Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sepotong Dendam Keluarga Nabi Pada Rezim Mu’awiyah

Masyarakat Arab dalam sejarah dikenal kental akan ke sukuannya, tertumpahnya darah seseorang dari suku atau sub suku tertentu bisa menyebabkan perang antar suku terjadi. Semakin hebat suku tertentu maka semakin ditakuti, adapun semakin lemah suku tertentu maka semakin lemah pula posisinya.

Dalam sejarah awal penyebaran agama Islam, disebutkan bahwa ketidak mampuan orang-orang Kafir Mekah untuk mencelakai Nabi Muhamad diantaranya disebabkan oleh ketakutan mereka terhadap keluarga Nabi.

Nabi Muhamad terlahir sebagai orang Mekah berasal dari Suku Qurays, suku yang terkuat di zamanya. Adapun Sub Sukunya adalah Sub Suku Hasyim, atau orang Arab menyebutnya Bani Hasyim, Sub Suku yang paling agamis dan dituakan dalam lingkup Suku Qurays.

Faktor kehebatan keluarga Nabi Muhamad itu pada nyatanya yang mula-mula membuat ketar-ketir orang-orang Kafir Mekah untuk melukai atau hanya sekedar menghujat Nabi Muhamad, maka tidak mengherankan jika dalam sejarah Islam disebutkan orang-orang Kafir Mekah hanya mampu menyiksa  orang-orang Islam dari kelas orang rendahan, seperti Budak, Keluarga dari Suku pendatang dan lain sebagainya.

Setelah Nabi Muhamad berhasil mengislamkan seluruh Mekah, bahkan seluruh zazirah Arab, semua Sub Suku dari Bani Hasyim dikenal sebagai sebagai Keluarga Nabi atau “Ali Bayt” terutamanya keturunan dari Kakek Nabi Muhamad, atau paman-paman Nabi Muhamad, semisal Abu Thalib Bin Abdul Muthalib (Bapaknya sahabat Ali Krw), Hamzah bin Abdul Muthalib, Abbas Bin Abdul Muthalib dan lain sebagainya.

Selepas kemangkatan Nabi, tampuk kekuasaan dalam pemerintahan Islam berturut-turut selama 30 tahun di pegang oleh murid atau sahabat Nabi yang utama, yaitu Abu Bakar, Ustman, Umar dan Ali. Meskipun hanya Ali saja yang termasuk kedalam keluarga Nabi, tapi pada umumnya pemerintahan Islam pada zaman empat khalifah tersebut cenderung setabil, tidak ada geger soal pertentangan waris kekuasaan.

Geger soal waris kekuasaan dalam tampuk pemerintahan islam baru terjadi pada akhir pemerintahan Ustman dan awal mula pemerintahan Ali, dimana Muawiyah Bin Abu Sofyan seorang Gubernur Syiria yang sudah diangkat menjadi gubernur semenjak Khalifah Ustman melakukan pembangkangan. Ia memberontak pada Khalifah Ali.

Pemberontakan itu pada akhirnya dapat merebut kekuasaan Islam dari tangan keluarga Nabi, bahkan dalam peristiwa akhir dari drama pengambil alihan kekuasaan dari keluarga Nabi itu memakan korban Husain, anak terakhir Ali yang kala itu masih hidup, Husain terbunuh dalam peristiwa penyerangan di Karabala.

Ketika Muawiyah secara total dapat mengambil alih jabatan Khalifah dari tangan keluarga Nabi, sistem pemerintahan dalam Islampun kemudian berubah darsits, jika dahulu Khalifah ditunjuk berdasarkan musyawarah, atau penunjukan berdasarkan kredibilitas dan kecakapan dalam Agama dan kepemimpinanya, maka dalam zaman Muawiyah jabatan Khalifah diperoleh turun temurun.

Hanya keturunan Muawiyah yang kemudian dapat menjabat sebagai Khalifah. Zaman kekuasaan islam ditangan keluarga Muawiyah itu kemudian dikenal dalam sejarah dengan masa pemerintahan Dinasti/Rezim Muawiyah.

Pada masa dinasti Muawiyah, berangsur-angsur orang-orang dari keluarga Nabi disingkirkan dari jabatan-jabatan strategis pemerintahan, sebut saja Abdullah bin Abbas, gubernur Basrah  yang diangkat pada masa kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib disingkirkan dari jabatannya, juga Ubaidillah bin Abbas, gubernur di Yaman pada masa kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib juga diberhentikan secara tidak hormat karena dianggap masih keluarga Nabi, dan masih banyak lagi orang-orang dari keluarga Nabi yang kemudian disengsarakan.

Kesemena-menaan rezim Muawiyah pada Keluarga Nabi itu kemudian menyuburkan Sekte Syiah, sekte yang pada mulanya dihuni oleh para pendukung Fanatik Ali bin Abi Thalib. Gabungan Sekte Syiah dengan Keluarga Nabi dan Para pengikut setianya itu kemudian membentuk oposisi.

Oposisi yang secara financial maupun paham keagamaan siap kapanpun menerkam dan menumbangkan rezim Muawiyah dari tampuk kekuasaan.

Setelah 80 tahun Rezim Muawiyah memerintah, barulah kemudian keluarga Nabi khususnya dari anak keturunan Abbas bin Abdul Muthalib yang dibantu oleh orang-orang yang merasa sakit hati terhadap rezim Muawiyah termasuk didalamnya sekte Syiah melakukan pemberontakan.

Singkat cerita pemberontakan itu kemudian mencapai titik kemenangan, dan dalam kemenangan itu kemudian muncul sepotong dendam keluarga Nabi dan para pengikutnya pada rezim Mu’awiyah yang dilampiaskan secara kebablasan.
Ilustrasi Kehancuran Damaskus, Ibukota Kekhalifan Dinasti Muawiyah
Mereka membumi hanguskan damskus Ibukota Kekhalifahan Muawiyah, Istana dihanguskan, seluruh kota mencekam, hanya masjid yang dibiarkan tetap utuh, tidak sampai situ saja, seluruh keturunan muawiyah yang ditemui dibunuh secara semena-mena, bahkan makam para Khalifah dinasti Muawiyah yang menelurkan 14 Khalifah dibongkar, tulang belulangnya dicongkel dan dibakar, abunya kemudian ditaburkan ke udara disertai dengan tawa puas penuh dendam.

