Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kerajaan Pasir Luhur

Kerajaan Pasir Luhur / Kadipaten Pasir Luhur dinyatakan sebagai kerajaan Galuh yang merdeka karena tidak dibawah kekuasaan kerajaan lain baik Sunda (Pajajaran) maupun Majapahit. Pasir Luhur dan Pajajaran terdapat hubungan kekerabatan, Pasir Luhur berada di posisi lebih tua dibandingkan dengan Pajajaran (Bersatunya Galuh dengan Sunda pada 1482 M) 

Konon Pasir Luhur wilayahnya mulai dari Gunung Sindoro Sumbing sebagai batas sebelah timur sampai dengan Sungai Citarum sebagai batas sebelah barat. Dan bukti sejarahnya termuat dalam Versi Tembang dan Gancaran (prosa-prosa).

Silsilah Pasir Luhur awal tidak ditemukan dalam teks Babad Pasir yang berbentuk tembang seperti yang dipublikasikan oleh Knebel (1900, 1931, & 1961), Teks Knebel menyebutkan Arya Bangah sebagai Tokoh yang dituakan. 

Arya Bangah adalah putra Prabu Barma Wijaya dengan Dewi Pangreyep yang ditempatkan sebagai Raja Galuh (Djajadiningrat, 1983) setelah sengketa dengan adiknya Ciung Wanara (putra Prabu Permana Dikusuma dengan Dewi Naganingrum) yang diakhiri dengan Perdamaian, Ciung Wanara pergi kebarat sambil berpantun, sedangkan Arya Bangah ke timur sambil menembang (Ekadjati, 1995:5). 

Peristiwa perdamaian ini merupakan asal usul terpisahnya orang Sunda dan Jawa (Rosidi, 1984 : 143), Arya Bangah dalam Teks Babad Pasir disebut Raja Galuh dan menjadi nenek moyang Adipati Pasir. Kerajaan Pasir atau Pasirluhur merupakan kelanjutan dari Kerajaan Galuh Purba (Prasasti Cipaku Purbalingga abad 5-7 M)

Dalam Teks Sunda  Kuna Sanghyang Siksa Kanda Ing Karesian, Banyak Catra, putra tertua Prabu Niskala sebagai Putra Mahkota Galuh menikahi Dewi Ciptarasa, putri bungsu Adipati Kandha Daha yang sangat mirip dengan ibunya setelah mengalahkan pesaingnya Prabu Pulebahas dari Nusa Tembini / Nusa Kambangan. 

Raden Bantak Catara / Kamadaka kemudian menggantikan ayah mertuanya Prabu Kandha Daha di Kadipaten Pasir Luhur sementara tahta kerajaan Galuh diserahkan kepada adiknya lain ibu yaitu Prabu Siliwangi. 

Prabu Dewa Niskala di Galuh Kawali (1475-1482) [putra Prabu Nuskala Wastu Kencana adik dari Dyah Pitaloka Citaresmi, gugur di Bubat], menikah dengan 3 istri yaitu:

1.  Nyi Mas Ratna Huma 
2. Permaisuri Uma Dewi
3. Ratna Astunawangi Rara Hulanjar

Dari Nyi Mas Ratna Huma menurunkan:

1. Raden Banyak Catra alias Raden Arya Kamandaka (Bupati Pasir Luhur) 
2. Raden Aria Banyak Ngampar alias alias Silihwarni (bupati Dayeuhluhur)
3. Raden Banyak Blabur alias Kusumalaya alias Ajar Kutamanggu  
4. Ratna Pamekas alias Ratna Ayu Kirana  dinikahkan dengan Raden Harya Baribin putra Dyah Suraprabawa dengan Dyah Sripura yang menyelamatkan diri ke Galuh dari prahara di Trowulan pada 1478.

Dari Permaisuri Uma Dewi (istri kedua) menurunkan:

1. Raden Pamanahrasa yang bergelar Raja Sunu menggantikan ayahnya (karena menikahi putri Majapahit yang telah bertunangan) dan menyatukan Galuh dan Sunda pada 1482 dan bergelar Prabu Siliwangi. 
2. Ningratwangi alias Prabu Rangga Pupuk.

Dari Ratna Astunalarang dari Majapahit menurunkan:

1. Parbamenak bergelar Rajaputra
2. Surayana berputra Nyi Wandasari menikah dengan Syekh Maulana Akbar alias Syekh Bayanullah yang mendirikan Pondok Quro di desa Sidapurna ibu kota Kajene (Kuningan). 

