan, tenaga Romusha ditempatkan di asrama.

Aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah militer Jepang, baik mengenai politik maupun mengenai perekonomain rakyat dan tindakan-tindakan tentara Jepang, menyebabkan kehidupan sosial dan ekonomi rakyat menjadi terpuruk.

Banyak rakyat yang menderita kekurangan sandang dan pangan, kelaparan. Barang-barang kebutuhan hidup sulit didapat oleh rakyat. 

Hasil panen padi, tiga perempat bagian harus diserahkan kepada pemerintah militer Jepang dengan harga murah. Ada kalanya pihak Jepang merampas hampir semua hasil panen padi. Tindakan itu merupakan salah satu faktor yang menimbulkan pemberontakan rakyat.

Pengaturan pangan dan tenaga kerja secara paksa, dan kekacauan umum di bidang ekonomi, mengakibatkan timbulnya kelaparan dan masyarakat berada pada posisi yang jauh dari kata sejahtera, terutama pada tahun 1944 dan tahun 1945.

Angka kematian meningkat dan kesuburan menurun. Dapat dikatakan, selama pendudukan Jepang, Cirebon merupakan suatu negeri dengan tingkat penderitaan, kelaparan, inflasi dan kematiannya sangat ekstrim.

Baca Juga: Jepang Masuk Ke Cirebon

Pengirim Artikel : Anisa Anggraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon

Posting Komentar untuk "Kondisi Ekonomi Cirebon Zaman Jepang"