Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cirebon Sebagai Pusat Dakwah Islam di Jawa Barat


Secara geografis Cirebon terletak di pesisir utara Jawa, atau di tepi pantai sebelah timur ibu kota Pajajaran. Penduduknya mempuyai mata pencaharian menangkap udang dan membuat terasi. Cirebon memiliki muara-muara sungai yang berperan penting bagi pel abuhan yang dijadikannya sebagai tempat menjalankan kegiatan pelayaran dan perdagangan lokal, regional, dan bahkan internasional. Pada tahun 1513, Tome Pires menceritakan bahwa pelabuhan Cirebon tiap hari disinggahi tiga atau empat buah kapal (junk) untuk berlabuh. Dari pelabuhan ini diekspor beras, jenis-jenis makanan, dan kayu dalam jumlah banyak sebagai bahan membuat kapal. Penduduknya berjumlah sekitar 1.000 orang (Cortesoa, 1944: 183; Ekadjati, 2005: 78). Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah berlangsung sejak lama, yakni sejak Cirebon menjadi vassal Kerajaan Sunda (Tjandrasasmita, 2009: 159).

Dalam sumber-sumber lokal, Babad Cirebon (edisi Brandes) dan Carita Purwaka Caruban Nagari misalnya, diceritakan bahwa Cirebo dulunya sebagai dukuh yang diperintah oleh seorang juru labuan (syahbandar), kemudian menjadi desa yang dipimpin oleh seorang kuwu. Pelabuhannya berlokasi di Muara Amparan Jati yang berada di Dukuh Pasambangan. Yang menjadi kepala atau juru labuhannya ialah Ki Gedeng Kasmaya, Ki Gedeng Sedangkasih, kemudian diganti oleh Ki Gedeng Tapa, selanjutnya diganti lagi oleh Ke Gedeng Jumajan Jati. Konsekuensi sebagai vassal Kerajaan Sunda, setiap tahun Cirebon menyerahkan upeti berupa garam dan terasi (Tjandrasasmita, 2009: 159).

Masjid Kesultanan Cirebon Pusat Dakwah Islam Jawa  Barat Dibangun 1480 M

Sebelum tempat yang sekarang menjadi kota Cirebon dihuni orang, tidak jauh di sebelah utara tempat itu terdapat kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tinggal di tempat itulah yang merupakan cikal bakal penduduk kota Cirebon. Di situ terdapat pelabuhan Muhara Jati dan Pasambangan. Di sebelah utaranya terdapat negeri Singapura (sekarang masuk Kab Cirebon) di sebelah timurnya terdapar negeri Japura(sekarang masuk Kab Cirebon), sedangkan di sebelah selatan di bagian pedalaman terdapat Caruban Girang. Pada perempat pertama abad ke-14 Masehi saudagar-saudagar yang berasal dari Pasai, Arab, India, Parsi, Malaka, Tumasik (Singapura), Palembang, Cina, Jawa Timur, dan Madura datang berkunjung ke Pelabuhan Muhara Jati dan Pasar Pasambangan untuk berniaga dan memenuhi keperluan pelayaran lainnya. Kedatangan mereka, yang telah memeluk Islam, di Pelabuhan Muhara Jati dan Pasar Pasambangan memungkinkan penduduk setempat berkenalan dengan agama Islam.

Angka tahun paling tua yang menunjukkan sudah ada orang Islam masuk dan tinggal di wilayah Jawa Barat adalah pada paruh pertama abad ke-14. Sumber sejarah lokal yang dicatat oleh Hageman (1866) menyebutkan bahwa penganut Islam yang pertama datang ke Jawa Barat adalah Haji Purwa pada tahun 1250 Jawa atau 1337 Masehi. Haji Purwa adalah putera Kuda Lalean. Haji Purwa masuk Islam ketika ia sedang dalam perjalanan niaga ke India. Ia diislamkan oleh saudagar Arab yang kebetulan bertemu di India. Haji Purwa berupaya untuk mengislamkan adiknya yang sedang berkuasa di kerajaan pedalaman di Tatar Sunda. Akan tetapi upayanya itu gagal. Akhirnya Haji Purwa meninggalkan Galuh menuju dan kemudian menetap di Cirebon Girang.