Hubungan Demak dan Pasirluhur

Dikisahkan pada waktu itu, Demak merupakan daerah termasuk kerajaan Majapahit dan yang menjadi bupati adalah Pangeran Jimbun . Kira-kira tahun 1478 di Keraton Majapahit ada keributan perebutan kekuasaan. Kemudian Demak memisahkan diri dari kekuasaan Majapahit.

Dengan mendapatkan dukungan para wali, Raden Patah mendirikan kerajaan Islam yang pertama di tanah jawa dengan nama Kesultanan Demak. Raden Patah menjabat kesultanan Demak kira-kira tahun 1478-1518 dengan gelar: Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah

Sultan Syah Alam Akbar dibantu oleh para wali menyebarkan ajaran agama Islam sampai ke luar jawa. Seperti di Maluku yang diserahkan kepada Kanjwnf Sunan Giri, di Kalimantan diserahkan kepada Penghulu Kesultanan Demak yaitu Al Habib Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya atau Datuk Tunggang Parangan yang mengislamkan Raja Aji Mahkota (1525-1589) dari Kerajaan Kutai. 

Kurang lebih tahun 1472 Kanjeng Sultan Demak memanggil Patih Hedin dan Patih Husen dan serta seorang wali, Pangeran Makdum Wali guna membahas hal penting yaitu terdengar bahwa di Negara Pasirluhur masih menganut agama Budha, Kanjeng Sultan Alam Akbar ingin mengutus kedua patih tersebut bersama Pangeran Makdum Wali agar mengIslamkan Negara Pasirluhur.

Titah Kanjeng Sultan selanjutnya kepada Pangeran Makdum Wali yaitu apabila seumpama Adipati Pasirluhur tidak mau tunduk memeluk agama Islam, utusan tersebut diberi wewenang untuk mengambil jalan peperangan menaklukkan Kadipaten Pasirluhur.

Patih Hedin dan Patih Husen diizinkan untuk membawa balatentara secukupnya. Para utusan bersedia dan patuh kemudian berangkat menujur Pasirluhur. Tidak disangka perjalanannya sudah sampai ke negara Pasirluhur. Pangeran Makdum Wali dan bala tentara dari Demak yang ikut menetap di luar kota Pasirluhur.

Di Padepokan Pangeran Makdum Wali berbincang-bincang dengan Patih Hedin dan Patih Husen membahas bagaimana rencana selanjutnya. Pangeran Makdum Wali mengutus kedua patih tersebut untuk memasuki Kadipaten Pasirluhur mengantarkan surat kepada Sang Adipati Raden Banyak Belanak.

Isi surat tersebut ialah agar Adipati Pasirluhur bersedia pindah keyakinan dari agama Budha dan masuk agama Islam. Apakah akan nurut apa menentang? Jikalau bersedia nurut memeluk agama Islam agar secepatnya datang ke Padepokan menemui Pangeran Makdum Wali. Jikalau menentang, terpaksa akan dilayani peperangan antara balatentara kesultanan Demak dan Balatentara Kadipaten Pasirluhur.

Sementara itu di Kadipaten Pasirluhur, setelah Raden Kamandaka atau Banyak Catra menikah dengan Dewi Cipto Roso, Pasirluhur dipimpin oleh putranya yang bernama Raden Banyak Wiroto. Adipati Banyak Wiroto kemudian menurunkan ke putranya yaitu Raden Banyak Roma. Adipati Banyak Roma menurunkan lagi ke putranya bernama Banyak Kesumba, Adipati Banyak Kesumba mempunyai dua putra bernama Raden Banyak Blanak dan Raden Banyak Geleh. 

Sesudah wafatnya Adipati Raden Banyak Kesumba, yang menggantikan jabatan sebagai Adipati di Kadipaten Pasirluhur ialah Raden Banyak Belanak (1469-.1522) Sedangkan adiknya, Raden Banyak Geleh menjabat sebagai Patih Wirakencana.

Pada waktu itu Sang Adipati mengadakan pembahasan dengan adiknya dan punggawa kadipaten, bahwa seiring berjalannya waktu, sudah saatnya agama budha hancur dan berganti agama mulia yaitu agama Islam. Hilanglah orang menyebut “Dewa Batara” dan yang disebut ialah “Allah, Adam dan Rasulullah’. Ki Patih dan Punggawa hanya bisa patuh.

Sedang, sementara pada waktu ngobrol terganggu oleh kedatangan utusan Makdum Wali mengantarkan surat kepada Sang Adipati Raden Banyak Belanak. Isi surat tersebut sama halnya yang baru saja di utarakan oleh Sang Adipati kepada Patih Wirakencana dan para punggawa Kadipaten.

