Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masa Kemunduran Kerajaan Pajajaran

Masa Kemunduran Kerajaan Pajajaran
Masa kemunduran Kerajaan Pajajaran dimulai selepas mangkatnya Sri Baduga Maharaja. Surawisesa Raja kedua Pajajaran yang menggantikan kedudukan ayahnya hanya mampu bertahan tidak mampu melakukan perlawanan balik dengan baik terhadap serangan demi serangan dari saingan utamanya Kerajaan Demak, Cirebon dan Banten. Oleh karena itu masa kemunduran Kerajaan Pajajaran dimulai dari Surawisesa.

Pada masa Surawisesa memerintah, Pajajaran tidak terkenal sebagai negara digdaya lagi, hal ini dibuktikan dengan menyusutnya wilayah Kerajaan Pajajaran akibat kalah perang melawan Cirebon, Demak dan Banten. Surawisesa bahkan menyodorkan perjanjian damai dengan Cirebon demi mempertahankan wilayah inti kerajaannya. Padahal dahulu ketika Cirebon baru memproklamirkan Kesultanan baru yang merdeka dari Pajajaran wilayah itu tidak henti-hentinya dikucilkan Pajajaran melalui kerajaan bawahanyya Galuh, Rajagaluh dan Talaga.

Menurut Carita Parahiyangam peperangan yang terjadi antara Cirebon dan Pajajaran terjadi selama 15 kali, berakhir di sebelah barat Citarum. Kerajaan Pajajaran menunggu di barat sungai dan Cirebon-Demak tidak mampu melewati parit peninggalan Sri Baduga Maharaja. Tetapi, pasukan Pajajaran telah gagal merebut kembali pelabuhan-pelabuhan Pajajaran yang telah dikuasai pasukan gabungan Cirebon dan Demak.

Masih menurut naskah tersebut, serangan Pajajaran pada Cirebon melalui kerajaan Galuh dilakukan juga dengan dahsyat, namun Sunan Gunung Jati sudah menyiapkan kekuatan, ia memerintahkan menantunya Fadillah Khan untuk memperkuat angkatan tempur Cirebon dan benar saja Galuh, Rajagalah dan Talaga yang semula mengadakan persekutuan untuk menguasai Cirebon dapat dikalahkan bahkan Ibu Kota dari ketiga kerajaan bawahan Pajajaran tersebut justru dapat dikuasai Cirebon.

Perang Galuh  dan Cirebon bermula tahun 1528 M hingga 1530 M. Pada momen ini pula Cirebon resmi menguasai Galuh. Kekalahan di kawasan timur menyebabkan Raja Surawisesa mengambil jalur politis melalui perjanjian damai. Perjanjian ini dilakukan dengan cara mengirimkan duta ke Pakungwati, dan Susuhunan Cirebon menerima tawaran tersebut pada tahun 1531 M, Isi perjanjian tersebut adalah menyetujui bahwa kedua belah pihak saling mengakui kedaulatan masing-masing, sederajat dan bersaudara sebagai ahli waris Sri Baduga Maharaja.

Kesultanan Demak sudah mampu menduduki pelabuhan di pantai utara Pajajaran, dari Banten hingga Cirebon. Akan tetapi sebenarnya sebelum Demak menguasai Pajajaran pada tahun 1521 M telah menggelar "Perjanjian Pertahanan" bangsa Portugis. Akan tetapi Portugis tidak sempat memberikan bantuan ke perairan Sunda. Yang berdampak menyusutnya perdagangan Pajajaran yang pada waktu itu terkenal penghasil lada.

Selepas mangkatnya Surawisesa, kedudukan Raja Pajajaran digantikan oleh putranya yang bernama Ratu Dewata tahun 1535-1543 M. Raja ini dikenal sebagai  raja yang alim dan taat beragama. Ia memiliki kesibukan bertapa dan tirakat kuat, sehingga kondisi kerajaan yang udah mundur di zaman bapaknya bertambah-tambah mundur ketika Ratu Dewata berkuasa.

