Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Darah Dalam Pendirian Kesultanan Siak Sri Indrapura

Ditegakannya Kesultanan Siak Sri Indrapura memang penuh darah, pendiri Kesultanan yang pernah Berjaya di abad 18 itu adalah seorang Putra Mahkota Kesultanan Johor. Ayahandanya dibunuh, sehingga ia kemudian dilarikan ke Pulau Sumatra dibawah perlindungan orang-orang Minangkabau.

Setelah dididik dengan adat budaya Minangkabau yang khas, sang Putra mahkota yang terbuang itu kemudian balas dendam, ia menyerang Johor untuk merebut tahta bapaknya, perang meletus di Johor, ia pun menang dalam pertempuran, ia kemudian diangkat menjadi Sultan di Johor menggantikan Sultan yang ia gulingkan, namun dalam masa pemerintahannya, ia rupanya tidak becus mengurus Negara.

Ia akhirnya terusir, diusir oleh Rakyat Johor yang menuduhnya amatir. Berbekal kekayaan Johor yang berhasil ia timbun di dalam Kapal, ia kemudian kembali berlayar bersama pengikutnya ke Sumatra, kelak bermodalkan kekayaan Johor yang ia timbun, ia kemudian mendirikan kerajaan baru di Sumatra yang kelak disebut Kesultanan Siak Sri Indrapura.

Begitulah ringkasan kisah dari berdirinya Kesulatanan Siak, kesultanan yang didirkan karena darah dan pertempuran. Namun jika pembabca ingin mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana Kesultanan itu didirikan, maka demikianlah sejarahnya;

Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah salah satu kesultanan yang pernah berdiri di Indonesia pada abad ke 18-19 masehi. Kerajaan ini terletak di pulau Sumatra tepatnya di Provinsi Riau. Sri Indrapura yakni Kesultanan Siak  Sri Indrapura yangberdiri pada tahun 1723 M.Adapun letaknya di bibir Sungai Jantan yang berada di Kampung Gasib sebagai pusat Kerajaan Gasib.

Riwayat pendirian kerajaan Siak Sri Indrapura dimulai dari Kesultanan Johor. Sultan Mahmud Syah II (1685-1699 M) Johor mempunyai anak yang bernama Raja Kecik yang ber gelar Marhum Mangkat di Julang.

Raja Kecik dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Cik Pong puteri dari Datuk Laksemana Johor. Pada saat Raja Kecik masih dalam kandungan ibunya, ayahnya sudah terbunuh. Sebagai pengganti dari Sultan Mahmud Syah II adalah Datuk Bendahara Tun Habib dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah sebagai Sultan Johor yang ke XI.

Setelah menjadi Sultan Johor dan berkuasa, maka Sultan Abdul Jalil Riayat Syah melakukan pembersihan bagi seluruh pengikut setia kepada Sultan Mahmud Syah II, diantaranya istri dari Sultan Mahmud Syah yaitu Cik Pong.

Keadaan di Istana memanas setelah wafatnya Sultan Mahmud Syah maka Datuk Laksemana Johor membawa anaknya Cik Pong untuk beranjak keluar dari Istana dan keluar dari Johor dan tidak ada seorangpun yang mengetahui. Selama hijrahnya Cik Pong dari negeri Johor dalam pelariannya melahirkanseorang anak laki-laki dan diberi nama Raja Kecik, karena anak ini merupakan keturanan dari Sultan Mahmud Syah II.

Kelanjutan dari perjalanan Raja Kecik, kemudian Datuk Laksemana Johor menyerahkan Raja Kecik kepada Temenggung Muar agar dirawat, selama tujuh tahun lamanya Temenggung Muar merawat Raja Kecik, hingga tercium oleh pemerintahan Johor dan tidak nyaman karena orang-orang utusan Datuk Bendahara senantiasa mencari keberadaannya.

Temenggung Muar, menyerahkan Raja Kecik kepada seorang saudagar Minangkabau yang terkenal aktifitas niaganya dengan Kerajaan Minangkabau dan Jambi bernama Nakhoda Malim. Nakhoda Halim meyerahkan Raja Kecik kepada Yamtuan Sakti Pagaruyung dan dirawat serta diasuh hingga Raja Kecik berusia tujuh belas tahun. Pada akhirnya Raja Kecik tumbuh dewasa dan sangat ingin merebut kembali tahta Kesultanan Johor.

Selanjutnya Raja Kecik memulai perjalanannpanjangnya dari satu negeri ke negeri lainnya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Puteri Jamilan ibunda Yamtuan Sakti mengatakan kepada Raja Kecik bahwa lebih baik pergi ke Siak dan Bengkalis untuk menuntut bela atas kematian ayahnya dan menaklukan Johor.

Untuk melaksanakan cita-citanya, Raja Kecik mulai menghimpun dan mencari beberapa dukungan dari Suku Minangkabau, Suku Melayu di Palembang, Suku Melayu Jambi, Suku Bintan, Suku Bugis, Suku Melayu di pesisir Selat Melaka dan Suku Laut di Pulau-pulau serta menjalin hubungan dengan orang Portugis agar pihak Portugis tidak berpihak kemana-mana, dan ketika Raja Kecik ingin menyerang ke Panchor,saat itu sebagai ibukota dari Kesultanan Johor.