Utusan tersebut dieprsilahkan untuk segera kembali ke padepokan dan berkata kepada Pangeran Makdum Wali bahwa Adipati Banyak Belanak tidak akan menentang, tapi akan patuh memeluk agama Islam.

Sepulangnya utusan tersebut, Adipati Raden Banyak Belanak bersama Patih Wirakencana dan para pembesar bersama-sama berangkat menuju ke padepokan menemui Pangeran Makdum Wali.

Kedua Patih utusan Sang Wali Makdum sudah sampai di padepokan lagi seraya melaporkan kepada Pangeran Makdum Wali bahwa Adipati Pasirluhur akan datang bertamu di Padepokan.

Raden Adipati Pasirluhur yang ditemani oleh Patih Wirakencana beserta para pembesar Kadipaten Pasirluhur sudah sampai di Padepokan. Sesudah bertemu, kemudian Pangeran Makdum Wali berkata kepada Adipati Pasirluhur seperti berikut:

“Saya diutus oleh Kanjeng Sultan Demak supaya mengislamkan Adipati Pasirluhur dan pasukannya semua, apakah anda tidak keberatan meninggalkan keyakinan lama?”

Kemudian Adipati menjawab:

“Hal itu belum lama kami bahas di Kadipaten bahwa sudah saatnya agama budha hancur, kemudian ganti agama mulia yaitu agama Islam. Silahkan kami pasrah kepada Sang Wali.”

Adipati Raden Banyak Belanak memegang tangannya kemudian memeluk Pangeran Makdum Wali. Selanjutnya dibimbing membaca dua kalimat syahadat serta diajari mengjalankan syari’at agama Islam.

Adipati Pasir Luhur, Raden Banyak Belanak sudah teguh masuk agama Islam, menjalankan ajaran Kanjeng Rasulullah.

Giliran adiknya, Patih Wirakencana dan para punggawa (pembesar) yang ikut diajarkan tuntunan agama Islam oleh pangeran Makdum Wali. Semua sudah paham terhadap apa yang diajarkan oleh sang wali dan akan tetap menjalankan tuntunan agama Islam.

Selanjutnya pangeran Makdum Wali dan semua utusan dari Demak yang menempati di luar kota Pasir Luhur dipersilahkan masuk ke kota atas rekomendasi Sang Adipati Pasir Luhur.

Berhubung Sang Adipati dan pengikutnya telah teguh masuk agama Islam, Patih Hedin dan Patih Husen kembali ke Demak memberikan laporan kepada Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar.

Sedangkan Pangeran Makdum Wali dan tetap menetap untuk meneruskan pengajaran tuntunan agama Islam di tanah Kadipaten Pasirluhur dan bergelar Syekh Makhdum 'Ali. 

Tidak terasa perjalannya di jalan kembalinya kedua patih tersebut dari Pasirluhur tiba sudah di Kasultanan Demak.

Dipaparkan semua perjalanan dari awal sampai akhir. Yang pada akhirnya, utusan Sultan Demak mendapatkan hasil yang baik. Adipati Pasir Luhur dan pengikutnya sudah nurut masuk agama Islam tanpa disertai peperangan. Semua sudah mau menjalankan syariat Kanjeng Rasulullah.

Kanjeng Sultan Demak merasa senang karena perintahnya dapat dijalankan oleh Adipati Pasir Luhur dan para pengikutnya.

Kemudian kanjeng Sultan memerintahkan kepada rekan patih agar mengutus kedua patih ke Pasir Luhur membawa surat yang isinya Pangeran Makdum Wali dan Adipati Pasirluhur diperintahkan mengislamkan para Adipati di sebelah barat Kadipaten Pasir Luhur.

Berhubung sudah siap, kemudian segera berangkat dari Demak menuju ke Pasir Luhur.

Pangeran Makdum Wali yang sudah lumayan lama berada di tanah Pasir Luhur menyebarkan ajaran agama Islam mendapatkan ijin untuk membangun padepokan yang diberi nama padepokan Dekah Ambawang Gula Gumantung yang berfungsi sebagai masjid mengajarkan agama Islam.

Pangeran Makdum Wali sudah berhasil dalam mengajarkan agama Islam di Kadipaten Pasir Luhur, luar kota, pedesaan dan pegunungan.

