Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cut Nyak Dien, Pejuang Wanita Berdarah Minang

Orang Minang Sudah tidak diragukan lagi kiprahnya, pengaruhnya menyebar kemana-mana termasuk berpengaruh besar tehadap Kesultanan Aceh, hal ini tentu bukan hal yang mengada-ada, sebab Kesultanan Aceh pernah diprintah oleh Sultan dari tanah Minang (Sultan Buyung Indrapuri). 

Salah satu tokoh penting dari Kesultanan Aceh yang berdarah Minang adalah Cut Nyak Dien. Dinyatakan demikian karena Cut Nyak Dien adalah Putri dari Teuku Nata Seutia yang tak lain merupakan keturunan Datuk Makdum Sakti, tokoh Minangkabau yang merantau ke Kesultanan Aceh Darussalam.  

Cut Nyak Dien

Sebagaimana orang dengan berdarah Minang kebanyakan, maka Cut Nyak Dien pun mempunyai kecerdasan yang luar biasa serta teguh dalam pendirian. Maka tidak mengherankan pula tokoh ini dikemudian hari menjadi pemimpin pejuang yang cerdas dan berani meski ia seorang wanita. 

Perjuangan Cut Nyak Dien

Ketika Belanda menjajah Aceh, selain memporak porandakan Istana dan memaksa Sultan Aceh mengungsi pada 1874, Blanda juga menyerang wilayah-wilayah Kerajaan Aceh yang tidak mau mengakui kekuasaan Belanda atas Aceh. 

Salah satu wilayah bawahan Kerajaan Aceh yang memilih setia pada Sultan Aceh yang sebetulnya sedang dalam pelarian itu adalah Wilayah VI Mukim. Daerah tersebut merupakan daerah kekuasaan Teuku Nata Seutia, ayahanda Cut Nyak Dien. 

Karena persenjataan Belanda lebih mutakhir, maka serangan Belanda pada Wilayah VI Mukim tidak sanggup dibendung oleh Teuku Nata dan pasukannya, sehingga mereka termasuk didalamnya Cut Nyak Dien dan Suaminya mengungsi menyelamatkan diri. 

Meski dalam pengungsian, orang-orang Aceh dari Wilayah VI Mukim terus melakukan perlawanan secara grilya terhadap Belanda, mereka bergabung dengan para pejuang Aceh lainnya, akan tetapi dalam suatu pertempuran, Ibrahim Lamnga Suami dari Cut Nyak Dien wafat terbunuh oleh Belanda pada 1878. 

Wafatnya Ibrahim Lamnga oleh Belanda membuat Cut Nyak Dien berkobar-kobar amarahnya terhadap Belanda, karena selain merebut wilayah kekuasaan keluarga serta menjajah negaranya, Belanda juga telah membunuh orang yang ia cintai. 

Aturan perang kala itu memang tidak menguntungkan wanita, sehingga manakala Teuku Umar meminang Cut Nyak Dien dengan mahar mengizinkan Cut Nyak Dien berperang melawan Belanda, maka lamaran tersebut langsung disetujui oleh Cut Nyak Dien. 

Selepas menikah dengan Teuku Umar (1880), Cut Nyak Dien dengan setia mendampingi suami keduanya itu dalam berbagai pertempuran dengan Belanda, namun pada 11 Februari 1899, Teuku Umar wafat terbunuh dalam suatu penyergapan yang dilakukan oleh Belanda. 

Akhir Hayat Cut Nyak Dien

Sepeninggal suami keduanya, Cut Nyak Dien tetap berjuang melawan Belanda bersama pengikut kecilnya. 

Usia Cut Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya kepada Belanda karena iba.

Foto Asli Cut Nyak Dien, Diambil Ketika Ditangkap Belanda
 
Selepas Pang Laot memberitahukan persembunyian Cut Nyak Dien, pahlawan wanita berdarah Minang itupun akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. 

Setelah tiba di Banda Aceh, Cut Nyak Dien Di dirawat oleh Belanda, selepas itu berangsur-angsur penyakitnya mulai sembuh. Namun, karena keberadaan Cut Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya kemudian diasingkan oleh Belanda ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. 

2 komentar untuk "Cut Nyak Dien, Pejuang Wanita Berdarah Minang"

  1. Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman yang pada saat itu adalah wilayah dari kesultanan aceh ( mohon pelajari lagi sejarah jangan buat opsi yang menyesatkan untuk masyarakat,)

    BalasHapus

Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.