Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Islam di Tanah Pasundan

Islam di Tanah Pasundan
Islam di tanah pasundan pada masa berkuasanya Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (1482-1521) dianggap sebagai agama baru yang belum banyak dianut oleh masyarakat Sunda, akan tetapi pada masa ini juga perkembangan Islam sangat mudah diterima oleh masyarakat.

Islam di tanah Pasundan berawal dari Cirebon. Kemudian menyebar ke Banten selatan, Sukabumi dan Bogor. Penyebaran Islam di daerah Jawa Barat terbagi menjadi dua bagian, pertama dari Cirebon dan dari Banten. Penyebaran Cirebon ke daerah Kuningan, Majalengka, Indramayu, Subang, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, sedangkan penyebaran Banten meliputi Banten Selatan, Jakarta, Bogor, dan Sukabumi.

Islam di tanah Sunda yang penyebarannya dilakukan melalui perdagangan dan perkawinan sebelum akhirnya dilakukan dengan cara-cara politik membuat pihak penguasa dalam hal ini kerajaan Pajajaran merasa gerah, sebab lambat laun rakyat Sunda meninggalkan agama leluhurnya.
Secara tendensius, naskah Carita Parahiyangan menceritakan masuknya agama baru (Islam) sebagaimana berikut:
"Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang yang banyak serakah akan ajaran agama".
Ungkapan tendensius dalam petikan naskah yang dibuat pada masa Kerajaan Pajajaran tersebut mengenai siapa saja yang telah memilih meninggalkan Hindu-Buddha kemudian masuk Islam, maka akan mendapat risiko yang ditanggung sendiri. Salah satunya adalah putra Bunisora, bernama Bratalegawa, yang telah masuk Islam karena menikah dengan seorang muslim yang berasal dari Gujarat.

Ketika kembali ke Galuh, Bratalegawa mengunjungi Ratu Banawati, adik bungsunya yang pada waktu itu sudah menikah dengan salah seorang bangsawan dari Galuh. Kedatangannya ini supaya Ratu Banawati mau mengikuti jejak kakaknya untuk masuk Islam, tetapi ajakan ini ditolak olehnya. Sehingga Bratalegawa pergi ke Cirebon Girang tempat kakeknya berkuasa, Giridewata. Di Cirebon, Bratalegawa juga mengajak kakeknya untuk memeluk agama Islam, tetapi sekali lagi ajakan itu ditolak.

Walaupun ajakan-ajakan tersebut selalu mendatangkan penolakan, bukan berarti hubungan kekeluargaan Bratalegawa retak, mereka tetap saja saling komunikasi sewajarnya. Cikal bakal kedatangan Islam ke Tanah Sunda telah ada sejak zaman Prabu Niskala Wastukancana masih menjadi raja yakni pada abad 14 M, kira-kira seabad sebelum era Sri Baduga Maharaja.

Bratalegawa merupakan satu-satunya bangsawan yang memeluk agama Islam pertama kali di Galuh, maka dari itu ia mendapat gelar Haji Purwa Galuh. Dari pernikahannya dengan putri Gujarat, ia dikaruniai anak laki-laki bernama Ahmad dan ketika beranjak dewasa dikenal dengan sebutan Maulana Safiuddin. Setelah beranjak dewasa, Bratalegawa sekeluarga kembali ke Gujarat, tempat kelahiran istrinya. Di negeri India ini, Ahmad bertemu dengan seorang perempuan berparas cantik dan keturunan dari bangsawan. Setelah ditelisik ternyata anak dari sahabat ayahnya sendiri.

Maka tanpa berlangsung lama, akhirnya kedua belah pihak bersepakat menikahkannya. Pasangan Ahmad dengan Rohayah ini melahirkan seorang anak gadis bernama Hadijah. Setelah beranjak dewasa, Hadijah ini dikawinkan dengan seorang saudagar tua dari Handramaut. Selang beberapa lama, Hadijah tidak dikaruniai seorang anak. Hingga pada akhirnya ia harus menjadi seorang janda karena ditinggal mati suaminya. Atas kejadian ini, akhirnya Hadijah memutuskan pulang ke Galuh sembari menyusul orang tuanya yang sudah tinggal di Galuh terlebih dahulu. Di Galuh, Bratalegawa tinggal di daerah Pasembangan.

Sementara Hadijah kemudian diperistri oleh Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama yang memiliki banyak santri di daerah Amparan Jati, Cirebon. Sebagai janda yang ditinggal mati suami saudagar, tentunya ia memiliki harta warisan melimpah, maka dari itu Hadijah memanfaatkan harta ini untuk perluasan tempat tinggal santri di daerah Cirebon.

Sebenarnya sebelum Datuk Kahfi membangun pesantren di Cirebon, ia telah bertempat tinggal lama di Puradalem, Karawang. Sebab Syekh Hasanuddin yang berasal dari Champa, selatan Cina telah mendirikan pesantren kemudian dipasrahkan pada Datuk Kahfi.