Semua rakyat Pasir Luhur mengemban tuntunan agama Islam menjalani syari’at kanjeng Rasulullah. Semua itu, tidak lain adalah hasil kerjasama yang baik dengan para pembesar Kadipaten Pasirluhur.

Ki Adipati Pasir Luhur Raden Banyak Belanak sedang ngobrol bersama Pangeran Makdum Wali dan Patih Wirakencana terhenti oleh kedatangan utusan dari Kesultanan Demak yang membawa amanat berupa surat kepada Pangeran Makdum Wali dan Raden Banyak Belanak agar mengislamkan para Adipati di sebelah barat Kadipaten Pasirluhur.

Keduanya bersedia terhadap perintah tersebut.

Surat balasan dan kedua utusan supaya segera kembali ke Demak.

Sepulangnya kedua utusan tersebut, Pangeran Makdum Wali dan Adipati Pasirluhur siap segera menuju ke Tanah Pariyangan.

Dan yang diperintahkan untuk menempati Padepokan Pangeran Makdum Wali di Dekah Ambawang Gula Gumantung adalah Pangeran Prabuhara.

Sesudah besarnya para prajurit Pasir Luhur telah siap, Adipati Raden Banyak Belanak dan Pangeran Makdum Wali terus bersegera berangkat ke daerah Pariyangan. Kadya sela blekiti lapmahing bala. Sela watu, blekiti semut. Seperti semut yang berbaris di atas batu, tidak diceritakan lamanya perjalanan.

Adapun para Adipati yang didatangi dan ditaklukkan supaya bersedia memeluk agama Islam di daerah Pariyangan diantaranya:

1.  Dipati Kaluntungbentar
2. Dipati Endralaya
3. Dipati Batulaya
4. Dipati Timbangaten
5. Dipati Ukur
6. Dipati Cibalunggung

Semua Adipati dan pengikutnya bersedia patuh untuk diislamkan: Takut dan cinta kepada Adipati Pasir Luhur.

Di Kadipaten Cibalunggung, Sang Adipati Banyak Belanak dan Pangeran Makdum Wali diceritakan agak lama mereka menetap. Pada waktu itu ada utusan dari Banten yang mengantarkan suat kepada Sang Adipati Banyak Belanak. 

Isi surat tersebut agar perjalanan Raden Banyak Belanak dalam mengislamkan daerah Pariyangan sampai di sebelah timur sungai Citarum saja. Adapun di sebelah barat Citarum menjadi tanggung jawabnya Sultan Banten. Semua sudah memeluk agama Islam.

Berhahagia rasanya hati Raden Banyak Belanak, kemudian utusan dari Banten langsung kembali untuk melaporkan kepada Sultan Banten.

Adipati Pasir Luhur berembug dengan Pangeran Makdum Wali akan melaporkan kepada Kanjeng Sultan Demak.

Utusan Sang Adipati Pasir Luhur berangkat  ke Demak membawa dua surat. Satu dari Adipati Pasir Luhur pribadi dan yang satunya lagi surat dari Sultan Banten. Perjalanan utusan tidak diceritakan di perjalanannya sudah sampai di Kesultanan Demak. Surat tersebut disampaikan Kepada Sultan Demak. Kanjeng Sultan Demak sangat berbahagia hati sesudah memahami isi surat tersebut.

Surat Sang Adipati Pasir Luhur dibalas agar supaya membuat batas tiang (udug-udug) dan sesudah itu Sang Adipati diundang agar hadir di Kesultanan Demak.

Diceritakan Adipati Pasirluhur yang masih berada di Cibalunggung sedang ngobrol (wawan gunem) dengan Pangeran Makdum Wali dan Para Adipati daerah Pariyangan, sangat mengharapkan yang akan diutus ke Demak. 

Sudah agak lama utusan baru melapor sambil membawa surat balasan dari Kanjeng Sultan Demak. Isi surat supaya Adipati Pasir Luhur membuat tanda/batas tiang timur dan barat di Sungai Citarum (udug-udug Krawang).

Kurang lebih 3 tahun di daerah Pariyangan. Adipati Pasir Luhur, Raden Banyak Belanak dan pangeran Makdum Wali berniat kembali ke Pasir Luhur. Sesudah sampai di kota Pasir Luhur, Adipati Raden Banyak Belanak langsung berangkat ke Demak memenuhi panggilan Sultan Demak dengan membawa para pengikut (prajurit).

Diceritakan sudah sampai di Kesultanan Demak Sang Adipati berkata bahwa tugas yang duberikan kepasanya untuk menaklukkan daerah Pariyangan sudah selesai dengan baik. Semua Adipati di daerah Pariyangan sudah tunduk patuh kepada Adipati Pasir Luhur untuk memeluk agama Islam.

Sultan Demak sangat senang hati dan lebih salut kepada Sang Adipati Pasirluhur. Kemudian Adipati Pasir Luhur ditugaskan lagi menaklukkan di sebelah timur, kira-kira tahun 1474.

Adapun para Adipati di sebelah timur yang ditaklukkan diantaranya:

1. Adipati Gegelang
2. Adipati Ponorogo
3. Adipati Kajongan
4. Adipati Pasuruan
5. Adipati Embatembat
6. Adipati Sulambitan
7. Adipati Santenan

Semua Adipati tersebut bersedia tunduk kepada Adipati Raden Banyak Belanak, bersedia masuk agama Islam. Sesudah sampai di Santenan (Pati) Sang Adipati Pasirluhur kemudian kembali ke Kesultanan Demak menghadap ke kanjeng Sultan Alam Akbar. Jerih payah Adipati Pasirluhur diterima.

Adipati Raden Banyak Belanak di Demak ikut serta membangun Masjid Demak kurang lebih tahun 1477 yang dikenal sampai sekarang.

Raden Banyak Belanak dipanggil Kanjeng Sultan Demak meminta agar mengerahkan bumi delapan ribu putri (bumi wolu ewu domas) dengan batas barat adalah tiang Krawang (udug Krawang), dan adapun batas timur adalah Tugu Mengangkang, yaitu gunung Sindoro Sumbing.

Harum dan hinanya nama yang dialunkan diserahkan sepenuhnya kepada Adipati Pasirluhur, Raden Banyak Belanak. Dengan dianugerahi gelar oleh Sultan Demak.

“PANGERAN SENOPATI MANGKUBUMI”

Pangeran berarti sejenis Waliyullah yang nenegaskan bahwa Adipati Pasir Luhur sejatinya adalah Bupati Agung yang merengkuh sekian banyak Adipati yang bersedia tunduk kepada Adipati Pasirluhur, Raden Banyak Belanak.

Disaksikan oleh para wali gelar “Pangeran Senopati Mangkubumi” disandang Raden Banyak Belanak. Selanjutnya Pangeran Senopati Mangkubumi pulang ke Kadipaten Pasirluhur diserahi putri 8000 domas.‎

Pangeran Senopati Mangkubumi I atau Adipati Raden Banyak Belanak di Pasirluhur yang menjabat Adipati.  wanita 8000 (delapan ribu) domas, dari sebelah timur berbatas tidang Mengangkang/gunung Sindoro Sumbing, dan batas sebelah bara adalah udug-udug (tiang) Krawang.

Tanah timur Krawang sampai Sindoro Sumbing semua tunduk belas kasih kepada Sang Adipati Pangeran Sinopati Mangkubumi yang menjabat Adipati Pasirluhur kira-kira tahun 1469-1522.

Beliau mempunyai satu putra yaitu Raden Tole. Di Kesultanan Demak Raden Patah atau Sultan Alam Akbar wafat pada tahun 1518 dan digantikan oleh Dipati Unus tahun 1518-1521 (wafat muda) kemudian digantikan oleh Pangeran Trenggono pada tahun 1521-1546.

Di Kadipaten Pasirluhur Adipati Pangeran Senopati mengalami pergantian jabatan pada tahun 1522. Sang Putra Raden Tole menggantikan kedudukan Adipati di Pasir Luhur mendapat 8000 domas kira-kira tahun 1522-1527.

Adapun yang menjadi Patih yang diinginkan tetap dipati lama yaitu sang paman Patih Wirakencana tetapi Raden Tole mengangkat patih yang lain yang lebih dipercayainya yaitu Patih Caranggandul. 

Sesudah Raden Tole menduduki Adipati di Pasirluhur murtad dari agama Islam, kembali menganut agama Budha. Ayahanda dan Pamannya sangat marah.

Pangeran Senopati sampai terkena sakit melihat sang putra, dari pendidikan dan bimbingan ayahandanya tidak ada yang dipakai. Sakitnya Adipati semakin lama semakin menjadi-jadi namun belum sampai wafat.

Dipati Raden Tole segera memerintahkan kepada prajuritnya agar ayahnya dimandikan dan di makamkan hidup-hidup di pemakaman (tanah pasir yaitu gedung I).

Kanjeng Sultan Trenggono mendengar bahwa Adipati Pasirluhur Pangeran Senopati Mangkubumi sedang sakit, segera mengutus empat sahabat supaya melayad ke Pasir Luuhur. Apabila masih hidup tungguilah, apabila sudah wafat tegakkanlah (ajekna). Karena Sang Senopati adalah kekasih Kanjeng sultan dulu. Empat utusan bersedia terhadap perintah.

Setelah empat utusan sampai di Pasirluhur bertemu dengan Adipati Tole dan memberitahukan bahwa ayahnya telah meninggal dan telah dimakamkan. Utusan Demak diijinkan berziarah ke makam Sang Senopati.

Ketika di makam sedang membaca al-Qur’an (anderes) dan membacanya baru mendapat satu jus, mendengar suara:

“Hai anda empat orang Demak, ketahuilah bahwa kematianku belumlah sempurna, maka galilah kuburanku”

Empat utusan langsung menghadap Dipati Tole melaporkan apa adanya. Kemudian Adipati Tole mengutus pembantu untuk menggali makam Sang Senopati.

Sesudah digali yang terlihat hanya kain mori. Dipati Raden Tole menuduh kepada empat utusan telah menghina kepada Adipati Pasir Luhur.

Dari keempat utusan, yang dua dibunuh dan yang dua dipotong kupingnya, kemudian terbirit-birit kembali ke Demak agar melaporkan kepada Kanjeng Sultan bahwa Adipati Raden Tole tidak akan patuh dan tidak akan masuk Islam. Akan kembali lagi kepada agama Budha.

Sampai di Kesultanan Demak, kedua utusan langsung melapor kepada Sultan Trenggono. Sultan Trenggono menyuruh Rakyana Patih agar menggempur Pasirluhur dengan membawa pasukan secukupnya. Ki Patih lewat pantai utara kemudian ke Brebes.

Sesampai di Brebes, Adipati Brebes mengutus duta untuk mengantarkan surat tantangan kepada Adipati Tole di Kadipaten Pasirluhur.

Utusan dari Brebes sampai di Kadipaten Pasirluhur kebetulan kosong. Adipati Tole sedang di Negera Daha menepati nadzarnya kalau Sang Ayah telah wafat, akan merayakannya bersama pasukannya. Karena Kadipaten sepi, utusan dari Brebes memberikan surat tantangan kepada Patih Wirakencana.

Keinginan Ki Patih, suratnya langsung disampaikan saja kepada Raden Tole di Negara Daha. Utusan sampai di Daha, Adipati Tole sedang senang-senang makan dan minum.

Surat sudah diterima dan sudah dipahami isinya, Adipati Tole segera berangkat bersama pasukannya ke Kota, dan sudah dibentengi semua pasukan.

Secepatnya semua pasukan dari Demak berbaris mengepung kota Pasirluhur. Sampai satu bulan lamanya. Bendungan Situ Sekar di bongkar oleh pasukan Demak, air banjir masuk ke kota dan sampai jambannya asat.

Ki Tambak yang menjaga Situ Sekar melihat bahwa airnya asat, kemudian diselidiki penyebabnya. Kaget melihat salah satu pasukan demak membongkar bendungan Situ Sekar kemudian diperangi dengan berani sampai terjadi perkelahian ajogol udreg-udregan.

Ki Tambak kawon okolipun kemudian langsung melapor kepada tuannya bahwa bendungan situsekar telah di bongkar oleh pasukan Demak supaya semua rakyat di dalam kota tidak bisa minum.

Raden Patih Wirakencana merasa prihatin berdoa kepada Allah SWT yang memberi kehidupan dengan shalat satu raka’at kemudian menancapkan kerisnya, keluar air jernih sepancuran.

Senang rasa hati, permintaannya diterima bisa untuk minum orang-orang senegara, Raden Tole sangat bahagia karena Sang Paman mempunyai kesaktian bisa mengeluarkan air.

Lama-lama air dipakai untuk mencuci ikan babi dan asat seketika itu. Sang Patih heran, kemudian menemui Adipati Tole dan menyarankan keponakannya agar mau tunduk mengabdi kepada Demak dan memeluk agama Islam. Pasir Luhur tidak akan kuat melawan Kesultanan Demak. Adipati Tole berkata kepada paman patih dengan marah-marah.

Karena malu, Paman Wirakencana kemudian mengundurkan diri keluar dari dalam istana.

Patih wirakencana memberitahukan kepada orang Demak, bahwa ia tidak akan ikut campur dengan tingkahlaku Adipati Tole karena telah dimarahi oleh Raden Tole sampai merasa malu sekali dan sakit hati.