Prof. Edi S. Ekajati (1975: 87-88) memperkirakan Haji Purwa itu identik dengan Syekh Maulana Saifuddin, orang Islam pertama yang menetap di Cirebon. Di tempat itu ia berupaya menyebarkan agama Islam. Ketika Haji Purwa atau Syekh Maulana Saifuddin tinggal di Cirebon Girang, daerah ini dikepalai oleh Ki Gedeng Kasmaya. Ia masih bersaudara dengan penguasa di Galuh. Pada waktu itu Cirebon Girang merupakan daerah Mandala.

Selain Haji Purwa, tokoh muslim yang tinggal di Tatar Sunda pada masamasa awal adalah Syekh Quro. Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari disebutkan bahwa Dukuh Pasambangan didatangi guru-guru agama Islam antara lain dari Campa, bernama Syekh Hasanuddin putera Syekh Yusuf Sidik. Ia seorang ulama terkenal di Campa. Syekh Hasanuddin mendirikan pondok di Quro, Karawang. Karena itulah Syekh Hasanuddin kemudian terkenal dengan nama Syekh Quro.

Juru Labuan, Ki Gedeng Tapa, menyuruh puterinya yang bernama Nyai Subang Larang untuk berguru agama Islam di Pondok Quro itu. Dalam perkembangan selanjutnya, Nyai Subang Larang dinikahi oleh Prabu Siliwangi8, raja Kerajaan Sunda.

Tokoh selanjutnya, seorang muslim yang tinggal di Tatar Sunda pada periode-periode awal adalah Syekh Datuk Kahfi yang dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh Nurjati. Ia adalah seorang yang berasal dari tanah Arab. Syekh Datuk Kahfi datang ke Pasambangan sebagai utusan Raja Parsi. Kedatangan Syekh Datuk Kahfi ini disertai oleh dua puluh orang pria dan dua orang wanita. Kedatangan mereka diterima dengan baik, diberi tempat, dan dimuliakan oleh Ki Gedeng Jumajan Jati. Walangsungsang (Cakrabuana) bersama istrinya yang bernama Endang Ayu, dan adiknya yang bernama Nyai Lara Santang disuruh oleh Ki Gedeng Jumajan Jati untuk berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi yang mendirikan pondok di Bukit Amparan Jati (Atja, 1972: 46 – 47; Tjandarasasmita, 2009: 160).

Setelah berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, Walangsungsang mendapat julukan Samdullah atau Cakrabumi. Atas petunjuk gurunya, Walangsungsang mendirikan pondok dan tajug di Dukuh Kebon Pasisir. Tempat ini yang semula merupakan tegal alang-alang kemudian menjadi desa yang dikepalai seorang kuwu. Tempat ini kemudian dinamakan Caruban atau Caruban Larang. Dalam perkembangan selanjutnya, para pedagang yang semula mengunjungi pelabuhan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan kemudian pindah ke Pelabuhan Caruban
sehingga desa itu kemudian tumbuh menjadi perkotaan. 

Dengan demikian, pada paruh pertama abad ke-14 di Tatar Sunda sudah ada pemukiman orang Islam, terutama di Cirebon. Pada tahun 1513, sebagaimana ditututrkan oleh Tome Pires, sebagian masyarakat Jawa Barat, yaitu penduduk kota pelabuhan Cirebon dan kota pelabuhan Cimanuk (Indramayu) sudah beragama Islam. Tome Pires tidak menyebutkan bahwa di kota-kota pelabuhan lainnya di Tatar Sunda (Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, dan Kalapa sudah ada yang memeluk Islam. Namun demikian, patut diduga bahwa pada periode sebelum itu pun selain di kedua kota pelabuhan itu sudah ada orang Islam dari daerah lain, khususnya para pedagang. Hal ini didasarkan pada adanya perintah dari raja Kerajaan Sunda agar dilakukan pembatasan terhadap jumlah saudagarsaudagar muslim yang mengunjungi pelabuhan-pelabuhan itu. Para pedagang muslim yang sudah biasa mendatangi kota-kota pelabuhan itu adalah berasal dari Malaka, Palembang, Fansur (Barus Hilir), Tanjungpura, Lawe, Jawa. Larangan itu kemungkinan terjadi atas permintaan Portugis yang sudah menduduki Malaka pada tahun 1511 dan bermaksud menjalin kerja sama dengan Kerajaan Sunda.

