Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Abdul Xarim Dalang Pembunuhan Para Sultan Melayu Sumatra Timur

Tahun 1946 terjadi huru-hara di Keresidenan Sumatra Timur, huru-hara tersebut mengakibatkan para Sultan dan Kerabat Kesultanan di wilayah itu terbunuh secara kejam. 

Secara umum orang-orang yang melakukan eksekusi mati adalah masa buruh yang dimobilisasi orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam sejarah Indonesia, peristiwa ini dikenal dengan istilah Revolusi Sosial Sumatra Timur. 

Mekipun yang melakukan pembunuhan para Sultan dan Kerabat Kesultanan Sumatra Timur adalah para buruh, akan tetapi yang menjadi dalang dari peristiwa kebrutalan itu adalah Abdul Xarim, ia merupakan Komisaris CC-PKI Sumatra.

Abdul Xarim

Keresidenan Sumatra Timur merujuk pada daerah jajahan Belanda yang didalamnya diperintah oleh empat Kesultanan, yaitu (1) Kesultanan Langkat (2) Kesultanan Deli (3) Kesultanan Asahan, dan (4) Kesultanan Serdang. 

Keresidenan Sumatra Timur

Sebelum kedatangan Jepang pada Tahun 1943, Keresidenan Sumatra Timur adalah wilayah jajahan Belanda yang kaya raya, keempat Sultan yang memerintah dizaman Belanda hidupnya bergelimang harta, karena Sultan oleh Belanda dimanjakan dengan kepemilikan saham perkebunan dan ladang-ladang minyak yang dibuat Belanda. 

Ketika Jepang menjajah Sumatra Timur yang terjadi justru sebaliknya, perkebunan dan ladang-ladang minyak dirampas oleh Jepang, sehingga empat Kesultanan yang ada di Sumatra Timur hingga tahun 1945 hidup dalam tekanan dan kemelaratan.

Tahun 1945, Jepang menyerah pada Sekutu, dan dalam kaitannya dengan itu, sekutu mengembalikan Indonesia termasuk didalamnya Keresidenan Sumatra Timur kepada Belanda, menanggapi hal semacam ini para Sultan di Keresidenan Sumatra Timur justru menyambut dengan riang gembira kedatangan kembali Belanda di Sumatra Timur.

Sambutan dan dukungan Para Sultan Sumatra timur membuat pejuang Republik Indonesia merasa geram, sebab bukannya mendukung Republik Indonesia yang diproklamirkan pada Tahun 1945, para Sultan di Sumatra Timur justru malah mendukung penjajahan Belanda tetap abadi di Sumatra Timur.

Hingga tahun 1946, para Sultan di Keresidenan Sumatra Timur sikapnya terus mendukung Belanda, hal inilah yang dikemudian hari memaksa tokoh-tokoh Republik Indonesia di Sumatra harus segera mengambil tindakan. 

Kala itu para pejuang Republik terpecah menjadi dua, ada yang melakukan pendekatan diplomasi dengan cara membujuk Para Sultan Sumatra Timur agar mendukung Republik, ada juga yang berlaku ekstrim dengan cara melakukan pengancaman dan pembubaran Institusi Kesultanan apabila mereka tetap mendukung Belanda, secara umum orang-orang yang bergerak ekstrim itu adalah mereka yang berasal dari Partai Komunis Indonesia.

Sebelum tragedi Revolusi Sosial Sumatra Timur meletus, Komisaris CC PKI Sumatra, Abdul Xarim memberikan ancaman kepada Para Bangsawan di Sumatra Timur (Maksudnya Para Sultan) dan himbuan kepada pendukungnya mengenai tindakan apa yang harus dilakukan kepada bangswan yang pro Belanda. Ancaman yang dimaskud diberitakan dalam Harian Soeloeh Merdeka yang berkedudukan di Ibukota Keresidenan Sumatra Timur (Medan), adapun isi dari ancaman tersebut adalah "Semua Penghianat Dan Kaki Tangan Musuh Akan Dipotong Lehernya" (Sinurat, 2017). 

Kiprah Abdul Xarim sebagai dalang Pembunuhan Para Sultan dan Kerabatnya di Sumatra Timur itu juga terpantau oleh Intelejen Belanda. Dalam laporannya, Intelejen Belanda menyebutkan jika "Abdul Xarim adalah dalang, penghasut dan Ketua Teororis yang berkedudukan di Medan (Hanif Harahap dan Dini Ramadhani 2019, Hlm 77). 

Ancaman dan himbauan Abdul Xarim pada para Bangsawan dan Pengikutnya itu akhirnya betul-betul terjadi. Masa buruh yang dimobilisiasi Partai Komunis akhirnya menyerbu empat Istana dan menangkapi Sultan dan Kerabatnya, kemudian diantara mereka dibunuh dengan cara dipotong lehernya. Meskipun begitu tidak semua Sultan dari keempat Kesultanan di Sumatra Timur yang wafat terbunuh, karena sebagaiannya ada yang mendapatkan perlindungan Belanda, sementara yang terbunuh umunya dikarenakan keterlambatanan Belanda dalam melindungi. 

Sultan dan Kerabat Kesultanan yang selamat adalah Sultan Deli dan Kerabatnya, mereka selamat dari upaya pembunuhan karena di daerah itu ada Benteng Sekutu dan Belanda yang berjaga-jaga. 

Kemudian Sultan Serdang juga selamat karena masa yang hendak membunuh dan menduduki Keraton dihalang-halangi TRI (Tentara Republik Indonesia) TRI bisa meyakinkan masa jika Sultan Serdang Pro Republik. 

Sementara itu, Sultan dan Kerabat Kesultanan yang tidak selamat dan banyak terbunuh oleh aksi masa buruh yang dimobilisisasi PKI adalah Sultan dan Kerabat Kesultanan Asahan, dalam peristiwa ini sebanyak 140 orang Kerabat Raja dibunuh dengan kejam.

Tidak berbeda dengan Sultan dan Kerabat Kesultanan Asahan, Sultan dan Kerabat Kesultanan Langkat juga menuai nasib yang sama, Sultannya dibunuh, istana diduduki, bahkan dua orang Putri Sultan Langkat diperkosa oleh masa. 

Huru-hara yang didalangi oleh Abdul Xarim pada 1946 itu mencengangkan banyak pihak, termasuk mencengangkan pihak Republik Non PKI, mereka menyangkan kejadian tersebut, namun tidak dapat dipungkiri dari peristiwa itu Para Sultan dan Feodal lain yang ada di Indonesia harus berfikir ulang jika tetap mendukung Belanda ketimbang mendukung Republik. 

Lebih dalam mengenai siapa itu Abdul Xarim, baca dalam : Abdul Xarim, Agen Komunis Kalahiran Aceh

Posting Komentar untuk "Abdul Xarim Dalang Pembunuhan Para Sultan Melayu Sumatra Timur"