Adipati Brebes dan Patih Demak menemui Patih Wirakencana karena diutus Sultan Demak agar melumpuhkan Kadipaten Pasirluhur yang dipegang oleh Raden Tole.

Patih Wirakencana hanya mempersilahkan karena sudah merasa marah dihatinya karena semua sarannya tidak dihiraukan oleh Raden Tole.

Pasirluhur dikepung kemudian rame-rame pasukan Pasirluhur melawan pasukan dari Demak. Pasukan Pasur Luhur dapat dilumpuhkan setelah Patih Caranggandul yang mempunyai ajian Pancadona dapat dibunuh dengan memisahkan antara kepala dengan badannya. 

Ki Sombro berkata melaporkan bahwa pasukan Pasirluhur telah dilumpuhkan. Adipati Tole bersama anak istrinya melarikan diri ke arah selatan kemudian ke timur menyusuri sungai Serayu, Cicingguling, Kaleng, Petanahan sampai ke Bocor.

Patih Wirakencana menjabat sebagai Adipati di Kadipaten Pasirluhur dengan nama Pangeran Senopati Mangkubumi II melanjutkan Adipati Banyak Belanak sebagai Pangeran Senopati Mangkubumi ll (1527-1568). Kadipaten Pasir Luhur kemudian dipindah ke arah timur laut Sungai Logawa, dan berganti nama menjadi Kadipaten Pasir Bathang.

Beliau meneruskan perjuangan kakaknya bersama dengan Pangeran Makhdum Wali mendirikan pesantren dan Masjid di Padepokan Ambawang Gula Gumantung yang kemudian dikenal dengan nama  Hastana Pasir atau Pasir Astana.

Oleh karena itu, disana Pangeran Makdum Wali pernah mempunyai nadzar/janji kepada Patih Wirakencana bahwa besok kalau sudah wafat akan seliang lahat antara Pangeran Makdum Wali bersama Raden Banyak Geleh/Patih Wirakencana.

Hal itu juga dijelaskan dalam naskah tembang pucung yang dikutip dari buku induk babad Pasir Luhur, yang berupa sekar macapat yang ditulis dengan huruf jawa, tembang pucung tersebut adalah:

“Ya pangeran, Makdum Wali dukwau, darbe perjanjian mring sira rahada patih, Banyak Geleh anenggih wirakencana.”

“Lamun temen-temen angguru maring sun, mbesuk yen palastra, apan uwis pninanti, apan bareng saluwang ingsung lan sira.”

Kemudian dijawab oleh Raden Banyak Geleh, berikut bunyi tembangnya:

“Raden Banyak Geleh wau aturipun, inggih mboten lepat, mboten kilap ing tiyas mami, pan sinigeg ing pasir nagara.”

Makanya tidak aneh perkataan wali tersebut pada akhirnya menjadi kenyataan makamnya Pangeran Makdum Wali dengan Raden Banyak Geleh/Patih Wirakencana (Pangeran Senopati Mangkubumi II) menjadi satu atap di Istana Pasir.

Sedikit kisah keturunan dari Raden Thole dari Pasir Luhur, yakni Ki Bocor, tercatat sebagai salah seorang kenthol (penguasa setempat) dan pemimpin penentu bagi para penguasa lokal yang ada di wilayah Bagelèn dan Kedu, untuk mendukung berdirinya kerajaan Mataram dan menjadi pengikut pertama dari Panembahan Senapati saat melepaskan diri dari Kasultanan Pajang. 

Ki Bocor yag kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ki Tumenggung Bocor, akhirnya berkedudukan sebagai pemimpin tertinggi untuk penguasa-penguasa lokal yang ada di tanah Bagelèn, sejak zaman Kasultanan Pajang hingga zaman pemerintahan Sultan Amangkurat I di kerajaan Mataram. 

Hal itu terbukti pada saat meletus pertempuran di Prambanan antara pasukan Mataram dan Pajang, yang dimenangkan oleh pihak Mataram. Menurut catatan De Graaf, Senopati berhasil mengajak sebagian besar kelompok penduduk Jawa Tengah dari selatan hingga utara untuk mengikuti dia, tetapi yang menjadi pendukung utama adalah wilayah Bagelèn dan Kedu.

Pada saat Panembahan Seda ing Krapyak (1601-1613) ditabalkan menjadi raja Mataram yang baru, seluruh pejabat istana dan kepala daerah hadir dalam pelantikan, yang kehadirannya itu dikawal oleh pasukan keamanan, yang terdiri dari wong ing Kedu lawan Bagelèné. 

