Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kiyai Sa'id Gedongan Dan Larangan Memakan Ikan Pari

Enam tahun penulis tinggal di Pesantren Gedongan, Gedongan merupakan dusun yang berisi beberapa Pesantren, Gedongan ini adalah dusun/blok yang masuk pada wilayah Desa Ender Kecamatan Pangenan. Dahulu waktu penulis berdiam di pesantren Ini (Tahun 1996-2000) Ender masuk pada wilayah Kecamatan Astana Japura. 

Penulis kebetulan pada waktu itu tinggal di Pondoknya Kiyai Idris dan Nyai Soimah, Kiyai Idris merupakan Putra pertama Kiyai Subkhi dan Nyai Fatimah Siraj. Dengan demikian Kiyai Idris ini merupakan Cucu Dari Kiyai Siraj Bin Kiyai Muhamad  Sa’id, pendiri pesantren Gedongan. 
Baca Juga
Waktu di Pesantren Gedongan, penulis menghabiskan hari-hari dengan bermain, bersosialisasi dengan penduduk Gedongan dari mulai nonton TV sampi minta makan, sementara sisanya dihabiskan untuk sekolah dan ngaji. Dalam sosialisasi dengan masyarakat Gedonga itulah penulis menemukan hal-hal yang menarik dari Penduduk Gedongan.

Hal-hal yang menaik itu diantaranya, Penduduk Gedongan pada umumnya mempunyai pengetahuan agama yang baik, mereka dari kecil sudah ngaji ke kiyai-kiyai yang tersebar di Gedongan, bahkan banyak juga yang kemudian melanjutkan ke pesantren-pesantren luar Gedongan, tapi anehnya sepinter apapun orang Gedongan mereka umumnya tidak mau mendirikan Pesantren, paling banter Cuma membantu ngajar di Pesantren-Pesantrennya para Kiyai di Gedongan, alasannya karena mereka tidak mau melangkahi anak turunan Kiyai Sai’d. 

Perlu dipahami bahwa penduduk Asli Gedongan ini dahulunya merupakan santri-santrinya Kiyai Sa’id yang diberi tanah untuk kemudian ditinggali, jadi anak turunan Santrinya Kiyai Sai'd ini juga nantinya menaruh hormat yang besar pada Kiyai-Kiyai di Gedongan yang umumnya Keturunan Kiyai Sai’d. Sungguh mengagumkan memang ketawadu’an orang Gedongan ini. 

Selain hal yang telah disebutkan di atas, ada hal lain yang menarik dari orang Gedongan, mereka punya pantangan dalam makan, mereka pantang makan Iwak Cucut/Pe (Ikan Pari), pantangan ini disebutkan turun dari generasi ke genarasi dan berkaitan dengan peristiwa berangkat Hajinya Kiyai Sai’d  (Versi Lain Menyatakan Kiyai Kriyan keturunan Kiyai Sai'd) ke tanah suci. Dikisahkan bahwa;
  • Ketika Kiyai Sai’d beragkat menunaikan Haji ke Tanah Suci, kapal laut yang ditumpangi beliau ditengah-tengah perjalanan karam, terang saja seluruh penumpang Kapal itu hanyut ditelan air, namun Kiyai Sai’d yang pada waktu itu ikut tenggelam ternyata kemudian selamat, sebab beliau berhasil merebahkan badanya ke Badan Ikan Pari berukuran besar dan terus memegangi badnya dengan kuat. Ikan Pari itu seperti menggendong Kiyai sai'd, bahkan kemudian membawa Kiyai Sai’d ke pantai, dan karena peristiwa inilah kemudian Kiyai Sa’id selamat dari maut dan kemudian berhasil melanjutkan perjalanan ke tanah Suci. 
Setelah kembalinya Kiyai Sa’id dari tanah suci kemudian beliau menceritakan kejadian tersebut pada para santri dan keluarganya, kemudian beliaupun menganjurkan agar anak turunan serta santri-santriya menghindari memakan Ikan Pari (Bukan Mengharamkan) hal tersebut dilakukan sebagai rasa terimakasih kepada Ikan Pari yang menyelamatkan beliau sewaktu melaksanakan Ibdah Haji ke tanah suci.  

Titah Kiyai Sai'd mengenai larangan atau menghindari memakan Ikan Pari ini kemudian dipatuhi oleh ketrunan Kiyai Sa’id dan Santri-santrinya yang kelak menjadi Penduduk Dusun Gedongan hingga kini. 
Ikan Pari dikenal oleh masyarakat Cirebon pada umumnya dengan sebutan ikan cucut atau ikan pe atau kadang juga disebut panjelan, sebab memang biasanya Ikan Pari ini umumnya dipotong kecil-kecil, potongan yang kecil-kecil tersebut belakangan diasinkan dengan cara dikeringkan setelah sebelumnya dilumuri garam sehingga namanya menjadi Ikan Cucut, atau juga yang tidak diasinkan bisanya disebut Panjelan. Demikianlah kisah mengenai asal-usul yang kemudian menjadi cirri khas tersendiri bagai masyarakat dusun Gedongan Desa Ender Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon.