Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Arti Filosofis Dibalik 4 Tokoh Punakawan Dalam Wayang

Dalam dongengan sesepuh  masyarakat Cirebon, dikisahkan bahwa dalam rangka menyebarkan agama Islam diwilayah Cirebon para mubaligh menemui hambatan dan cobaan yang berat, awalnya banyak penentangan dimana-mana khususnya dari para penguasa lokal yang belum menerima Islam. Bahkan meskipun penyebaran Islam dilakukan dengan menggunakan pendekatan budaya seperti dengan pagelaran pertunjukan wayang, tetap saja pertunjukan wayang yang digelar oleh para mubaligh Islam itu di cekal bahkan sampai diobrak-abrik oleh para penentangnya.

Umumnya, banyak orang Cirebon yang menduga-duga bahwa pencekalan dakwah Islam tempo dulu oleh para penguasa lokal disebabkan oleh ketidak sukaan mereka terhadap Islam, asumsi-asumsi itu didasarkan pada pandangan umum. Poinnya bahwa karena tidak suka maka ya ditolak atau dilarang, begitu anggapannya. Jadi karena mereka tidak suka Islam maka pertunjukan wayang yang digelar orang Islam ya harus dicekal, tidak boleh tidak, begitu kesimpulan anggapannya.

Yang menjadi pembahasan selanjutnya adalah apakah sepicik itu para pembesar Pajajaran termasuk didalamnya pembesar kerajaan di wilayah Cirebon waktu itu dalam beragama..? sehingga melarang-larang perkembangan agama baru (Islam) diwilayah kekuasaannya, betulkah karena  kepicikanya dalam beragama itu menyebabkan diobrak-abriknya pertunjukan wayang yang digelar para mubaligh Islam ?

Anggapan yang menjurus pada kepicikan para penguasa Pajajaran di wilayah kekuasaannya terhadap Islam ini sepertinya bertentangan dengan fakta-fakta lain, mengingat dalam sejarah kerajaan Pajajaran sendiri dikisahkan bahwa Prabu Siliwangi amat begitu menghormati orang-orang Islam diwilayah kekuasaannya, bahkan salah satu Istri Prabu Siliwangi sendiri (Subang Larang) merupakan santri dari ulama terkenal (Syekh Qura) di Karawang. Meskipun demikian memang juga ada catatan bahwa Kerajaan pajajaran pernah membatasi dakwah Islam diwilayah Kerajaannya, tapi itu setelah Pajajaran dipengaruhi Portugis, bukan murni unsur agama dan budaya tapi unsur politik dan kekuasaan.

Lalau kalau sudah demikian, kira-kira sebab apa dahulu para penguasa lokal di wilayah Pajajaran dikisahkan hobi mencekal pertunjukan wayang yang digelar oleh mubaligh Islam..?, jawaban yang paling masuk akal menurut penulis adalah karena mubaligh Islam mengubah-ubah kisah pewayangan jauh dari pakem budaya asalnya. Sehingga mereka marah, hilang kendali, dan untuk kemudian mengamuk, mecekal bahkan sampai mengobrak abrik pertunjukan wayang yang sedang atau akan digelar para mubaligh Islam.

Hal-hal yang diubah-ubah dari wayang yang dilakukan oleh para Mubaligh Islam itu memang tergolong mampu membuat sewot para pemangku budaya, penguasa sampai pada pemuka agama non Islam waktu itu, bagaimana tidak, alunan lagu “walele-walele-walele” dalam sela-sela pertunjukan wayang diubah menjadi “Lailla-Ha Illallah, Muhamadu Rasulullah”.

Atau arti Dalang yang dahulunya hanya bermaksud sutradara wayang, dimaknai oleh para mubalig Islam dengan maksud “Dalla” yang berasal dari bahasa Arab yang maksudnya “Penunjuk [Kebenaran Islam]”, atau kisah pewayangan yang digubah, dibuat baru, seperti kisah Cungkring Jadi Raja” bagi mereka yang masih menganut sistem kepercayaan mansusia berkasta, tentu hal itu membahayakan sebab bagi mereka “cungkring selamanya tidak bisa menjadi Raja sebab kastanya Sudra bukan Kesatria atau Brahmana”.

Itulah yang menurut hemat penulis adanya penentangan dari para penguasa lokal pada waktu itu terhadap gerakan-gerakan dakwah para mubaligih Islam. Tapi tetap saja sejarah membuktikan bahwa kebanyakan rakyat suka dengan pertunjukan itu, mereka merasa melalui tontonan wayang itu mereka menjadi tercerahkan dan terbuka hatinya, untuk kemudian lebih memilih Islam dan meninggalkan agama masa lalunya.

Ada yang unik mengenai tokh-tokoh dalam pewayangan, khususnya 4 tokoh pewayangan yang belakangan dikenal sebagai punakwan (Pembantu) para Kesatria itu. Tokoh-tokoh itu dipercayai sebagai tokoh yang diciptakan Sunan Kalijaga, ke empatnya merupakan pembantu setia para kesatria (Pandawa). Di dalam kisah sebenarnya (Mahabarata) tidak dijumpai ke 4 tokoh ini.

Para tokoh 4 Punakawan itu adalah Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng , menurut Machmoed Effendhie dalam bukunya Sejarah Budaya (2004:109), dinyatakan bahwa katanya ke empat tokoh tersebut merupakan tokoh rekaan Sunan Kalijaga, yang mana ke empatnya mempunyai arti filosofis dibalik nama-namanya.
Seperti :
Karakter Semar diambil dari bahasa Arab, “Simaa”r yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh bagai paku yang tertancap, seperti “Simaaruddunyaa”.
Karakter Petruk diambil dari bahasa Arab,” Fat-ruuk” yang artinya tingggalkan. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah, “Fatruuk-kuluu man siwallaahi”.
Karakter Gareng diambil dari bahasa Arab, "Qariin" yang artinya teman. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak- banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, “Nalaa Qaarin”.
Karakter Bagong diambil dari bahasa Arab, "Baghaa" yang artinya berontak. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.
Demikianlah pemaparan mengenai arti filosofis dibalik 4 tokoh Punakawan dalam Wayang, benar atau tidaknya arti dari ke empat punakwan tersebut memang perlu pengujian mendalam.

Posting Komentar untuk "Arti Filosofis Dibalik 4 Tokoh Punakawan Dalam Wayang"