Tatkala meletus pemberontakan di wilayah pesisir utara yang dipimpin Adipati Demak, yakni Pangéran Puger (1602-1605), maka pasukan Mataram dikirim untuk menumpas pemberontakan, dimana barisan terdepan yang memimpin adalah pasukan dari tanah Bagelèn dengan dipimpin sebagai komandannya adalah Tumenggung Bocor dibantu Ki Ngabèhi Ngrawa (Mirit), Ki Tumenggung Ngawu-awu (Kutoarjo), Ki Rangga Kalegèn, Ngabehi Kaleng (Puring), Ngabehi Jenar (utara Purworejo), Ngabehi Jayuda dari Nglugu, Ki Rangga Sura, Ngabehi Sangutoya (Buluspesantren), Ngabehi Jayawikrama dari Sampang, dan Nilasrabra dari Kredhetan. 

Tidak lama setelah berkuasa, Panembahan Seda ing Krapyak mangkat dan digantikan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada saat Sultan Agung melakukan serangan untuk menaklukkan wilayah Jawa bagian timur (1614 M), pasukan Bagelèn yang terdiri dari wong Numbak Anyar dan wong Sewu berada di ujung depan pasukan Mataram. 

Tumenggung Alap-alap ditugas untuk memimpin pasukan yang menyerang daerah Lumajang dan Ngernon, dengan kekuatan inti berasal dari pasukan Bagelèn dan Kedu (wong Sewu, wong Bumi dan wong Numbak Anyar).

Pada saat menyerang daerah Wirasaba (1615 M), pasukan Bagelèn berada di bagian tengah dan dipimpin oleh Ki Bocor, serta petinggi daerah yang lain, yakni: Kiai Rangga dari Kalegen, Ngabehi Kaleng, Ngabehi Ngrawa, Ki Ngabehi Jagayuda dari Ngawu-awu, Kiai Jayuda dari Nglugu, Ki Sangupati dari Jenar, Nilasraba dari Karendhetan, Ki Wiryagati dan Caranuka dari Telaga, Driyanala dari Sangubanyu, Wiraraga dari Semawung, Ki Setrapati dari Cepor, Ki Ngabehi Jayawikrama dari Sampang, dan Ki Wirayuda dari Ngremo (Karanganyar). 

Pangeran Puger sebagai putera ketiga Susuhunan Amangkurat I, ditabalkan menjadi raja Mataram di Jenar (Purworejo) dengan gelar Kanjeng Sunan Ngalaga, yang dihadiri para mantri dari Bagelèn, yang wedananya adalah Ki Tambakbaya dan Harya Surajaya. 

Pasukan Bagelèn ini yang kemudian bergerak ke medan perang untuk merebut keraton Pleret yang diduduki orang-orang Madura, dan akhirnya berhasil dikuasai kembali. Sedangkan Pangéran Adipati Anom, di Banyumas dinobatkan menjadi raja Mataram dengan gelar Susuhunan Amangkurat II. Kemudian meminta bantuan kompeni di Betawi, untuk dapat mengusir musuh dan merebut kembali keraton Mataram. 

Orang-orang Kedu mendukung Amangkurat II berkat ke berhasilan Harya Sindureja mempengaruhi mereka setelah berhasil meyakinkan tokoh setempat, Ki Wangsacitra. Setelah mengalahkan pasukan Madura pimpinan Tarunajaya dengan bantuan kompeni, Amangkurat II kembali ke Mataram lewat Semarang, dan memutuskan untuk memindahkan keraton ke Kartasura. 

5 komentar untuk "Kerajaan Pasir Luhur"

  1. Catatan sejarah yang menarik untuk disimak dan menjadi rujukan pemersatu bangsa.

    Semoga bisa dibuku kan dan menjadi aset bangsa

    BalasHapus
  2. Terakasih atas pemaparannya sangat membantu sekali buat pribadi saya utk melacak leluhur saya. Haturnuhun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pasir luhur yg di desaku belum terungkap secara jelas sejarahnya, ada yg Bisa bantu ?

      Hapus
    2. Ada Trah Pasir Luhur ada juga trah Pajajaran yang dari Ajibarang atau Jaka Mruyung itupun Trah Pajajaran juga.

      Hapus
  3. Disinilah Letak antara trah Galuh Pakuan/Pajajaran dan Trah Majapahit itu bertemu. Mungkin di saat Raden Tole tersingkir tapi anak keturunannya menyatu dan berkontribusi kepada Mataram.

    BalasHapus

Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.