Jenis-Jenis Hukuman Pidana di Kesultanan Cirebon Pada Masa Sunan Gunung Jati
Tegak dan teraturnya tatanan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah soal hukum, adanya kejelasan hukum bagi pelaku kejahatan tertentu disuatu Negara dapat mempengaruhi seseorang untuk taat pada hukum, sehingga dengan banyaknya masyarakat yang sadar dan taat hukum itulah tatanan masyaraat dalam suatu Negara berjalanan dengan baik. Begitpun dalam sejarah berdirinya kerajaan Cirebon.
Sebagai salah satu kerajaan yang bercorak Islam, Cirebon tentunya memiliki aturan atau hukum tersendiri dalam menjalankan roda pemerintahannya. Meskipun Cirebon waktu itu merupakan Kerajaan Islam, akan tetapi rupanya hukum-hukum didalamnya terutamanya hukum syariat mengenai pidana bagi pelaku kejahatan rupanya tidak secara ketat diterapkan, hal ini ada kemungkinan karena pada waktu itu masyarakat Cirebon belum betul-betul memeluk Islam dengan sempurna serta kondisi masyarakat yang belum mampu secara sosial menjalankan humum syariat, sehingga hukum jenis Hudud (Qisos) belum secara sempurna ditetapkan.
Pembahasan mengenai hukum-hukum pidana yang direpkan di wilayah Kerajaan Cirebon tersebut di informasikan dalam naskah Mertasinga. Tepatnya pada Pupuh XLVII.09-XLVII.12. Dalam naskah ini dijelaskan bahwa, Cirebon tidak menerapkan hukuman cambuk maupun rajam bagi pelaku zina.
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Cirebon Masa Pendirian, Kejayaan Dan Kemunduran
Selain itu, dalam naskah tersebut juga dijelaskan bahwa Cirebon juga tidak menerapkkan hukum potong tangan bagi pencuri, pencuri di Cirebon hanya dijatuhi hukuman dirante (di ikat/dipasung) atau dipenjara bagi pelakunya. Sementara itu hukuman mati digunakan di Cirebon untuk para pembunuh. Adapun yang menjadi hakim pemutus hukuman bagi para pelaku kejahatan di Cirebon adalah Pangeran Kejaksan, yang tinggal di derah Kejaksan.
Dalam Naskah Mertasinga Pupuh XLVII.09-XLVII.12 juga di informasikan bahwa hukuman cambuk, rajam, potong tangan bagi pencuri, dan hukuman mati terhadap pembunuh diberlakukan secara penuh di Demak, Bonang, Kudus dan Gersik.
Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa hukum Qisos diterapkan secara ketat hanya bagi pelaku kejahatan berat, seperti pembunuh, perampok yang menyebabkan terbunuhnya korban dan kejahatan-kejahatan berat lainnya, sementara kejahatan kecil seperti mencuri tidak dijatuhi hukum qisos (potong tangan), hal ini menurut hemat penulis amatlah wajar karena pada waktu itu kondisi masyarakat Cirebon kemungkinan banyak dihuni oleh orang-orang miskin yang kadang-kadang juga mengharuskan mereka untuk mencuri karena lapar atau khilaf, sehingga Kerajaan Cirebon menghapuskan hukum Qisos untuk jenis kejahatan kecil mengingat kondisi msyarakat waktu itu masih memprihatinkan.
Sebagai salah satu kerajaan yang bercorak Islam, Cirebon tentunya memiliki aturan atau hukum tersendiri dalam menjalankan roda pemerintahannya. Meskipun Cirebon waktu itu merupakan Kerajaan Islam, akan tetapi rupanya hukum-hukum didalamnya terutamanya hukum syariat mengenai pidana bagi pelaku kejahatan rupanya tidak secara ketat diterapkan, hal ini ada kemungkinan karena pada waktu itu masyarakat Cirebon belum betul-betul memeluk Islam dengan sempurna serta kondisi masyarakat yang belum mampu secara sosial menjalankan humum syariat, sehingga hukum jenis Hudud (Qisos) belum secara sempurna ditetapkan.
Pembahasan mengenai hukum-hukum pidana yang direpkan di wilayah Kerajaan Cirebon tersebut di informasikan dalam naskah Mertasinga. Tepatnya pada Pupuh XLVII.09-XLVII.12. Dalam naskah ini dijelaskan bahwa, Cirebon tidak menerapkan hukuman cambuk maupun rajam bagi pelaku zina.
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Cirebon Masa Pendirian, Kejayaan Dan Kemunduran
Selain itu, dalam naskah tersebut juga dijelaskan bahwa Cirebon juga tidak menerapkkan hukum potong tangan bagi pencuri, pencuri di Cirebon hanya dijatuhi hukuman dirante (di ikat/dipasung) atau dipenjara bagi pelakunya. Sementara itu hukuman mati digunakan di Cirebon untuk para pembunuh. Adapun yang menjadi hakim pemutus hukuman bagi para pelaku kejahatan di Cirebon adalah Pangeran Kejaksan, yang tinggal di derah Kejaksan.
Dalam Naskah Mertasinga Pupuh XLVII.09-XLVII.12 juga di informasikan bahwa hukuman cambuk, rajam, potong tangan bagi pencuri, dan hukuman mati terhadap pembunuh diberlakukan secara penuh di Demak, Bonang, Kudus dan Gersik.
Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa hukum Qisos diterapkan secara ketat hanya bagi pelaku kejahatan berat, seperti pembunuh, perampok yang menyebabkan terbunuhnya korban dan kejahatan-kejahatan berat lainnya, sementara kejahatan kecil seperti mencuri tidak dijatuhi hukum qisos (potong tangan), hal ini menurut hemat penulis amatlah wajar karena pada waktu itu kondisi masyarakat Cirebon kemungkinan banyak dihuni oleh orang-orang miskin yang kadang-kadang juga mengharuskan mereka untuk mencuri karena lapar atau khilaf, sehingga Kerajaan Cirebon menghapuskan hukum Qisos untuk jenis kejahatan kecil mengingat kondisi msyarakat waktu itu masih memprihatinkan.
Posting Komentar untuk "Jenis-Jenis Hukuman Pidana di Kesultanan Cirebon Pada Masa Sunan Gunung Jati"
Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.