Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perang Bubat, Buah Dari Kebodohan Hayam Wuruk

Perang Bubat dalam masyarakat Sunda sebagai perang yang meninggalkan duka mendalam, perang ini semacam membawa dendam yang tak kunjung  hilang, sebab kepedihannya dipantunkan dari generasi kegenerasi.

Pantun-pantun itu diciptakan oleh luluhur orang Sunda tentu bukan tanpa tujuan, ada tujuan yang tersembunyi dibalik itu, yaitu agar orang-orang Sunda kedepan selalu hidup dalam kewaspadaan. Waspada terhadap orang-orang licik yang telah melakukan muslihat yang sangat memalukan.

Orang Sunda sebenarnya bukan tipe orang yang rasis dan cengeng, bukan pula tipe peratap kegagalan, dalam sejarahnya banyak sekali peperangan yang dialami oleh orang Sunda baik perang dengan sesama orang Sunda maupun non Sunda.

Orang Sunda juga bukan pertama kali kalah Perang, Sunda tercatat pernah dikalahkan Sriwijaya, Sunda juga tercatat pernah dikalahkan Kesultanan Demak, Sunda Juga tercatat pernah dikalahkan Kesultanan Mataram, Dikalahkan Banten, dikalahkan Cirebon tapi kekalahan-kekalahan itu ditanggapi oleh orang Sunda tanpa ratapan yang berlarut-larut.

Berbeda dengan peristiwa lainnya, maka dalam menanggapi perang Bubat orang Sunda rupanya meratap dan terus meratap, sebabnya adalah orang Sunda tidak merasa puas dengan kekalahan dalam perang itu.

Orang Sunda mengangap perang bubat adalah perang yang tak seimbang perang yang bermula dari tipuan, perang bohong-bohongan, perang yang menginjak-injak martabat orang Sunda. Inilah yang membat mereka meratap, dan kemudian menelurkan pantun-pantun karya leluhur agar jangan sampai anak cucu orang Sunda kedepan tertipu untuk kedua kalinya.

Kisah mengenai Perang Bubat dimulai dari naiknya Hayam Wuruk Sebagai Raja Majapahit pada tahun 1350, ia didaulat menjadi Raja setelah ibunya Tribuwana Wijaya Tunggadewi memilih turun tahta untuk menjadi Saptha Prabhu.

Hayam Wuruk naik tahta sebagai Raja Muda yang tak tau apa-apa soal Negara, pada mulanya begitu, Hayam Wuruk semacam petetan/boneka dalam sebuah Kerajaan Besar, dan memang begitulah awal mulanya seorang Raja yang bernama Hayam Wuruk itu.

Kendali pemerintahan Majapahit dijalankan secara Propesional oleh Gajahmada, dialah Mahapatih Amangkubumi Majapahit, atau dalam bahasa kekiniannya disebut Perdana Mentri itu. 

Jika dalam masa pemerintahan Tribuwana Wijaya Tunggadewi Gajahmada dikendalikan oleh sang Ratu, agar jangan ini, jangan itu sehingga tidak berbuat memalukan Negara, maka tidak demikian ketika Hayam Wuruk memerintah.

Hayam Wuruk hanya disetir Patihnya, kendali pemerintahan Majapahait seperti digenggam kuat Gajahmada, bahkan ketika Gajahmada membunuh calon mertuanya sendiri di Bubat, Hayam Wuruk tak sanggup berbuat apa-apa. Disitulah bonekanya Hayam Wuruk. Namun, hal tersebut dapat dimaklumi sebab ia seorang Raja muda. Raja yang masih bau kencur belum banyak pengalaman.

Sebagaimana dalam cerita yang lazim dituturkan, bahwa terjadinya perang bubat dimulai dari masa pubernya Hayam Wuruk, ia mulai menyukai lawan jenis, dan meskipun disekelilingnya banyak wanita ayu, tapi rupanya ia kesengsem pada kecantikan Puteri Sunda walau hanya memandang lukisannya saja. Daya hayalnya rupanya tinggi, menyukai perempuan yang masih misteri.