Pada masa Ratu Dewata, perjanjian perdamaian antara Pajajaran dengan Cirebon yang disepakati pada masa Prabu Surawisesa di tahun 1531 M masih berlaku hingga periode Ratu Dewata. Ratu Dewata masih percaya bahwa perjanjian ini akan tetap ditaati pihak Cirebon sehingga ia menganggap kondisi negara aman selama ada perjanjian tersebut.

Anggapan Ratu Dewata rupanya keliru, sebab meskipun Cirebon menaati dan tidak ingkar pada perjanjian tersebut, justru Banten yang sudah berdiri menjadi Kerajaan yang berkembang pesat merasa tidak punya kepentingan dengan perjanjian tersebut, karena waktu itu Banten tidak lagi dibawah kendali Cirebon dan Demak secara penuh.

Hasandudin dan anaknya Maulana Yusuf yang khawatir dengan Pajajaran karena perbatasan kerajaannya bersentuhan langsung dengan Pajajaran secara diam-diam membentuk pasukan khusus dan memperkuat armada tempur kerajaannya, Banten pun menjelma menjadi kekuatan yang mapan kala itu, sementara dilain pihak Ratu Dewata lupa membangun Armada militer kerajaannya karena tenggelam pada urusan semedi dan tirakat.

Sepeninggal Ratu Dewata, tahta Pajajaran beralih kepada Ratu Sakti. Pada masa ini kondisi Pajajaran semakin menurun menurut Naskah Carita Parahiyangan bahwa Ratu Sakti dianggap sering melanggar agama dan aturan-aturan kerajaan. Ia juga dikenal sebagai raja yang temperamental. Dan suka melanggar tradisi yang sudah turun temurun di turuti. Tetapi begitu buruk sifat Ratu Sakti dengan melanggar. Pelanggaran yang Ratu Sakti lakukan dengan sengaja adalah menikahi istri ayahnya sendiri, membunuh orang tanpa dosa, merampas harta orang-orang kecil, tidak berbakti kepada orang tua dan pendeta.

Pada masa Ratu Sakti memerintah, kondisi kerajaan semakin merosot, rakyat tidak lagi menaruh hormat pada kerajaan, sebab rajanya sendiri bersifat bobrok, pada masa ini sebagian rakyat Pajajaran mulai memilih memeluk agama Islam, agamanya orang Cirebon dan Banten.

Meskipun di masa Ratu Sakti memerintah, Pajajaran dirundung kemunduran tapi puncak dari kemunduran Pajajaran yang sesungguhnya adalah ketika Pajajaran diprintah oleh Raja Nilakendara, pengganti Ratu Sakti.

Raja Nilakendra dikenal sebagai pengamal ajaran Tantra, meskipun ia lebih baik dari ayahnya ratu Sakti dalam mengurusi kerajaan, raja ini menggunakan cara-cara yang tak masuk akal dalam memimpin negara, seperti memperkuat tentara dan pertahankan kerajaan dengan zimat-zimat, melakukan ritual aneh untuk mengusir hawa jahat dalam negara dan lain sebagainya, sementara disisi lain Maulana Yusuf dari Banten memperkuat militer Banten dengan benar-benar terukur, banyak membeli meriam, banyak melatih ketahan isik tentara dan lain sebagainya.
Benar saja, ketika Pajajaran dan Banten terlibat dalam konflik perbatasan dan perang antara keduanya meletus, Pajajaran tidak dapat berbuat banyak.

Naskah Carita Parahiyangan menceritakan, "Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan' (Tohan di Majaya (Prabu Nilakendra) kalah perang, sejak itu tidak berdiam di keraton).

Inilah puncak dari masa kemunduran Pajajaran sebab Rajanya tidak lagi menetap di Keraton karena Ibu Kota sudah dianggap tidak aman lagi, pada masa ini Prabu Nilakendra mengungsi ke daerah pedalam untuk menghindari sesuatu hal yang buruk apabila Ibu Kota Kerajaan dapat direbut. Sepeninggal Ratu Nilakendra, Pajajaran masih menelurkan 1 Raja lagi. pada masa  raja itulah pajajaran memasuki fase keruntuhannya.

Penulis : Anisa Anggraeni Saldin
Editor : Sejarah Cirebon

Posting Komentar untuk "Masa Kemunduran Kerajaan Pajajaran"