Kisah mengenai perbuatan pembumi hangusan keluarga rezim Umayah tersebut dikisahkan oleh Ibnu Atsir dalam kitabnya al-Kamil fit Tarikh yang menyatakan bahwa;
“Kuburan Muawiyah bin Abi Sufyan dibongkar, tetapi usaha mereka sia-sia, karena tidak ditemukan apa-apa. Lalu kuburan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan dibongkar juga. 
Mereka menemukan sepotong tulang yang sudah berubah menjadi mirip arang. Lalu dibongkarlah kuburan Abdul Malik bin Marwan dan mereka hanya menemukan tengkoraknya. Dari satu kuburan ke kuburan lain, mereka tidak menemukan banyak hal kecuali potongan-potongan tubuh. 
Terkecuali jenazah Hisyam bin Abdul Malik. mayatnya ditemukan hampir utuh, kecuali ujung hidungnya yang somplak. Mayat itu lalu didera, disalib, dibakar, lalu hilang ditelan angin. 
Al-Saffah juga melakukan pengejaran terhadap seluruh sanak keluarga dan pendukung Bani Umayyah. Ia menghabisi mereka semua, kecuali anak-anak yang masih menyusu dan mereka yang telah melarikan diri ke Andalusia.”
Sejarawan Islam lainnya, seperti Al Mas'udi didalam kitabnya Al Muruuj al-Dzahab juga menceritakan dengan sangat rinci mengenai peristiwa yang mencengangkan itu, ia menuliskan dalam kitabnya;
"Masu'di berkata-Haitsam bin Uday at-Tha'i meriwayatkan kisah dari Amru bin Hani', ia berkata : Kami pergi mencari kuburan pemuka Umayyah pada masa Abu Abbas al-Saffah. Hanya mayat Hisyam yang kami temukan masih utuh, kecuali bagian hidungnya. 
Abdullah bin Ali mengeluarkannya, melecutnya 80 kali, lalu membakarnya. Jenazah Sulaiman kami keluarkan dari perkuburan Dabiq. Yang tersisa memang hanya tulang belakang, tulang rusuk, dan tengkoraknya. Tapi kami membakarnya. Kami masih melakukan hal serupa terhadap setiap keluarga Umayyah, terutama di komplek pekuburan Qinasrin. Petualangan kami berakhir di Damaskus. 
Di sana kami menemukan kuburan al-Walid bin Abdul Malik. Tapi kami tak menemukan apa-apa secuil pun. Kami juga menggali kuburan Abdul Malik, tapi tidak menemukan hal lain, kecuali sebagian tengkorak kepalanya. 
Lalu kami lanjutkan dengan penggalian kuburan Yazid bin Muawiyah, tapi kami hanya menemukan sepotong tulang. Dan di sepanjang liang lahatnya kami menemukan garis hitam seperti ditorehkan arang. Kami masih memburu jenazah-jenazah keluarga Umayyah di seantero negeri dan membakar apa yang terjumpa dari jenazah mereka.”
Petikan Kisah Pemusnahan Mayat Dalam Kuburan Dinasti Muawiyah Dalam Kitab Al Muruuj al-Dzahab
Begitulah kisah sepotong dendam keluarga Nabi, yang diwakili oleh Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul-Muththalib bin Hasyim yang kelak menjadi Khalifah pertama dinasti Abasiah itu. Abdullah bin Abbas kemudian terkenal dengan julukan Assafah (السفاح) yang mempunyai maksud sang penjagal, karena beliau ini dikenal sebagai penjagal rezim Muawiyah dan musuh-musuhnya untuk mencapai kekuasaan.

Pelajarannya adalah bahwa ketidak adilan yang dilakukan rezim Muawiyah terhadap "Ali Bayt Nabi"  dan pengikutnya menimbulkan dendam yang membatu, sementara dendam yang membatu apabila diajarkan dan ditularkan pada anak keturunan dengan terus-terusan menimbulkan kebencian yang sangat. dan kebencian yang  melampui batas itupun pada akhirnya akan melahirkan tindakan ketidak adilan juga.

Penulis: Bung Fei
Editor : Sejarah Cirebon

2 komentar untuk "Sepotong Dendam Keluarga Nabi Pada Rezim Mu’awiyah"

  1. assalammu'alaikum
    bukankah kitab-kitab itu kebanyakan tak jelas kebenarannya? misalnya kitab Muruj al-Dzahab ditulis pada tahun 332 H/943 dan pada tahun 336 H/947 dan tahun 354 H/965 direvisi. Nama Mas'udi menjadi tenar karena secara luas digunakan oleh para orientalis untuk menggembosi sejarah islam.
    wallahua'alam

    BalasHapus
  2. Tidak ada keturunan Nabi yang ikut dalam penggulingan bani umayah. Tapi mmg dendam dari Abd bin Ali dan kelompoknya terjadi karena peristiwa penyerbuan oleh pssukan Yazid ke Madinah dan memberi ijin pasukannya utk berbuat apa saja selama 3 hari. Sebuah peristiwa kelam n kejam yg sama sekali tdk ada nilai islamnya sama sekali. Sama dgn kelskuan prajurit Rumawi. Konon lbh dari 1000 wanita melahirkam tanpa ayah. Dan saat penyerbuan itulah Abd. bin Ali lahir. Pasukan ini dibantu oleh kaum syiah yg dimusuhi Muawiyah. Dan saat dinssti Abasyiah berdiri justru terjadi bsnyak pbunuhan n pdrburuan atas keturunan Nabi. Jadi ini judul kurang pas menurut saya untuk Rasul dsn dzuriyahnya. Sebaiknya diganti

    BalasHapus

Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.