Syekh Hasanuddin sendiri tiba di Nusantara setelah ikut pelayaran bersama Laksamana Cheng Ho yang seorang muslim juga. Juru tulis Cheng Ho bernama Ma- huan mencatat kronik perjalanan Cheng Ho, termasuk saat memijakkan kaki di Pulau Jawa. Pelayaran ini dilakukan bersama prajurit berjumlah 27.000 pasukan. Saat pelayaran menuju Majapahit, armada Cheng Ho singgah di Pura, Karawang, kemudian Hasanuddin memutuskan untuk tidak ikut melanjutkan. Ia ingin tetap di Jawa Barat untuk berdagang sembari memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat.

Hasanuddin sendiri merupakan seorang muslim yang mengikuti mazhab Hanafi. Ia memiliki anak sebanyak dua orang, laki-laki bernama Syekh Bentong atau Tan Go Wat dan perempuan yang memiliki nama Siu Ban- ci yang kemudian diperistri oleh Raja Majapahit, Prabu Kertabhumi. Perkawinan ini dikaruniai seorang anak laki-laki diberi nama Raden Praba atau Jin-bun, yang kelak yang dikenal sebagai Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak di Jawa Tengah.

Selama hidup di Tanah Sunda menyebarkan agama baru, Bratalegawa tidak pernah mengalami kesulitan. Ia tidak pernah memaksa siapa pun untuk memeluk agama tersebut, ia hanya memberikan alternatif bahwa ada jalan menuju kebenaran, jika ingin meniti jalan tersebut mari bersama-sama, tapi kalaupun tidak juga tak bermasalah. Terlebih ia adalah seorang bangsawan sepupu Wastukancana sekaligus iparnya, penguasa Galuh. Sedangkan setelah lama tinggal di Sunda, Hasanuddin sendiri menikah dengan Ratna Sondaki anak Ki Gedeng Karawang. Pernikahan ini dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Ahmad. Beranjak dewasa, Ahmad menjadi penghulu di Karawang, dan ia memiliki gelar Syekh Ahmad.

Syekh Ahmad memiliki anak gadis bernama Nyi Mas Kedaton. Nyi Mas Kedaton menikah dan dikaruniai anak bernama Musanuddin yang dewasanya menjabat sebagai lebe di Cirebon sekaligus menjadi pemimpin tajug Sang Ciptarasa di era pemerintahan Susuhunan Sunan Gunung Jati.

Pesantren yang ada di Karawang kemudian lebih dikenal dengan nama Pondok Kuro, sedangkan Syekh Hasanuddin yang dari Cina tersebut telah dikenal oleh masyarakat banyak dengan sebutan Syekh Kuro. Syekh Kuro melahirkan beberapa santri teladan seperti Nyi Subanglarang, anak Ki Gedeng Tapa, seorang juru labuhan daerah Muara Jati. Di masanya, Subanglarang menikah dengan Sri Baduga, raja pertama Kerajaan Pajajaran.

Pernikahan berbeda agama ini membuahkan tiga anak; pertama, seorang putra bernama Cakrabuana, kedua, seorang putri bernama Lara Santang dan ketiga, seorang putra bernama Kian Santang. Ketiga anak ini memilih mengikuti agama yang dipeluk ibunya, tetapi sang ayah juga tidak mempermasalahkan.

Memang sedari awal sudah ada kesadaran masing-masing bahwa memberi kebebasan kepada anak untuk menentukan agamanya sendiri. Ketika Lara Santang beranjak dewasa, tumbuh dengan sempurna, kemudian ia menikah dengan Maulana Sultan Mahmud, seorang bangsawan dari Arab (Mesir), yang kemudian melahirkan dua anak laki-laki bernama Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.

Naskah Nagara Kretabhumi menceritakan bahwa di tanggal 12 bagian terang, bulan Caitra, tahun 1404 Saka, telah memutuskan berhenti mengirimkan upeti yang seharusnya disetorkan ke Patuan setiap tahunnya. Secara resmi, ia dijadikan raja merdeka oleh uwaknya, Pangeran Cakrabuana, di Cirebon Girang, wilayah yang termasuk di bawah kekuasaan Sunda-Pajajaran. Syarif Hidayat telah diberi hak oleh pihak Pakuan dalam menentukan kebijakan rakyatnya.

Dalam analisa yang dapat kami himpun. Terlalu takutnya pajajaran ketika dibawah kekuasaanya terdapat pemeluk agama baru. Jika kita telaah, datangnya agama baru menandakan kemajuan peradaban kerajaan yang bersifat Pluralisme. Namun sangat disayangkan, kerajaan Pajajaran malah menuliskan didalam naskah carita Parahiyangan bahwasanya pemeluk agama baru adalah orang yang serakah dan hidupnya tidak sejahtera. Keresahan ini dikarenakan masuknya Islam seorang bangsawan bernama bratalegawa yang kemudian dijuluki sebagai Haji Purwa Galuh hingga akhirnya ia singgah di Cirebon Girang dan menyebarkan agama Islam.

Penulis : Anisa Anggraeni Saldin
Editor  : Sejarah Cirebon

Posting Komentar untuk "Islam di Tanah Pasundan"