Menyukai Puteri Kerajaan Sunda tentu tidak ada yang salah bagi seorang Raja Kerajaan besar sekelas Hayam Wuruk, hanya saja waktu itu Majapahit sedang bermusuhan dengan Sunda, beberapa kali Majapahit melakukan invasi ke Sunda, tapi gagal dan selalu gagal, bahkan dikisahkan dalam suatu invasi yang besar, Patih Les Dan Baleteng, yaitu dua Panglima Kerajaan Majapahit yang diutus melakukan invasi ke Sunda, kepalnya lepas dari badannya karena di tebas Panglima Sunda.

Baca Juga : Matri Les dan Baleteng, Panglima Perang Majapahit dalam Invasi Ke Sunda

Hayam Wuruk tak peduli, ia bersikeras mengirimkan pinangan melalui suruhan terpercayanya, ia menyatakan keinginannya untuk mempersunting putri Sunda tanpa sepengetahuan Gajahmada, mungkin fikirnya “Aku Raja Berdaulat, Aku Wakil Tuhan dimuka bumi, Saatnya aku menunjukan diriku sebagai Raja yang berwibawa, Gajahmada abdiku”.

Tindakan bodoh Hayam Wuruk yang menyunting Putri Sunda itu belakangan membuat malu Gajahamada, bahkan membuat malu Negara.

Kerajaan yang berkali-kali gagal melakukan invasi kemudian berakhir dengan menyodorkan pinangan menandakan bahwa kerajaan itu telah mengibarkan bendera putih, menandakan Majapahit tak mampu menundukan Sunda, padahal Gajahmada masih ingat betul pada sumpahnya “ Ia bersumpah akan menaklukan Sunda” tapi kini Rajanya justru mengibarkan bendera putih.

Mau ditaruh dimana Muka Gajah Mada..?, malu dia, malu karena kalah. Sementara disisi lain, mendapati Raja Majapahit mengibarkan bendera putih yang ditandai dengan tawaran ikatan perkawinan, rupanya membuat sumringah Raja dan sebagian pembesar Sunda, mereka bersuka cita, Majapahit akhirnya mengakui kalah juga.

Tapi bagi sebagian sedikit pembesar Sunda lainnya justru mereka merasa khawatir, sebab jangan-jangan tawaran pernikahan yang digelar di Majapahit itu adalah jebakan, mengingat bunyi surat dalam pinangan itu agar Raja Sunda bersedia mengantarkan Putrinya ke Majapahit guna dinikahkan. Sesuatu yang tak lazim kala itu dimana mempelai wanita justru yang mendatangi pengantin prianya.

Jika surat yang dilayangkan Hayam Wuruk memang demikian bunyinya, maka dapatlah kemudian dipahami bahwa kapasitas pengetahuan Hayam Wuruk terhadap budaya perkawinan leluhurnya rupanya buruk, terbukti dari ketidak pahamannya bagaimana tata atur perkawinan yang benar dalam budaya masyarakat Pulau Jawa waktu itu.

Sebagian pembesar Sunda yang merasa perkawinan tersebut semata-mata jebakan tidak dapat menahan keinginan Rajanya untuk ke Majapahit, mereka hanya mampu mempersiapkan prajurit-prajurit bermental baja yang sedia mati melindungi Rajanya, prajurit yang mengawal iring-iringan pengantin itu diambil dari prajurit terbaik Sunda yang didatangkan dari Pantai Utara wilayah kerajaan itu. Begitulah yang mampu mereka kerjakan.

Baca Juga: Asal-Usul Prajurit Sunda Yang Gugur Dalam Pembantaian Bubat

Geger iring-iringan Raja dan Putri Sunda yang disertai beberapa ratus pengawalnya itu akhirnya pecah juga di Majapahit, setelah mereka sampai di Bubat, tentara penjaga Kota tercengang melihat orang Sunda musuhnya dalam peperangan tiba-tiba memasuki Majapahit.

Tentara itu kemudian melaporkan kepada Gajahmada, sang Patih rupanya tidak kalah kagetnya, sebab ia baru mengetahui bahwa Rajanya rupanya mengirimkan pinangan pada putri kerajaan itu.