Sebelum memasuki abad ke-16, atau bahkan pada awal abad ke-15, orang-orang Islam sudah masuk ke wilayah Sunda, tepatnya ke Cirebon pada tahun 1415 Masehi (Ekadjati, 1975: 87). Carita Purwaka Caruban Nagari (dalam Tjandrasasmita, 2009: 92) mencatat kedatangan orang Tionghoa ke Cirebon berkait dengan ekspedisi Cheng Ho. Diceritakan bahwa pelabuhan awal Dukuh Pasambangan yang terletak di kaki Bukit Sembung dan Amparan Jati telah ramai disinggahi kapal-kapal para pedagang asing seperti Tionghoa, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik, Paseh, Jawa Timur, Madura, dan Palembang. Pada waktu itu penguasa atau juru labuhannya adalah Ki Gedeng Jumajan Jati. Selain itu, diceritakan pula bahwa Pelabuhan Pasambangan tersebut disinggahi Panglima Tionghoa, yaitu Wai Ping dan Te Ho dengan banyak pengiring selama tujuh hari.

Mereka sebenarnya dalam perjalanan menuju Majapahit. Mereka membuat mercusuar di pelabuhan itu dan oleh Ki Gedeng Jumajan Jati mereka diberi imbalan perbekalan berupa garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah, dan kayu jati. Atja (1972: 3) memperkirakan bahwa yang disebut dengan nama Te Ho ialah Laskamana Cheng Ho yang disertai Ma Huan dan Feh Tsin. Orang-orang Tionghoa yang datang pada abad ke-15/16 Masehi banyak yang sudah memeluk Agama Islam.

Agama Islam yang masuk ke wilayah Jawa Barat dibawa oleh Haji Purwa, orang Galuh yang diislamkan di Gujarat oleh saudagar berkebangsaan Arab kemudian Syekh Quro, seorang muslim yang datang dari Campa dan Syekh Datuk Kahfi, seorang muslim berkebangsaan Arab yang datang ke Tatar Sunda sebagai utusan raja Parsi. Tempat yang pertama kali dijadikan pemukiman orang Islam adalah Cirebon. Dari tempat inilah agama Islam kemudian menyebar ke
daerah-daerah lain di Jawa Barat.

Akan tetapi, keberadaan ketiga tokoh tersebut tidak menjadi pelaku langsung tersebarnya agama Islam ke seluruh wilayah di Jawa Barat. Ketiga tokoh di atas lebih berperan sebagai peletak dasar agama Islam di Cirebon. Adapun tersebarnya agama Islam ke seluruh daerah di Tatar Sunda lebih berkait dengan munculnya dua tokoh yaitu Syarif Hidayatullah Fatahillah.

Pada masa Syarif Hidayatullah inilah baru Islam didakwahkan di Pasundan atau Jawabarat dengan manajemen yang teratur, di Pusatkan di Cirebon. Bersama menantunya Fatahillah secara giat keduanya menysiarkan Islam ke Seluruh Pasundan.

Berkenaan dengan luasnya wilayah pasundan kemudian, Pusat-pusat dakwah Islam dibagi-bagi oleh beliau.  Sebelah Timur masih dipusatkan di Cirebon sementara di sebelah barat Pasundan diserahkan kepada Anak Beliau melalui pendirian kesultanan banten. Sementara Fatahillah awalnya merintis Islam melalui Penaklukan Jakarta. Meskipun pada selanjutnya, kembali lagi ke Cirebon.

Kesimpulannya adalah pangkal masuknya Islam ke wilayah Pasundan dari Cirebon; sedangkan masuknya Islam ke wilayah Banten Selatan, Bogor, dan Sukabumi dari Banten. Jadi wilayah Jawa Barat dibagi atas dua bagian penyebaran Islam yaitu bagian barat dengan pusatnya Banten dan daerah penyebarannya ialah Banten Selatan, Jakarta, Bogor, dan Sukabumi. Bagian timur dengan pusatnya Cirebon dan daerah penyebarannya adalah Kuningan, Majalengka, Indramayu, Subang, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.

Posting Komentar untuk "Cirebon Sebagai Pusat Dakwah Islam di Jawa Barat"