Pada bulan maret yang bertepatan pada tahun 1718 M, perahu-perahu angkatan perang Raja Kecik menyusuri sungai Johor untuk menyerang Panchor. Sesampainya di Johor pasukan Raja Kecik sudah menunggu dan segera mengejar rombonganYamtuan Muda Johor.

Peristiwa pengejaran ini berlangsung selama kurang lebih 20 hari pada akhirnya tepat pada tanggal 21 Maret Tahun 1718 M, akhirnya Sultan Abdul Jalil Riayat Syah kalah dan menyerah.

Raja Kecik dengan ikhlas memaafkan dan tidak ada sikap kasar sama sekali kepada Sultan Abdul Jalil Riayat Syah, bahkan Raja Kecik memberikan izin kepada Sultan Abdul Jalil Riayat Syah untuk tinggal di Johor. Kemudian dalam waktu itu pula Raja Kecikdinobatkan sebagai Sultan Johor XII dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah.

Setelah Raja Kecik naik tahta terjadi perpecahan didalam pemerintahan Kesultanan Johor, akibatnya sangat berdampak kepada rakyatnya yang selalu menimbulkan huruhara karena rakyat Johor ada berpihak kepada Raja Kecik adapula yang berpihak kepada Sultan Abdul Jalil Riayat Syah, sehingga timbul dualisme dalam satu pemerintahan.

Pada tahun 1719 M, terjadi peperangan antar rakyat Johor yang memihak kepada Sultan Abdul Jalil Riayat Syah dengan pihak Raja Kecik yang mayoritas dari orang-orang Minangkabau.

Dalam peperangan tersebut pihak Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV mengalami kekalahan dan beliau pindah ke Pahang kemudian Raja Kecik juga berpindah ke Riau. Sejak itulah Raja Kecik mulai menjalankan pemerintahan Kesultanan Johor yang baru saja direbutnya.

Kesultanan Johor terpecah menjadi tiga pusat kekuasaan yaitu, Terengganu dan Pahang sebagai daerah dibawah pemerintahan Bendahara Abdul Jalil (Sultan Abdul Jalil Riayat Syah). Sedangkan Johor, Siak, Bengkalis, dan Batu Bara di bawah pemerintahan Raja Kecik. Selain itu juga terdapat wilayah yang dikuasai orang Bugis yaitu, Selanggor, Kelang dan Lingga di bawah pemerintahan Daeng Merewah dan Daeng Manompok.

Setelah diadakan musyawarah dan menghasilkan beberapa kesepakatan, maka Raja Kecik, Orang Besarnya, Hulubalang dan beserata para pengikut setianya beranjak ke daratan Sumatera. Dalam perjalanannya sempat berhenti di Sungai Jantan (nama Sungai Siak pada waktu itu) karena menurut Raja Kecik tempat ini sangat cocok dan strategis.

Kemudian Raja Kecik menentukan daerah Buantan dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan akan mendirikan istana serta benteng-benteng yang kokoh untuk pertahanan dan sebagai simbol telah ada dan berdiri sebuah kerajaan.

Setelah Raja Kecik membangun Istana dan benteng di kota baru itu, kemudian Raja Kecik dinobatkan sebagai sultan pertama di negeri yang baru dibuatnya, ia dinobatkan dengan gelar yang sama ketika ia menjabat sebagai Sultan Johor ke XII yakni Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, Kerajaan yang didirikan oleh Raja Kecik itu kemudian diberi nama Kesultanan Siak Sri Indrapura.

Untuk lebih dalam memahami tentang Siak, baca juga: Sejarah Siak Sri Indrapura Riau

Daftar Pustaka
[1] O.K Nizami Djamil dkk, Sejarah Kerajaan Siak, cet.I, 2011 hlm. 6-8.
[2]Haji Buyung Bin Adil, Sejarah Johor, 1980, Kuala Lumpur : Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka Kemeterian Pelajaran Malaysia, cet: II, hal. 94. Lihat juga Raja Ali Al Haji, Tuhfat al Nafis Sejarah Melayu dan Bugis, Singgapura : Malaysia Publication LTD.
[3] Mohd. Yusouf Hashim, Pensejarahan Melayu : kajian tentang tradisi sejarah Melayu Nusantara. 1992, Kuala Lumpur ; Dewan Bahasa dan Pusaka Malaysia. Baca juga tulisan lain Mohd. Yusouf Hashim, 1994. Daulat dalam tradisi budaya dan politik kesultanan Melayu abad ke-XV dan awal abad ke-XVI ; antara mitos dan realita. Dalam Journal of the historical society. Kuala Lumpur : Universitas of Malaya. No.3.

Posting Komentar untuk "Darah Dalam Pendirian Kesultanan Siak Sri Indrapura"