Gajahmada yang mengetahui Rajanya gampang dikendalikan, berputar taktik, ia memaksa rombongan Raja dan calon lengantinnya itu mengakui takluk dibawah Majapahit.

Paksaaan itu ditampik, jelas ditolak oleh Patih Sunda, bahkan Patih Sunda mengumpat Gajahmada dengan kata-kata Kasar. Terjadilah kemudian keributan, sehingga meletuslah peperangan yang tak seimbang. 

Rombongan Raja dan Putri Sunda yang sedikit itu, kemudian dilumat habis oleh T
Tentara Majapahit yang dikenal ganas, mereka gugur dalam peperangan, sementara sisanya memilih mati bunuh diri, termasuk didalamnya Raja dan Putri Sunda.

Gajah Mada tentu tidak menyangka sedemikian fatal jadinya, tapi ia tetap punya alasan pada Rajanya yaitu “Karena ia tidak tahu jika Raja Sunda beserta Pengawal dan Putrinya itu hendak menikahkan anaknya”. Hanyam Wuruk hanya diam, tak berbuat apa-apa, meskipun ia dikisahkan bersedih hati, karena wanita misteri dalam lukisan yang diimpikannya itu menjadi sebujur mayat yang kaku. Sementara disisi lain, ia tidak dapat menghukum Gajahmada karena kalah dalam bersilat lidah.

Geger terbunuhnya Raja Sunda menjadi berita viral di Nusantara kala itu, Hayam Wuruk dihujani kutuk, Gajamada dihujani tuduhan pengecut. Keduanya sama-sama tak sanggup menahan malu. Gajah Mada mengasingkan diri di suatu tempat sepi yang belakangan dikenal dengan nama Madakaripura.

Baca Juga: Madakaripura, Kantor Kerja Baru Gajah Mada Selepas Perang Bubat

Sementara Hayam Wuruk, hari-harinya dihabiskan berkeliling Jawa untuk menenagkan fikirnya, Tapi bagaiamanapun itu, dalam perjalannya mengelilingi Jawa tetap saja ia mampir sejenak di Madakaripura untuk sekedar menengok Gajahmada.

Untungnya kala itu kerajaan itu masih mapan, memiliki tentara-tentara tangguh, sehingga ketika ada serangan balasan dari Sunda yang menuntut kematian atas Raja Sunda dapat ditanggulangi dengan baik. Namun, pada intinya perang bubat itu adalah perang yang timbul dari kebodohan Hayam Wuruk, bodoh karena tak mampu mengontrol kebringasan Patihnya sendiri.

Baca Juga: Serangan Kerajaan Sunda Ke Majapahit Selepas Perang Bubat

Hayam Wuruk  tetap bodoh bahkan sampai ketika Gajahmada dikabarkan wafat. Sebab, menurut Prapanca memilih calon pengganti Gajahmada pun ia tak sanggup, sehingga harus melibatkan kerabat dan saudara-saudara tuanya. 

Tanpa Gajahmada Majapahit kemudian sedikit demi sedikit ambruk, hilang wibawahnya. Kelak buah dari kebijakan-kebijakan bodoh Hayam Wuruk itu meletuslah Perang saudara yang kemudian dikenal dengan Paregreg, tidak lama selepas kemangkatannya, perang yang belakangan menggoyahkan Kerajaan besar itu.

5 komentar untuk "Perang Bubat, Buah Dari Kebodohan Hayam Wuruk"

  1. Koq berasa relate sama kondisi politik saat ini ya?

    BalasHapus
  2. Terimakasih infonya. Seneng bacanya menambah wawasan

    BalasHapus
  3. Perang bubat memang menyedihkan dan mengharubirukan. Tetapi penulis menggunakan emosi pribadi utk menyampaikan pendapatnya. 🙏

    BalasHapus
  4. .....berulang penulis secara tidak langsung melecehkan suku sunda dengan ceritanya ....maksudna naon siah .....kawas nu heu euh nyaho kajadianana .....

    BalasHapus
  5. Penulis ini gaya bahasa bertujuan memecah belah persatuan

    BalasHapus

Berkomentarlah yang terarah dan jelas agar dapat dipahami dan dibalas admin.